Warna Warni Musik Puisi di Festival Seni Bali Jani IV

 Warna Warni Musik Puisi di Festival Seni Bali Jani IV

Adilango (pergelaran) Musikalisasi Puisi (musik puisi) “Suara Semesta Kita” dalam ajang Festival Seni Bali Jani (FSBJ) IV bisa jadi sebagai gambaran perkembangan musik puisi saat ini. Pasalnya, komunitas seni yang tampil dari yang senior hingga junior, sehingga kreativitas mereka sangat, namun tetap indah. Kreativitas mereka dalam menyajikan seni sastra itu memang tak asal-asalan, sehingga pengunjung di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali tempat mereka tampil, Rabu 12 Oktober 2022 menjadi lebih hidup.

Teater Jineng (Tabanan) mengawali pergelaran music puisi dengan menghadirkan puisi Aku Burung, Lawat, Raksa Danu dan Dari Danau Beratan Kita Belajar sebuah sajian baca puisi. Dalam penampilannya menggunakan alat music yang terdiri dari gitar, dua buah alat music seperti bilah gangsa berbahan kayu, keyboard dan sungu. Teater yang didukung anak-anak muda berbakat ini, juga memadukan muspus dengan penari yang mempertegas makna atau pesan yang ingin disampaikan lewat puisi tersebut.

Komunitas Budang Bading Badung kemudian menyusul dengan menampilkan dua music puisi berjudul “Pemargin Ida” karya Nyoman Manda dan puisi “Autobiografi Kejahatan” karya Sthiraprana Duarsa serta sebuah pembacaan puisi berjudul Toya karya Wayan Esa Bhaskara. Komunitas yang berdomisili di Badung itu tampil dengan alat music yang lebih lengkap, yakni memasukan drum dari pementasan biasanya. “Kami menambah alat music drum untuk menambah suasana, serta dapat memberi aksen pada bagian-bagian tertentu,” kata Ketua Komunitas Amrita Dharma.

Kemudian, Senja Di Cakrawala (Denpasar) menyajikan konsep full band dan semi orkes yang memakai rekaman dalam laptop (sequencer). Komunitas ini juga menyajikan 2 musik puisi dan sebuah baca puisi. Musik puisi “Di Taman Itu, Jejakmu Masih Terasa” karya Moch Satrio Welang menjadi penampilan pertama, kemudian baca Puisi Ulundanu karya Erkaja Pangmungsu, lalu musik puisi “Gemuruh Laut” karya Wayan Jengki Sunarta. Komunitas muspus yang berdomisili di Denpasar ini melagukan puisi yang dipadu dengan tarian. “Kami memadukan dengan penari, sehingga music puisi menjadi lebih atraktif,” kata Arranger Yoga Anugraha itu.

Baca Juga:  Pameran Seni “SEEN” Tentang Keinginan Jati Diri Setiap Orang

Tan Lioe Ie (Denpasar), penyair senior tampil dengan membawakan puisi-puisi yang sudah dimusikalisasikan sebelumnya. Ia tampil sendiri yang hanya menggunakan gitar akustik dengan gaya petiknya yang khas. Meski tampil secara solo, namun kekuatan Tan Lioe Ie dalam memberikan jiwa dalam setiap music puisi itu begitu kuat. Puisi karyanya “Aku Danau: Aku Laut seakan menjadi obat rindu para pengemar muspus. Apalagi dalam pembacaan puisi “Malam Cahaya Lampion” suaranya yang khas, membuat penonton terkesima.

Beda lagi dengan penampilan Kelompok Sekali Pentas (Denpasar) yang ditunggu-tunggu oleh para penggemarnya. Setelah masuk stage, sambutan penonton begitu semangat yang menunggu sajian yang pasti beda dari sebelumnya. Dan benar, kelompok yang tampil sekitar 20 menti itu mengkemas puisi dalam bentuk progresif rock, yang menggunakan gitar, bass, drum juga gitar akustik. Heri yang mengaransemen puisi itu begitu lihai, sehingga disamping indah, pesan tetap sampai.

Tema FSBJ IV menjadikan air sebagai sumber peradaban. Ketika air itu hanya dijadikan alat sumber peradaban, maka air itu kemungkinan bisa tercemar, sehingga peradaban itu akan hilang dan rusak. Maka, ketika satu kelompok kehilangan sumber peradaban, mereka akan mencari sumber peradaban baru. Mereka meninggalkan air yang sudah tercemar, lalu mencari mata air batu walau itu dengan cara menjajah, sehingga menyakiti sumber daya yang dimiliki kelompok lain. “Maka dari itu judul pementasan ini “Arus” siklus yang akan terus begitu,” ucap Heri.

Puisi yang dibawakan tentang pilihan, bahwa setiap orang apapun mempunyai dua sisi gelap dan putih. Hanya pendewasaan kita yang bisa memilih berada di posisi mana akan berada. Judul puisi itu “Puisi Anak” karya Sulis Gingsul. Kemudian, masih puisi Sulis, menghadirkan cerita tentang setiap hari pasti ada yang lahir, hidup dan lahir. “Kami membawakan puisi Jengki Sunarta berjudul “Obituari Laut” menceritakan air yang sudah mulai tercemar,” ucapnya.

Baca Juga:  Jalan Tengah Meluncurkan Album “Garis Putih”

Kelompok ini lalu menampilkan puisi “Kalimbah Nanggroe” bercerita tentang perang memperebutkan air sebagai upaya untuk menemukan sumber peradabannya. Lalu ditutup dengan puisi Ngurah Parsua “Setelah Angin Senja Berhembus” yang bercerita setelah perang berarti ada korban. “Ternyata lebih beruntung menjadi mati karena terhindar dari dosa dan sudah melepas kebutuhan dunia, sehingga menjadi lebih tenang,” sebutnya.

Lalu Jose Rizal Manua (Jakarta) yang tampil membaca puisi dan menampilkan music puisi, dan penampilan Nankinun (Yogyakarta) sebagai penyajian pamungkas. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post