Bubuh Men Tasik, Disukai Masyarakat Lokal, Warga Cina dan Turis

 Bubuh Men Tasik, Disukai Masyarakat Lokal, Warga Cina dan Turis

Bagi penyuka kuliner, cobalah rasakan khasnya bubuh Men Tasik. Bubuh (bubur) nya putih dan lembut, be siap (daging ayam) nya tidak kenyal terasa lembut, kuahnya memiliki terasa banget. Jukut (sayur) urab juga sangat khas dan rasanya menyatu dengan bubuh dan be siap. Karena itu, pelanggan yang datang dari jauh, seperti Tabanan, Badung dan Denpasar pasti nambah saking enaknya. Bahkan, para pelanggan tak merasa malu nambah untuk mengulang rasa enaknya. Makan bubuhnya saja sudah enak, apalagi dipadu dengan menu lainnya, pasti lebih mantap.

Bubuh Men Tasik biasanya buka setiap hari, mulai pukul 14.00 Wita hingga habis. Untuk bisa mendapatkan menu bubuh itu, langsung cari saja ke Desa Marga, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan, Bali. Jika datang dari arah Denpasar menuju Monumen Margarana, Desa Tunjuk, atau Desa Apuan, warung itu ada di sebelah kiri jalan. Jaraknya beberapa meter sebelum Polsek Marga. Nah, untuk memastikan, lihat saja warung yang ada banyak yang antre, maka itulah tempatnya.

Ya, jika datang ke warung itu jangan harap langsung bisa mencicipi bubuh Men Tasik. Para pelanggan mesti rela berdiri lama-lama atau duduk di dampar (tempat duduk panjang berbahan) agar bisa merasakan nikmatnya bubuh legendarius itu. ketika jaman bebas tajen, bubuh Men Tasik disukai para bebotoh. Bubuh Men Tasik ini memiliki rasa yang sangat enak dan khas. Bumbunya terasa pas, sehingga sekali mencicipi pasti dibuat ketagihan. Dalam satu porsi berisi bubuh, basa nyuh, basa lalah, jukut urab dan be siap maudus. Akan menjadi lebih mantap jika ditambah krupuk atau rempeyek (camilan tradisional Bali).

Dalam penyajiannya sangat ramah lingkungan yaitu menggunakan piring yang memakai alas daun pisang. Sendoknya bukan plastik, sehingga tidak menghasilkan sampah perusak kualitas tanah. Be siap maudus serta basa (bumbu) yang membuat bubuh Men Tasik itu beda. Be siap maudus itu, dimasak secara tradisional, yakni dikukus dengan bumbu khas lalu dibakar, sehingga mengeluarkan aroma yang sangat khas. Bumbu yang digunakan juga beda, sehingga sangat terasa bedanya.

Baca Juga:  Festival Konservasi Lontar di Kota Denpasar. I Nyoman Astawan Punya 86 Lontar dari Usada Sari, Tenung Wong Wisaya Anluh hingga Kawisesan

Selain masyarakat local, warga Cina yang sudah lama tinggal di Bali sering dating menikmati bubuh olahannya. Bahkan ada yang sudah menjadi langganan, sehingga sengaja datang dari luar Marga hanya untuk dapat mencicipi kekhasan bubuh Men Tasik itu. Tak terkecuali wisatawan asing yang diantar oleh guide dan travel juga menyantapnya. Wajar, bubuh be siap maudus yang dijajakan itu selalu habis sebelum jam tutup. “Saya tak pernah berjualan sampai sore,” kata Ni Wayan Tasik putri Men Tasik pedagang bubuh be siap maudus itu.

Wayan Tasik merupakan pedagang generasi kedua. Ia melanjutkan ibunya yang sudah almarhum. Semua resep, baik bumbu dan cara mengolahan yang khas diwarisinya, sehingga pelanggan ibunya tetap setia mau datang. “Syukurnya saya bisa mengolah seperti ibu dulu,” ungkapnya.

Selain meladeni para pelanggan setianya, Wayan Tasik juga pernah diundang pengelola hotel di kawasan Kuta untuk menjajakan bubuh be siap maudus kepada para tamu hotel. Pernah juga menyiapkan bubuh be siap maudus khusus bagi karyawan hotel pada sebuah perayaan hari raya suci. “Saya pernah menyajikan dagangan di hotel untuk turis,” ujarnya.

Warung Men Tasik, dulunya berada di Banjar Lebah, Desa Marga, di sebelah Selatan Pura Pusertasik atau di depan pertigaan jalan Marga – Apuan – Tunjuk. Warung Men Tasik hanya menempel pada toko-toko yang berjejer di kota kecamatan itu, sehingga tampak bukan warung. Namun, setelah adanya renovasi toko, meja tempatnya jualan itupun harus dipindah. Yakin dengan hasil penjualan bubuh, ia lalu mengontrak warung yang ada sekarang ini. [B/*]

Related post