Visualkan Keunikan Bancangan, Ida Bagus Yodhie Harischandra Garap “Onggar”

 Visualkan Keunikan Bancangan, Ida Bagus Yodhie Harischandra Garap “Onggar”

Bagi kalangan seniman dan penggiat seni tari, pasti kenal dengan Ida Bagus Yodhie Harischandra, koreografer muda yang sedang naik daun belakangan ini. Sebagai mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar jurusan tari, pria kelahiran Denpasar, 24 September 2001 ini sudah biasa mencipta karya seni tari tergolong baru. Bermula dari menata seni tradisi, kemudian merambah seni kontemporer, baik sebagai tugas kampus atau untuk sengaja dipentaskan dan lomba. Banyak karya sudah dilahirkan, dan karyanya yang terakhir berjudul “Onggar” yang digarap untuk mengikuti lomba di Pancer Langitt. “Karay Onggar hanya mempu meraih juara II,” katanya.

Gus De, demikian sapaan akranya mengatakan, Onggar itu penamaan dari aksesoris pada gelungan, tersistem secara bertahap-tahap melalui beberapa komponen yang menimbulkan gerak fleksibelitas dan lemah gemulai. Oanggar atau bancangan itu merupakan aksesosris pelengkap yang disesuaikan penggunaannya untuk menambah nilai estetika. Onggar atau bancangan merupakan sebuah media yang berisi susunan bunga untuk menunjukan kelemah lembutan, keluwesan, keceriaan, yang ditampilkan oleh seorang penari. Aksesoris ini memberikan kesan kuat serta efek dalam melakukan gerakan leher dan kepala.

Bancangan terdiri dari beberapa komponen yaitu bambu sebagai simbol keinginan dan perasaan, kawat sebagai simbol tali pemegang kekuatan atau ketangguhan, dan bunga sebagai simbol kebinaran, kemeriahan, serta keceriaan. Bunga yang biasa dipakai, seperti jepun yang diletakkan secara terssusun pada bagian tengah, bunga pucuk lilin pada bagian atas, dan paling ujung diberi pusuh jepun. Belakangan, bancangan sudah tidak lagi menggunakan bunga hidup, melainkan bunga imitasi namun tanpa mengurangi bagian-bagian, makna, serta tujuannya. Sulitnya mendapatkan bunga jepun Bali, bunga pucuk lilin, dan pusuh jepun mendorong lahirnya bunga imitasi.

Baca Juga:  Kelompok Bening Gelar Pameran “Echo Energy” di Dewangga Ubud

Melihat dari fenomena itu, putra sulung dari pasangan Ida Bagus Yudistira dan Ida Ayu Chandra Dewi kemudian tertarik mengangkat bancangan sebagai sumber ide kreatif yang dituangkan ke dalam sebuah karya tari. Komponen-komponen bancangan itu divisualkan kedalam bentuk simbol gerak, yang memfokuskan pada ekspolarsi kelenturan tubuh penari. Hal itu diperkuat melalui sabuk lilit yang dilepas dan ditata lilitannya, sehingga terlihat seperti jalinan kawat. “Pada adegan tertentu, saya menonjolkan permainan ekspresi yang menggambarkan kesan bunga, tangan penari diberi cat berwarna kuning dan arsiran putih untuk memperkuat kesan bunga yang berada didalam susunan bancangan tersebut,” ungkapnya.

Menariknya dalam karya ini, seniman muda yang beralamat di Jalan Gatot Kaca, Banjar Sedang Kelod, Desa Sedang, Kecamatan Abianemal, Kabupaten Badung, Bali ini memasukan efek dari bancangan ketika digerakan, yaitu efek “ngontal”. Hal itu divisualkan lewat getaran, baik itu getaran tubuh maupun getaran kepala pedukung tari. Tari Onggar ini didukung oleh 6 orang penari laki-laki yang memiliki ketubuhan sesuai dengan keinginannya seperti, memiliki kelenturan, permainan ekspresi yang kuat, serta kuat dalam pengolahan nafas.

Onggar

Sementara iringan yang berfungsi sebagai penunjang suasana karya, Gus De mempergunakan iringan midi yang bernuansa magis serta memiliki beberapa aksen-aksen kuat didalamnya. Penata iringan dipercayakan kepada komposer Wahyu Etnicha yang sudah biasa berkolaborasi sebelumnya. Selain iringan, penunjang lain yang tidak kalah penting perannya yaitu tatarias dan tata busana. Untuk tata rias menggunakan minimalis fantasi dengan tata busana celana panjang berwarna coklat, sabuk lilit berwarna putih, dan aksesosris dileher berwarna merah. “Saya suka dengan semua karya saya karena memiliki genre , bentuk dan visualnya masing-masing mempunyai keunikan dan cirikhas masing-masing,” sebutnya.

Baca Juga:  Bulan Bahasa Bali, Teater 3 Garap Kisah Cinta Made Sarati dan Dayu Priya

Gus De, memang sebagai penari Bali yang handal. Ia sudah biasa menari sejak TK, dimana darah seni itu mengalir dari kedua orang tuanya yang berprofesi sebagai penari. Pada mulanya berlatih dasar-dasar tari dari orang tuanya, kemudian merambah ke beberapa guru, sehingga ilmu seni itu semakin dirasakan hngga dicintainya. Setelah tamat SMPN 4 Denpasar (2013-2016), maka melanjutkan ke SMKN 3 Sukawati, Kokar Bali (2016-2019) untuk memperkuat dasar tentang seni tari. Selanjutnya, menempa ilmu seni di ISI Denpasar dengan harapan menjadi seorang penari dan koreografer yang mempuni.

Dalam perjalannya ebagai siswa, Gus De sudah terlibat sebagai penari dalam Pesta Kesenian Bali (2010-2019), meraih Juara 1 FLS2N Tingkat Nasional di Aceh (2018), sebagai penari di Festival Korea Selatan (2019), ikut Festival Kesenian Yogyakarta (2018), Juara 1 Topeng Arsawijaya – Porseni tingkat SMA (2017), Juara 1 Tari Jauk Manis Tingkat Umum se-Bali – BNF (2018), Juara 1 Lomba CIBI (Tari Kreasi Tunggal) Tingkat Nasional (2014), Juara 1 Lomba Kontemporer Dies Natalise Universitas Udayana Fakultas Teknik sebagai Koreografer (2019 dan 2020), Juara 2 lomba kontemporer Bank Pegadaian sebagai koreografer (2021), sebagai Koreografer Tari Kreasi Baru pada Gong Kebyar Anak-anak Duta Kabupaten Badung (2019) dan sebagai Koreografer Tari Kreasi Kekebyaran pada Gong Kebyar Dewasa Duta Kabupaten Badung (2021).

Dalam urusan organisasi, Gus De juga kreatif, sehingga pernah menjabat sebagai Ketua Komunitas Semata (2017-2018), sebagai Wakil BPM senat Fakultas Seni Pertunjukan ISI Denpasar (2019-2020) dan sebagai pengurus dalam komunitas Ghora Geni (2021). Pengalaman menarik yang tak pernah dilupakan ketika diberikan kesempatan sebagai duta kesenian yang tampil di Lombok, Jakarta, Aceh, Bogor, Surabaya, Bandung
Serta di Korea Selatan , Singapura , dan Malaysia. “Saya berharap, untuk anak muda teruslah bergerak jangan pernah diam karena situasi. Kalau tidak ada ruang untuk berkarya, buatlah ruang sendiri agar diri dan otak kita terus dipaksa untuk melahirkan karya-karya seni baru,” harapnya kepada generasi muda khususnya yang menggeliti seni.

Baca Juga:  Pameran ‘Heart Voice’ Sebuah Ekspresi Suara Hati dari Delapan Perupa di Sudakara ArstSpace Sanur

Di masa pandemi ini, Gus De sudah menekuni tari topeng. Hal ini tentu sangat sulit karena dalam menarikan topeng tidak hanya dituntut bisa menari, tetapi juga harus bisa olah vokal serta tahu banyak tentang sastra. [B/*]

Related post