Wayang Kulit Sebagai Cerminan dan Edukasi Agar Tahu “Sesana”

 Wayang Kulit Sebagai Cerminan dan Edukasi Agar Tahu “Sesana”

Selain Dramatari Calonarang, Wayang Kulit Calonarang juga menjadi primadona. Pertunjukan seni dua dimensi merupakan pertunjukan wayang yang terkesan unik dan paling angker diantara pertunjukan seni wayang kulit lainnya. “Itu karena dalam pertunjukannya mengungkapkan nilai-nilai magis dan rahasia pengiwa (penganut aliran kiri) dan penengen (penganut aliran kanan),” kata Ketua Yayasan Gases Bali Dr Komang Indra Wirawan saat menjadi narasumber dalam Kriyaloka (Lokakarya) Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 bertempat di Kalangan Angsoka, Taman Budaya, Kamis 16 Juni 2022.

Dosen Universitas PGRI Mahadewa ini mengatakan, sesungguhnya pementasan Wayang Kulit Calonarang tak saja sebagai sarana hiburan, tetapi sarat membawa pesan tuntunan nilai-nilai agama dan pengruwatan. Perlu diingat, dalam pertunjukan Wayang Kulit Calonarang ini harus dapat memahami akan hakikat kehidupan dan sebagai pengruwatan (penyucian) buana alit (diri) dan buana agung (alam semesta). “Dengan wayang atau bayang menjadi cerminan yang mengedukasi mereka supaya tahu sesana (kewajiban) yang dilakukan,” papar dalang wayang kulit Calonarang ini serius.

Saat ini jumlah dalang yang membawakan Wayang Kulit Calonarang jumlahnya masih terbatas dan mayoritas berusia di atas 40 tahun. Beda antara wayang kulit calonarang dengan wayang kulit lainnya karena ada unsur pengundangan (mengundang leak), diperkuat Pupuh Ginada Basur, penggunaan lelintingan api, dan ditambah dengan watangan hidup. “Wayang Kulit Calonarang menyampaikan perspektif dualitas yang berbeda unsur Rwa Bhinneda, tetapi menjadi satu kesatuan yang utuh,” tegas seniman yang ahli membuat ogoh-ogoh itu.

Wayang Kulit

Sang dalang saat melakukan aktivitas pertunjukan pun menyampaikan pesan simbolik Tantra (kekuatan) yang identik dengan kawisesan (Bairawa Tantra) atau yang istilah umumnya pengeleakan. Kemudian juga ada Yantra (simbol kawisesan) seperti gedang renteng, sanggah cucuk, upakara (banten) dan sebagainya, serta simbol yang lainnya. “Meskipun pertunjukan Wayang Kulit Calonarang sarat dengan simbol-simbol magis itu, seorang dalang haruslah dapat menyampaikan pesan-pesan agama atau penegakan dharma (kebaikan),” ucapnya

Baca Juga:  “Godog-Godogan, Keranjang Duren, Kedis-Kedisan, Kul Kuk dan Sepit-Sepitan”. Lima Jenis Permainan Tradisional Ciptaan Made Taro Sebagai Materi Workshop Serangkaian Rare Bali Festival 2024.

Lalu, unsur pengundangan (mengundang leak), hakikatnya untuk mengedukasi masyarakat dalam memahami seni dalam tatanan pengiwa dan penengen. Kalau pengiwa adalah salah satu ajaran yang diberikan Dewi Saraswati bagaimana seseorang memahami Tantra Bhairawa. Sanghyang Aji Saraswati juga mengajarkan manusia tentang penengen (ajaran dharma). Ini merupakan dua hal yang berbeda, namun satu kesatuan. “Bagi yang mendalami pengleakan ugig dapat memahami hakikat ugig tersebut sehingga bisa “ngisep sari” agar tidak menjalankan lagi pengugig sehingga semua ajaran Dewi Saraswati itu adalah baik dan patut,” lanjutnya.

Komang Gases juga menyoroti Wayang Kulit Calonarang yang semestinya dibawakan saat upacara Dewa Yadnya saat Ida Bhatara Napak Pertiwi karena identik dengan pengeruwatan, namun kini juga dipentaskan dalam ritual lainnya. Namun, sekarang seringkali sudah hantam kromo, ketika lahir anak laki-laki juga masesangi (bernazar) ingin menampilkan Wayang Calonarang, odalan di merajan juga. “Saya tidak mengatakan benar atau salah, tetapi keliru menempatkan sesangi,” pungkasnya. [B/*].

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post