“Mesatua Bali” Seperti Dalang Bermain Drama
Mesatwa sekarang, tak hanya lihai dalam memaparkan kisah, tetapi juga memiliki vocal, bisa berakting dan tetap harus disertai ekspresi. Kalau busana, bisa saja tak sesuai dengan tema yang diangkat, yang penting kreatif dan memiliki wawasan. Mau bukti? Lihat saja akdi para peserta Wimbakara (lomba) Mesatua Bali pada Pesta Kesenian Bali ke-44 di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali, Rabu 15 Juni 2022. Sayangnya, dari 9 kabupaten dan kota di Bali, hanya Kabupaten Badung, Gianyar dan Kota Denpasar yang mengirimkan wakilnya.
Para peserta merupakan perwakilan dari kabupaten dan kota di Bali itu tampil dengan sangat baik. mereka tak hanya memiliki vocal yangt baik, tetapi juga mampu bermain vocal sesuai karater dari setiap tokoh yang ada. Mereka tak ubahnya seperti seorang dalang dalam memaparkan kisah, dan seperti seorang pemaoin drama saat berakting, mempertegas kisah yang diangkat. Penampilan masing-masing peserta dengan garak itu, mempermudah dimengerti oleh penonton, disamping memang menciptakan suasana indah.
Sejumlah kabupaten yang tidak mengirimkan pesertanya itu, tidak kalah dari sisi koleksi jumlah cerita rakyatnya. Kabupaten Buleleng, Klungkung, Tabanan, Jembrana, Bangli dan Karangasem memiliki banyak cerita rakyat. “Menjadi pertanyaan besar mengapa kabupaten yang lain tidak mengirimkan pesertanya. Barangkali persoalannya pada anggaran,” ucap ,” kata salah satu Dewan Juri Ida Bagus Rai Putra, yang juga akademisi di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana itu.
Rai Putra mengharapkan dalam ajang PKB ke depan agar ada kemauan politik dari pemerintah kabupaten/kota untuk mengirimkan wakil-wakilnya untuk mengikuti lomba Mesatua Bali. “Kita harus menghargai budaya mesatua Bali karena cerita-cerita rakyat Bali sangat kaya dengan tuntunan etika, nilai rohani dan hal-hal yang menjadi perilaku baik dari suatu daerah,” ujarnya bersama dua juri lainnya yaitu I Nyoman Duana Sutika dan AA Gede Putra Sumadi itu.
Dalam ajang PKB kali ini untuk lomba Mesatua Bali juga sudah dikembalikan ke pakemnya dengan dibawakan oleh para orang tua atau peserta yang ikut berusia minimal 40 tahun. “Kami sebenarnya gembira sekali dan bahagia dalam PKB ini dilakukan terobosan mesatua (bercerita) dikembalikan ke pakemnya dengan dibawakan oleh para orang tua. Bukan sebaliknya anak-anak yang bercerita kepada para orang tua,” ujarnya.
Ternyata persoalannya pada jumlah peserta yang minim, dari lima peserta, dua orang merupakan duta Kota Denpasar, dua orang duta Kabupaten Badung dan satu peserta sebagai perwakilan Kabupaten Gianyar. “Penampilan para peserta sudah sangat bagus, tetapi masih ada sejumlah kelemahan seperti pengucapan kata-kata yang kurang tepat antara kata benda dan kata kerja, dan tema PKB yang belum digarap sedemikian rupa dalam cerita,” ungkapnya.
I Gde Nala Antara, salah satu tim kurator PKB ke-44 juga berharap hal yang sama agar dalam ajang lomba mesatua Bali nantinya dapat diikuti lebih banyak peserta. “Mesatua Bali harus diminati agar tradisi yang telah kita warisi ini tetap bisa bertahan,” ucapnya.
Terkait dengan kriteria peserta lomba dengan syarat usia minimal 40 tahun, menurut dia, hal tersebut memang kriteria baru yang sudah diputuskan panitia, tim kurator dan juri. “Karena kami mempertimbangkan dari segi kematangan bahasa dan kematangan pengetahuan tentang etika. Itu yang diharapkan bisa dimasukkan saat mesatua (bercerita), termasuk soal tema,” katanya.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana itu pun menyampaikan bahwa mesatua yang telah terjadi secara turun-temurun dilakukan oleh para orang tua. “Orang tualah yang bercerita pada anak-anaknya atau cucunya. Tidak mungkin anak kecil yang ‘nuturin’ orang tua. Itu yang direkontruksi lagi, direvitalisasi kembali sehingga bisa tetap hidup,” ujarnya. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali