“Warna Bali” Pameran 14 Perupa di Gala Rupa Balinesia Art Space Kuta
Klasik dan unik. Sebanyak 14 perupa modern-kontemporer Bali menggelar pameran bersama bertajuk “Warna Bali” di Gala Rupa Balinesia Art Space, Jalan Kubu Anyar, No.6, Kuta, Kabupaten Badung. Para seniman itu mengeksplorasi dan mengaplikasikan warna Bali dari hasil riset Gurat Institute kedalam praksis kekaryaan mereka. Pameran yang digelar Yayasan Gala Rupa Balinesia bersama Gurat Art Project itu telah dibuka pada Sabtu 15 Oktober, dan berlangsung hingga 25 November 2022.
Sebanyak 14 perupa yang menyajikan karya-karya seni, yaitu Agung Mangu Putra, Chusin Setiadikara, Dewa Gede Ratayoga, Djaja Tjandra Kirana, I Ketut Suwidiarta, I Made Griyawan, I Made Wiradana, I Wayan Redika, I Wayan Suja, I Wayan Sujana Suklu, Ni Nyoman Sani, Nyoman Erawan, Osbert Lyman, Polenk Rediasa. Pameran ini dikuratori oleh Wayan Seriyoga Parta dan Made Susanta Dwitanaya.
Pameran ini berawal dari salah satu divisi Komunitas Gurat Budaya Indonesia yakni Gurat Art Project sebagai sebuah divisi yang bergerak dalam bidang kuratorial, dan program seni rupa menggerakkan hasil riset Gurat Institute dalam sebuah program pameran yang mengajak 14 perupa. “Sebagai perupa yang tumbuh dari medan seni modern-kontemporer, warna Bali dengan karakteristiknya yang natural merupakan media yang “baru” untuk praksis kekaryaan mereka,” kata Yoga Parta.
Projek ini juga memilih kertas Ulantaga (Daluang) sebagai media utama untuk dikombinasikan dengan warna berbahan alam atau warna natural. Pemakaian bubuk tulang sebagai pigmen putih, jelaga atau mangsi sebagai pewarna hitam, Gincu (Cinabar) sebagai pewarna merah, batu Pere sebagai pewarna kuning, dan biru dari daun Taum (Indigo).
Lima basis warna alam tersebut menghasilkan karakter warna yang khas menyiratkan karakteristik warna yang dipakai pada karya-karya tradisional Bali, seperti dalam wayang kulit, topeng dan seni lukis wayang Kamasan. “Kelima warna itulah yang menjadi basis material utama yang diberikan kepada perupa yang telah memiliki basis kecenderungan karya masing-masing,” ujarnya.
Pemakaian kertas ulantaga dengan daya serap warna yang berbeda dengan kertas lukis pada umumnya memunculkan problematika yang menarik, menjadi tantangan tersendiri bagi para perupa serta sekaligus peluang bagi hadirnya pendekatan pendekatan artistik yang juga menuntut penangan dengan teknik yang spesifik.
Karya-karya yang hadir dalam pameran ini menunjukkan beberapa karakteristik visual sebagai hasil dari proses eksplorasi atas material warna dan kertas ulantaga tersebut. Ada tiga kecenderungan eksplorasi, antara lain; eksplorasi pendekatan representasional realistik, pendekatan figuratif-simbolik, dan eksplorasi abstrak-formalis.
Yoga Parta mengatkan, masing-masing karya hadir dengan berbagai karakteristik artistik dalam upaya melahirkan capaian estetika. Nilai kesejarahan warna Bali dan kertas ulantaga melahirkan intepretasi yang bersumber pada memori visual tradisi, yang dilandasi dengan identifikasi karaktertik media warna Bali yang memiliki spesifikasi tersendiri. Memori memori visual tersebut menghantarkan mereka pada pilihan eksplorasi visual dan teknik serta pilihan eksplorasi subject matter yang dielaborasi dalam karya.
Sebut saja pada ekpslorasi karya Nyoman Erawan baik karya dua dimensi dan instalasi yang menggali potensi dan karakter media warna Bali, terutama kertas ulantage dengan pendekatan artistik formalistik. Karya Made Griyawan dan Djaya Tjandra Kirana menimbang kembali kekuatan media warna Bali, sebagai sebentuk revitalisasi atas estetika tradisi. Ketut Suwidiarta menggali kekuatan garis yang dipadukan dengan karakter kertas artistik ulantage. Chusin Setiadikara dan Wayan Sujana “Suklu” menggali kemungkinan artistik simbolik, berangkat dari pembacaan atas estetika seni lukis Kamasan.
Eksplorasi dengan pendekatan rupa realistik dengan berpijak pada karakteristik artistik media warna Bali dengan mengali kemungkinan karakter kertas dan teknik menjadi konsentrasi eksplorasi karya Wayan Redika, Dewa Ratayoga, I Wayan Suja, I Nyoman Rediasa (Polenk), Nyoman Sani, dan Agung Mangu Putra. Karya-karya mereka membuka kemungkinan potensi media warna untuk pengembangan representasional dengan pendekatan spesifik media ini, yang cenderung berbeda dengan media konvensial cat minyak dan cat air.
Efek serat dari kertas memicu daya kreativitas Made Wiradana dan memantik spontanitas garis berpadu dengan warna melalui kekuatan figuratif karyanya. “Melihat fenomena astetika yang dilahirkan oleh perupa dalam pameran ini, memperlihatkan potensi material warna Bali dan juga kertas ulantaga sebagai media yang lekat dengan praktik tradisi dapat digerakkan dan dikembangkan dalam konteks penciptaan karya-karya seni rupa modern-kontemporer,” sebut dan Made Susanta menimpali.
Pameran ini, awal dan momentum untuk menggerakkan kembali praksis dan pengetahuan warna Bali dalam praksis penciptaan dan wacana seni rupa kontemporer. Melalui pendekatan yang berbasis pada eksplorasi media menuju kepada kesadaran medium, yang nantinya dapat menjadi daya tawar pada munculnya diskursus ‘baru’ seni rupa Bali kontemporer yang tidak hanya berpusar hanya persoalan tema dan subject matter. “Kreativitas dalam mengembangkan basis pengetahuan praksis media warna Bali, tentu harus dibarengi dengan kecakapan teknis dan sensibilitas karakteristik media,” pungkasnya. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali