Dosen Pedalangan ISI Denpasar Gelar PKM di Desa Selisihan. Angkat “Surki” Pupuh Macepat I Made Sija
Budaya Bali memang unik, maka tak pernah habis untuk dibicarakan. Sebut saja tembang Bali jenis pupuh atau macepat. Macepat yang biasanya menyelipkan pesan-pesan tentang kehidupan yang dijadikan sebagai pegangan dalam berperilaku di masyarakat, tetapi kini ada beda dan unik. Nilai-nilai luhur Pancasila diaplikasikan ke dalam 36 bait pupuh yang mengadopsi 36 butir nilai Pancasila. Namanya macepat itu “Surki”. “Pupuh ini unik, maka kami menelitinya, lalu menjadikan sebagai Program Kemitraan Masyarakat (PKM) kepada Sekaa Pasantian Swasti Marga Brata, Desa Selisihan, Klungkung,” kata Dosen Program Study (Prodi) Seni Pedalangan, Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, I Kadek Widnyana.
Dalam program PKM itu, Kadek Widnyana melakukan bersama Ni Komang Sekar Marhaeni juga dari Prodi Seni Pedalangan dan Ni Putu Hartini dari prodi Seni Karawitan. Saat itu focus pada pupuh macepat “Surki” karya I Made Sija, maestro sekaligus budayawan kelahiran Banjar Dana, Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Pupuh ini merangkum 36 butir Pancasila ke dalam 7 jenis pupuh, yaitu pupuh Sinom, Pucung, Ginada, Durma, Maskumambang, Pangkur, dan pupuh Dandang. “Surki akronim dari kata sasur siki. Sasur (pasasur) artinya tiga puluh lima, asiki artinya satu. Jadi pasasur asiki dalam konteks ini adalah 36 pada/bait pupuh implementasi dari 36 butir Pancasila,” papar seniman dalang ini.
Pupuh Macepat “Surki” ini sangat menarik dijadikan media tuntunan nilai-nilai Pancasila bagi masyarakat. Hal itu dicoba di Selisihan Klungkung. Kalau pada zaman Orde Baru, kegiatan ini disebut Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4). “Belum pernah ada pupuh yang mengulas tentang 36 butir nilai Pancasila. Maka itu, pembinaan pupuh “Surki” ini menjadi media untuk menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila di tengah masyarakat, khususnya di Desa Selisihan Klungkung. Progaram ini, sekaligus sebagai pelestarian pupuh “Surki”,” sebutnya.
Kadek Widnyana mengaku, masyarakat Desa Selisihan Klungkung, utamanya Sekaa Pasantian Swasti Marga Brata sangat serius mempelajari macepat “Surki”. Dalam waktu yang singkat mereka sudah dapat melakukannya, bahkan langsung mempratekannya. Kini, mereka sudah terbiasa membawakan pupuh macepat itu dalam kegiatan mesanti, baik ngayah ataupun dalam kegiatan adat lainnya. Pupuh Surki, bahkan mengema pada setiap tumah melalui komunitas HT (break). “Setelah pembinaan itu, masyarakat Desa Selisihan sudah biasa membawakan pupuh yang mengandung nilai-nilai 36 butir Pancasila selain, pupuh-pupuh yang biasa,” akunya polos.
Dalam Surki itu, pria yang akrab dipanggil Jero Dalang Bona atau Bapa Sija itu mengaplikasikan setiap satu butir nilai Pancasila ke dalam satu pada pupuh. Sila pertama terdiri dari 4 pada dengan menggunakan pupuh Sinom. Sila kedua terdiri dari 8 pada dengan menggunakan pupuh Pucung. Sila ketiga terdiri dari 5 pada dengan menggunakan pupuh Ginada. Sila keempat terdiri dari 7 pada dengan menggunakan pupuh Durma. Sila kelima terdiri dari 12 pada dengan menggunakan 3 pupuh yaitu: pupuh Maskumambang 7 pada, pupuh Pangkur 2 pada, dan pupuh Dandang 3 pada.
Ke 36 pupuh ini merupakan pengejawantahan dari 36 nilai-nilai Pancasila yang khusus dibuat oleh Seniman serba bisa, sekitar tahun 1997. Oleh karena bobot dan kualitas serta lirik semua pupuhnya merupakan nilai-nilai yang bisa memberikan pencerahan terhadap pendidikan kebangsaan dan kebinekaan. “Karena itu, kami memaandang perlu pupuh ini disosialisasikan ke masyarakat luas. Dalam konteks ini, kami menggunakan media pasantian sebagai sarana pengabdian kepada masyarakat,” tambah Kadek Widnyana.
Nilai-nilai dalam Pancasila merefleksikan kultur, nilai, dan kepercayaan masyarakat Indonesia. Pancasila hadir sebagai pemersatu pandangan hidup warga Indonesia yang bertujuan untuk menjaga dinamika yang ada di dalam masyarakat. Karena itu, penyuluhan nilai Pancasila perlu diberikan kepada masyarakat Desa Selisihan agar pemahaman dan pengamalannya dapat lebih ditingkatkan. “Ini juga perlu dilakukan di seluruh lapisan masyarakat untuk meredam Paham komonisma, terorisma yang mulai menggoyang eksistensi Pancasila. degradasi moral, lemahnya mental karena pengaruh materialisma yang mengarah pada kehudupan individualism,” jelasnya.
Lahirnya pupuh macepat Surki ini sungguh bermanfaat, sebab jangan sampai nilai-nilai Pancasila hanya sebatas wacana dan pajangan belaka. Pengamalan itu penting agar tidak terjadi perpecahan, menumbuhkan rasa tolong menolong, saling mengasihi, tak terjadi mabuk-mabukan. “Fenomena itu sudah terasa dan terlihat di Desa Selisihan, sehingga keinginan untuk menanggulangi semakin derasnya pengaruh negatif di atas, pembina melakukan program PKM nilai-nilai Pancasila di desa Selisihan memalui kegiatan seni Pasantian,” sebut Kadek Widnyana.
Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan alumni FSP ISI Denpasar, mengatakan, metode dan kiat-kiat yang digunakan dalam pembinaan itu menggunakan langkah-langkah nyata berkenaan dengan proses pelatihan dan penguasaan pupuh macepat “Surki”. Pembina melalui pelatihan kepada semua penembang sesuai pembagian pupuh dan lirik, selain penguasaan surki. Semua itu diawali dalam bentuk pacapriring untuk memantapkan penguasaan lirik. Pacapriring itu melodi dasar dari sebuah pupuh. Sebelum ngawilet penembang diwajibkan menguasai melodi dasar atau priring dari pupuh bersangkutan. “Setelah lirik dan pacapriring sudah dikuasai, dilanjutkan dengan pelatihan ngawilet, permainan melodi pada sebuah pupuh namun tetap berlandaskan dari melodi dasarnya,” paparnya.
Pada pupuh “Surki” menegaskan arti dan makna dari setiap sila. Sila 1, Ketuhanan Yang Maha Esa dalam pupuh Sinom berisi percaya dan takwa kepada Tuhn Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing, hormat-menghormati dan bekerja sama anatar pemeluk agama dan penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina kerukunan hidup, saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai agama dan kepercayaannya, dan tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan tertentu kepada orang lain.
Sila 2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab dalam Pupuh Pucung, mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia warga negara, saling mencintai sesame, mengembangkan sikap tenggang rasa, tidak semena-mena terhadap orang lain, menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, gemar melakukan kegiatan kemanusiaan, berani membela kebenaran dan keadilan, serta bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerja sama dengan bangsa lain.
Sila 3, Persatuan Indonesia dalam Pupuh Ginada menempatkan kesatuan, persatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara, cinta tanah air dan bangsa, bangsa sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia, serta memajukan pergaulan demi persatuan dan keatuan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
Sila 4, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmh kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan dalam pupuh Durma yang menagaskan, mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat, tidak memaksakan kehendak kepada orang lain, mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama, musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan, dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah, musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur, keputusan yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan,
Sila 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dalam Pupuh Maskumambang dan Dangdang yang menegaskan, mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan gotong royong, bersikap adil, menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, menghormati hak-hak orang lain, suka memberi pertolongan kepada orang lain, menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain, tidak bergaya hidup mewah, tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum, ngulahang idup padidi, suka bekerja keras, menghargai karya orang lain, serta bersama-sama berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Adapun contohnya, Sila 1. Ketuhanan Yang Maha Esa. Percaya dan takwa kepada Tuhn Yang Maha Esa sesuai agama dan kepercayaan masing-masing.
Pupuh Sinom pada ke 1:
1. pancasila manut pisan
2. dasar negarane mangkin
3. daging silane kapisan
4. teleb bakti ring hyang widhi
5. suang-suang mangelingin
6. agamane wus kaanut
7. medasar ban kopesaman
8. sampunang mapilih kasih
9. mangda patut
10. pageh ngamong kaadilan
Sila 2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Mengakui persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia warga negara.
Pupuh Pucung pada ke 1.
1. ngawit pucung, sila kaping kalih mungguh
2. duh sampunang pisan
3. ngangken raga pinih luwih
4. wireh patuh, paturu ngelah kakwasan
Kadek Widnyana, Komang Marhaeni dan Putu Hartini lalu kompak memaparkan, seni suara vokal atau tembang di Bali masih digemari oleh masyarakatnya baik itu masyarakat awam, akademis, pedesaan maupun perkotaan. Seni suara vokal ini lebih menitik beratkan pada pembelajaran dan pemaknaan pupuh-pupuh atau tembang-tembang macepat. Tembang itu dibedakan 4 kelompok, yaitu Sekar Rare (kelompok gegendingan anak-anak), Sekar Alit (pupuh macepat yang diikat padalingsa), Sekar Madya (kekidungan, lagu-lagu pemujaan) dan Sekar Agung (kakawin). “Tembang-tembang macepat berisikan nilai-nilai tuntunan budi pekerti dan juga bagian dari prosesi upacara agama, adat dan budaya,” jelasnya.
Dari keempat tembang itu, sekar alit menduduki posisi yang dominan di masyarakat. Selain bisa dilantunkan secara individu, sekar alit identik dengan Pasantian, yaitu sekelompok orang (sekaa) menyajikan sebuah cerita melalui berbagai jenis tembang oleh beberapa penembang dan pangartos yaitu orang yang memberi arti atau makna dari pupuh yang disajikan. Menggunakan bahasa Bali, dan menjadi bagian penting dari drama tari Arja. Maka itu, Arja sebuah drama tari yang menarikan tembang/pupuh. “Sekaa Pasantian Desa Selisihan Klungkung sangat menggemari kegiatan tersebut dari berbagai kelompok umur,” ucapnya menegaskan
Masing-masing pupuh mempunyai ekspresi (suasana) kejiwaan yang berbeda-beda. Ekspresi pupuh itu berguna untuk mengungkapkan suasana dramatik dari suatu cerita atau lakon. Suasana aman, tenang atau tentram mempergunakan pupuh Sinom lawe, Pucung, Mijil, Ginada Candrawati. Suasana gembira, roman serta meriah mempergunakan pupuh Sinom Lumrah, Sinom Lawe, Ginada Basur, Adri, Magatruh. Suasana sedih, kecewa atau tertekan mempergunakan pupuh Sinom Lumrah, Sinom Wug Payangan, Semarandana, Ginada Eman-Eman, Maskumambang, Demung.
Sedangkan untuk suasana marah, tegang atau kroda biasanya memakai pupuh Durma dan Sinom Lumrah. Sekalipun pupuh memiliki ekspresi tersendiri, namun faktor melagukan, menyanyikan oleh pelakunya dapat pula merubah ekspresi yang ada pada pupuh tersebut. “Tujuan pembinaan ini untuk melestarikan pupuh “Surki” dengan jalan desiminasi ke Masyarakat, menyebarkan nilai-nilai Pancasila lewat Surki, memperdalam teknik olah vokal secara teori dan praktik, ngandang ngelung, guru wilang, guru dingdong ngunjal angkihan, ngruna, murwa kanti, nada, lirik, ritma/melodi, dan tempo,” papar mereka. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali