Drama Gong Gianyar Pentaskan “Tragedi Bingin Banyah” dari Novel Sukreni Gadis Bali
Selain sebagai obat rindu, drama gong yang dikemas dalam bentuk wimbakara (lomba) serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLV juga sebagai terapi ketawa. Tak hanya tokoh punakawan, pemeran tokoh lainnya juga lihai “ngelawak”. Lawakan yang disampaikan tergolong cerdas, mendidik dan beretika. Maka tak heran, mereka sukses mengundang gelak tawa penonton ketika tampil di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali (Art Center), Selasa 20 Juni 2023 malam.
Itulah gambaran penampilan Sanggar Seni Taksu Agung Pejeng, Banjar Uma Kuta, Desa Pejeng Kangin, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar yang memang ditunggu-tunggu oleh penggemar ataupun pecinta kesenian yang sudah ada pada tahun 60-an itu. Pada kesempatan ini, drama gong yang didukung seniman-seniman muda berbakat itu mengangkat judul “Tragedi Bingin Banyah” digubah dari novel Sukreni Gadis Bali karya AA Panji Tisna. Dialog demi dialog para pemain sangat lancar.
Sajian ini menjadi lebih komunikatif, ketika momen-momen lawak para pemain ditanggapi riuh oleh penonton. Gubernur Bali I Wayan Koster dan Nyonya Putri Suastini Koster, serta didampingi Kepala Bidang Kesenian Dinas Kebudayaan, Ni Wayan Sulastriani yang ada di tengah-tengah penonton tampak serius menyaksikan kesenian yang memadukan teater tradisional, acting dan drama modern ini. Bahkan ikut tertawa, seirama dengan penonton lainnya.
Drama Tragedi Bingin Banyah tersebut mengisahkan peristiwa mengenaskan ini terjadi di Desa Bingin Bayah, Buleleng Barat akibat perbuatan keji Men Negara, seorang perempuan tua yang tamak. Demi uang dan harta, dengan gelap mata Men Negara telah menjual Luh Sukreni, putri kandungnya kepada seorang mantri polisi hidung belang, I Gusti Made Tusan.
Karena perbuatan yang tak berperkemanusiaan ini, Men Negara harus menanggung akibatnya. Rumah dan warung tempat jadi korban, dan Luh Sukreni diperkosa Gusti Made Tusan. Pada suatu hari, Gusti Made Tusan terlibat perkelahian dan tewas di tangan penjahat ulung bernama I Gustam, yang tiada lain anak Luh Sukreni yang dibuahinya secara paksa. “Kisah ini sangat menarik,” kata pembina drama gong remaja Duta Kabupaten Gianyar, I Gusti Putu Yasa usai pementasan.
Novel Sukreni Gadis Bali sebagai bahan cerita dalam drama merupakan suatu langkah memasukkan sastra-sastra modern ke dalam seni drama gong dari yang biasanya cerita-cerita panji. “Kebetulan ada arahan dari Prof Wayan Dibia. Sebelumnya pernah diangkat dalam arja (Novel Sukreni Gadis Bali). Sekarang beliau menginginkan dipakai dalam drama gong,” paparnya meyakinkan.
Untuk tahun 2023 bagaimana cara penyajian pagelaran di PKB untuk drama gong menggunakan sastra modern. Jadi cerita panji untuk prembon, arja, gambuh. Maka itu, khusus drama gong, tahun ini sengaja dibuat kemasannya mengambil novel Sukreni Gadis Bali. Termasuk tatanan bahasa, tatanan busana, dan yang lainnya semua sangat berbeda dari drama kebanyakan,” ungkapnya.
Seniman muda yang tampil dalam lomba drama gong remaja ini, sebanyak 85 persen di antaranya sudah memiliki basic olah vokal yang cukup bagus. Maka itu, proses latihan tidak mengalami banyak kendala. “Sebetulnya untuk Duta Kabupaten Gianyar itu, mereka sudah punya basic. Mereka ada yang basic pedalangan, arja, dan topeng. Makanya kami tidak begitu menemui kesulitan,” sebutnya.
Untuk membina remaja bermain drama gong memang susah-susah gampang. Terlebih harus diupayakan agar seniman muda ini memang betul-betul dalam keadaan senang mengambil karakter-karakter yang ada. Jika dipaksakan, maka hasilnya juga tidak akan sesuai dengan yang diharapkan. “Kami tidak begitu saja menggembleng. Kita cari tahu dulu hatinya. Kita harus jeli dan cerdas melatih mereka. Kalau tidak jeli, kita tidak akan berhasil. Karena cara membina sekarang beda dengan dulu,” ujarnya.
Karakter-karakter pemain diperkuat dengan memberikan pembinaan yang melibatkan seniman senior drama gong seperti Ni Wayan Suratni, Sang Ayu Tirtawati, Gusti Ngurah Jelantik, dan lain-lain. “Karena isi cerita tidak bertutur tentang kerajaan, maka garapan tabuh pun ikut menyesuaikan. Sebab jika tidak didukung dengan melodi tabuh yang pas, maka antara garapan cerita dan pengiring tabuhnya tidak akan nyambung,” kata Ida Bagus Kartika selaku pembina tabuh.
Tabuh yang digarap harus sesuai dengan karakter. Kalau drama gong yang bertema kerajaan, beda tabuhnya. Sekarang yang diangkat adalah kisah rakyat atau novel, makanya tabuhnya beda lagi. Tanpa didukung melodi tabuh yang pas, tidak akan nyambung. “Proses penggarapan tabuh membutuhkan waktu sekitar 25 hari,” ujarnya. [B/puspa]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali