Tradisi Cakepung di Karangasem Erat Keberadaan dengan Suku Sasak di Lombok

 Tradisi Cakepung di Karangasem Erat Keberadaan dengan Suku Sasak di Lombok

Kabupaten Karangasem memiliki kesenian khas, unik dan menarik. Namanya, Cakepung yang menonjolkan olah vokal dan seni tari. Kesenian ini diiringi dengan lantunan musik rebab dan suling, serta gamelan khas Karangasem bernama penting. Pada Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 tahun 2022, kesenian mampu menyedot pengunjung PKB karena sajiannya yang menarik dan fantantis. Kesenian itu, disajikan oleh Sanggar Seni Citta Wistara, Banjar Dinas Tri Wangsa, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, Karangasem di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali.

Seni tradisi ini diawali dengan membaca cakepan lontar, lalu diartikan oleh seorang pengartos dengan busana pentas. Beberapa menit kemudian, suasana menjadi ramai oleh puluhan orang dengan “megenjekan” untuk mengiringi jalan cerita sendratari. Suasana menjadi lebih artistic ketika megenjekan, alunan musik, penari dan dalang sebagai pengantar cerita menyatu dalam penampilan tersebut. Penonton kemudian memberikan tepuk tangan sebagai bentuk apresiasi terhadap para seniman yang tampil.

Saat itu, cerita yang dibawakan sangat sederhana, yaitu tiga orang raja bersaudara, masing-masing menjadi raja di Indrapandita, di Layangsari, dan di Indrasekar. Raja di Indrapandita mempunyai sembilan putri dan paling bungsu merupakanh putri yang paling cantik bernama Diah Winangsia. Putri ini sering difitnah oleh kakaknya, sehingga raja marah dan mengasingkannya di taman ditemani inang pengasuhnya yang bernama Inaq Rangda.

Tradisi Cakepung

Sementara itu raja di Indrasekar mempunyai dua orang putra, yang sulung bernama Raden Kitap Muncar, yang bungsu bernama Raden Witarasari (Raden Una). Mendengar kesengsaraan yang diderita oleh Diah Winangsia, maka Raden Una menuju ke Indrapandita dengan menyamar sebagai seekor kera/monyet. Sang kera menghambakan diri kepada Diah Winangsia serta berusaha menolong keluar dari berbagai kesulitan dan kesenangan yang dialami.

Baca Juga:  “Wana Prana Jiwa Bhuana” Sendratari Dipenghujung PKB XLIII

Kehidupan seekor monyet dengan seorang gadis remaja cantik, tidur bersama, pergi mandi bersama, bermain bercanda, menjadikan kisah cerita dibagian ini menarik. Setelah beberapa lama berlangsung kedok penyamaran Raden Una diketahui oleh Diah Winangsia. Raden Una akhirnya menjelaskan bahwa dia mencintai Diah Winangsia dan hidup berbahagia di kerajaan tersebut untuk menggantikan ayahnya.

Koordinator Pementasan Cakepung, Ida Made Basmadi menyampaikan, Tradisi Cakepung memiliki sejarah yang sangat erat dengan keberadaan Suku Sasak di Lombok, yaitu saat keberhasilan Kerajaan Karangasem memberikan pengaruhnya ke Lombok. “Sekilas sejarahnya berasal dari sejarah pada saat kerajaan Karangasem berhasil pengaruhnya sampai ke Sasak, Lombok. Dengan keberhasilannya Suku Sasak tersebut, budayanya pun dipelajari di sana. Ada budaya Sasak disebut dengan cepung,” ungkapnya.

Budaya yang didapatkan di Lombok, tidak serta-merta dibawa langsung ke Karangasem. Namun, dari leluhurnya terdahulu mengubah tradisi Cepung tersebut dengan memasukan seni suara. Salah satunya adalah macepat, seperti pupuh sinom, semarandana dan pupuh lainnya. “Leluhur kami almarhum Ida Wayan Tangi mengubah Cepung itu dengan memasukan dengan macepat, sehingga menjadi Cakepung dari cakep lontar, kemudian diisi dengan tempo pong. Itu versi saya, namun banyak yang menafsirkan Cakepung dari peperangan. Yaitu pacek dan kepung yang berarti diserang,” beber Basmadi.

Tradisi Cakepung

Saat tampil di PKB ini, musik yang dipakai sudah dikembangkan. Dulunya hanya mengandalkan suara dan suling. Bahkan sulingnya pun memiliki ciri khas tersendiri, dimana lubangnya hanya lima. Para penarinya sekarang masih memerlukan generasi yang baru. Orang yang ingin menekuni Cakepung, setidaknya gemar menari dan mempertahankan tradisi Cakepung itu sendiri. “Saat ini, penampilan sebanyak 36 orang. Penggalian ini menjadi kendala karena beberapa dari pada anggota Cakepung terdahulu sudah menjadi sulinggih. Ini generasi ke sekian,” bebernya.

Baca Juga:  Pentaskan “Arjuna Tapa”. Cara Dosen dan Mahasiswa Pedalangan ISI Denpasar Menghidupkan Kembali Wayang Kulit Parwa gaya Bebadungan

Cakepung itu sendiri seni suara mulut dan alat musik. Dalam pementasan ini hampir full olah vocal, sehingga saat pentas maupun latihan yang penting ada air. Rata-rata para penari bisa pentas selama 1,5 jam lebih dan terus mengeluarkan vocal, sehingga memerlukan air yang banyak. “Hal itu, bisa dikatakan sebagai tantangan pemain cakepung,” imbuh Basmadi.

Pelestarian seni Cakepung saat ini tetap bertahan di Desa Budakeling. Tradisi ini secara turun-temurun dipentaskan di Budakeling ketika ada hajatan atau ada upacara hajatan seperti naur sesangi. “Ada juga digunakan “naur sesang”, seperti upacara bayi yang kepus puser atau yang berumur 12 hari. Kemudian pada saat upacara manusa yadnya, termasuk pada pitra yadnya di tempat orang meninggal. Ada orang begadang atau yang disebut dengan magebangan saat orang meninggal itu juga bisanya dipentaskan cekepung ini,” terangnya.

Kesenian ini juga sempat dipentaskan di pura, saat orang yang membayar kaul. Masyarakat membeyar kaul dengan mementaskan Cakepung di salah satu pura di wilayah Ababi. Secara umum klasifikasi Cakepung ini dalam balih-balihan. Namun, saat ini masih abu-abu, sebab di dalam pementasannya masih masuk unsur lontarnya. “Lebih ke sosial masyarakat interaksi bergaul, ketika salah satu keluarga punya hajatan. Di sana tempat sanak keluarga berkumpul, otomatis mementaskan tradisi Cakepung itu sendiri,” tegas Basmadi. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post