Gending-gending Pelegongan Maestro Lotring Mengumandang di PKB Ke-44

 Gending-gending Pelegongan Maestro Lotring Mengumandang di PKB Ke-44

“Ngelangenin” itu yang terasa ketika mendengarkan kembali gending-gending pelegongan karya Maestro Lotring. Setelah nada-nada klasik itu dimainkan, membuat hati tenang, damai dan serasa indah. Sudah lama gending-gending itu tidak dimainkan melalui gamelan secara langsung. Orang biasanya mendengar melalui rekaman kaset, tanpa melihat ekpresi para penabuhnya. Itu karena Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 yang menghadirkan gending-gending pelegongan Lotring, dari hasil rekonstruksi.

Gending-gending pelegongan itu disajikan Sekaa Gong Mangu Puspa Kencana, Desa Adat Munggu, Kecamatan Mengwi, Duta Kabupaten Badung di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Provinsi Bali, Jumat 24 Juni 2022. Dimainkannya gending-gending klasik itu seakan menjadi obat rindu merayakan kejayaan seni pelegongan tempo dulu. Bagaimana tidak, seni pelegongan milik masyarakat Bali, kini menjadi milik dunia yang dibuktikan dengan penyebarannya hampir di seantero jagat.

Karya-karya gending maestro Lotring, disajikan dalam bentuk rekonstruksi. Meski demikian, roh gending Lotring masih terasa kental, sehingga penonton khususnya yang gemar mendengarkan gending-gending pelegongan merasa terpesona yang membawa mereka melayang ke tahun 1915-an. Satu-persatu gending itu dipersmbahkan dengan permainan dan teknik menabuh yang tinggi. Maka, sekecil apapun yang ada dari gending Lotring, rasanya tidak ada yang tertinggal. Semuanya hampir sempurna, maka itu semua yang menyaksikan merasa senang.

Pelegongan Maestro Lotring

Pembina tabuh, I Nyoman Sudiartana (50 tahun) mengatakan, rekonstruksi gending itu tidak ada yang merubah ataupun meninggalkan yang esensi.Tiga gending dijadikan satu, seperti gending Gambang Kuta, Selendro dan Sekar Gendot menjadi satu bagian lagu, namun mencarikan inspirasi dari maestro Pekak Lotring dengan judul “Sekar Segara Lotring”. “Disitu, juga ada gending lain, seperti Simbar Solo. Sesungguhnya gending Solo dengan gending Simbar itu berbeda, namun kali ini diajadikab satu, namau tidak mengurangi kekhasan dari gending itu,” ucapnya.

Baca Juga:  JAMFEST, Mengadu Kelihaian “Mapang Barong” dan “Makendang Tunggal”

Kalau gending Petegak Gayung itu memang Gending Petegak khusus tidak ada rekonstruksi. Kalaupun ada, itu hanya pada otek-otekannya saja. Sementara Legong Semarandana merupakan suatu Legong yang memang diciptakan Maestro Wayan Lotring yang sampai sekarang sering digunakan oleh sekaa-sekaa pelegongan di Bali. “Kami mulai merekostruksi mulai 28 Maret 2022. Sementara konseptornya sudah berlangsung sejak Pebruari 2022,” sebut pria asal Banjar Tegal Kuta itu.

Gending-gending ini sesungguhnya sudah lama, tetapi sangat jarang bermunculan di Badung khususnya. Tetapi, kalau di kaset-kaset yang ada di darerah Gianyar, tetapi beda cara pementasannya. “Maka itu, saya mencoba mencari dan menggali gending-gending Maestro Lotring supaya bisa dilestarikan dan bisa dinikmati oleh pecinta gamelan pelegongan. “Jujur, rekonstruksi mulai dilakukan tahun ini, karena gamelan pelegongan di Desa Munggu atau pembentukan gamelan pelegongan itu sekitar setahun lalu, sehingga kami mulai bisa erkarya setelah terbentuknya sekaa gamelan pelegongan itu.

Pelegongan Maestro Lotring

Sejak memiliki baruungan gamelan pelegongan dibarengi dengan terbentuknya sekaa, maka kreatifitas dari pada sekaa-sekaa mencari gending-gending pekak Lotring. Tujuannya, karena ingin menampilkan sesuatu yang bisa dinikamati oleh penikmat seni pelegongan khususnya, dan bagi penghobi gending-gending Pekak Lotring umumnya. “Boleh dibilang, waktu rekonstruksi tergolong cepat, tetapi sebelumnya sudah sering mementaskan, bahaan dipakai pada upacara adat. Sekarang ini hanya penyempurnaan gending-gending itu agar lebih maksimal,” aku Sudiarta polos.

Prosesnya juga tidak terlalu banyak kendala, sebab Sudiarta sendiri kebetulan asli Kuta, dan juga sebagai cucu dari sepupu Lotring. Ia sendiri telah berkecimpung musik gamelan sejak SD. Setelah mendengan gendiung itu, lalu mencoba mencari informasi kepada penabuh yang tua. Karena suba menjadi kebiasaan, maka menjadi biasa membawakan gending-gending pelegongan tersebut bersama Sekaa Mangu Kencana Puspa ini,” sebut Sudiarta. [B*]

Related post