Lomba Membuat Kerajinan Beruk Tontonan Menarik Pengunjung PKB XLIV
Membuat beruk menjadi sajian yang unik pagi pengunjung Pesta kesenian Bali (PKB) XLIV. Benda yang terbuat dari batok kelapa itu memang produk lama bagi masyarakat Bali, tetapi ketika disajikan di dalam ajang PKB menjadi hal yang baru. Tentu saja, karena generasi muda saat ini, memang jarang memanfaatkan ataupun menyentuh benda yang merupakan kearipan local itu. Disamping itu, generasi pembuat beruk juga sangat langka, sehingga ajang membuat beruk ini menjadi media pengenalan atau pembelajaran terjadap budaya local yang memang menarik.
Itulah suasana lomba membuat kerajinan beruk atau kerajinan batok kelapa di Kalangan Ayodya Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Senin 13 Juni 2022. Ada sebanyak 9 peserta tampak adu kemampuan menciptakan karya beruk yang indah. Mereka menggunakan mesin foredem. Setiap peserta tampak fokus mendesain batok kelapa sebagai material dasar pembuatan beruk. Melihat dari karyanya, sebagian besar peserta sudah terbiasa mengerjakan kerajinan beruk. Boleh juga dibilang, sebagian peserta yang ikut adalah pengerajin beruk.
Dalam lomba itu, ada empat kriteria yang dinilai antara lain ide dan gagasan, bentuk dan hiasan, teknik pengerjaan, dan penampilan. “Kreativitas, keterampilan, serta tampilan sangat penting di sini. Termasuk finishingnya. Kadang ada yang bentuknya sudah bagus, tapi finishingnya kurang. Bisa mempengaruhi penampilan beruk itu sendiri. Akan tetapi dari sembilan peserta yang berlomba, masih belum muncul ide dan gagasan baru. Para peserta membuat beruk sesuai dengan apa yang dikerjakannya sehari-hari,” ungkap salah satu tim juri I Wayan Suardana.
Suardana menegaskan, permasalahan secara umum pada pada seni kriya adalah soal minimnya desain-desain baru, sehingga kerajinan yang dikerjakan terkesan monoton dengan model yang itu-itu saja. Seandainya ada pengembangan-pengembangan desain baru, kemudian dikolaborasi dengan material yang lain, maka beruk akan memiliki nilai seni yang tinggi dan potensi ekonomi yang luar biasa. “Saya berharap ada ide dan gagasan baru bisa muncul dari semua peserta itu. Tetapi, yang dilihat, justru masih banyak yang menekankan ornament dan orientasinya lebih banyak untuk kebutuhan sarana upacara. Mudah-mudahan nanti bisa muncul fungsi-fungsi lain, seperti beruk sebagai kap lampu, ikat pinggang, dan lain-lain,” harapnya.
Dosen Kriya ISI Denpasar tersebut juga mengungkapkan, jika melihat saat ini memang animo masyarakat terhadap penggunaan beruk masih dominan untuk kegiatan keagamaan. Namun sejatinya, karya beruk ini tak hanya sebatas itu fungsinya. Jika mau mau menggali lebih jauh, kerajinan beruk bisa saja bernilai ekonomi lebih tinggi bahkan diekspor ke luar negeri. “Pengerajin beruk selama ini melihat penggunaan beruk untuk kegiatan keagamaan sebagai sebuah peluang. Sehingga mereka menciptakan sarana-sarana upacara yang terbuat dari beruk. Tapi lebih dari itu, beruk bisa dijadikan berbagai jenis karya kerajinan yang mungkin bisa diekspor ke mancanegara,” ucapnya.
Juri lainnya I Nyoman Laba juga menyoroti minimnya minat generasi muda dalam mendalami kerajinan beruk. Tak hanya beruk. Menurutnya, hampir semua kerajinan minim regenerasi, bahkan jadi fenomena. Anak-anak muda juga minatnya berkurang. Mungkin karena pengembangan kreativitasnya yang kurang. Modelnya hanya itu-itu saja. Sedangkan generasi muda saat ini kan perlu sesuatu yang baru. “Kami mengharapkan sekali pengerajin beruk ini ada regenerasinya, walaupun sudah sudah ada basisnya seperti di Tampaksiring dan Karangasem. Anak muda mau terjun melanjutkan pekerjaan ini, karena ini adalah salah satu jenis kerajinan yang potensial. Apalagi untuk materialnya, di Bali tidak ada kekurangan,” pungkas Dosen Kriya ISI Denpasar itu. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali