Drama Gong Remaja Berkisah Sastra Bali Modern ‘Katemu ring Tampak Siring’

 Drama Gong Remaja Berkisah Sastra Bali Modern ‘Katemu ring Tampak Siring’

Sanggar Seni Mudra tampilkan drama gong ‘Katemu ring Tampak Siring’/Foto: ist

Pecinta atau penggemar drama gong pasti nyesal tak sempat menyaksikan Sanggar Seni Mudra, Banjar Sandakan, Desa Sulangai, Kecamatan Petang, duta Kabupaten Badung di Kalangan Ayodya Taman Budaya, Provinsi Bali, Selasa 27 Juni 2023. Pentas dalam wimbakara (lomba) serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLV ini, drama gong yang didukung anak-anak muda ini mengadaptasi salah satu cerita sastra Bali modern ‘Katemu ring Tampak Siring’.

Ya, tentu saja beda. Biasanya, drama gong mengambil inspirasi dari cerita panji, namun kini mengangkat sebuah kisah yang terjadi setelah zaman kemerdekaan Republik Indonesia di daerah Gianyar. “Kisah ini dari cerpen yang terbit sekitar tahun 1978 yang mengisahkan pertemuan haru Ni Luh Kompyang dan anaknya yang keturunan tentara Belanda yakni Combosch alias Van Steffen,” kata Ketua Sanggar Seni Mudra I Gusti Lanang Subamia disela-sela lomba.

Memang, panitia menawarkan para peserta mengambil cerita dari sastra Bali modern. Sanggar Seni Mudra kemudian mengolahnya dengan apik dan sangat menawan. Karena itu, wajar  penonton tidak beranjak dari tempat duduknya hingga pementasan selesai. Penonton terlihat antusias menyaksikan kesenian yang megutamakan acting yang mulai pukul 19.00 hingga 22.00 Wita itu. Bahkan, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Provinsi Bali, Putri Suastini Koster menjadi salah satu penonton yang setia.

Kisah itu bermula pertemuan Ni Luh Kompyang dan Van de Bosch, seorang tentara Belanda, di Desa Carangsari. Latarnya mengambil era sekitar 1940-an. Kisah keduanya berlanjut hingga jatuh cinta dan menikah. Namun, maut memisahkan mereka ketika Van de Bosch tewas pada peperangan di Lembang, Jawa Barat. Van de Bosch meninggalkan Ni Luh Kompiang, putranya yang masih belia yakni Combosch, dan putrinya yang masih dalam kandungan, Ni Luh Rai.

Baca Juga:  Siswa PAUD Warnai Tokoh Rama

Combosch yang merupakan keturunan Belanda dibawa pulang oleh utusan kerajaan ke negara ayahnya. Combosch diasuh oleh yayasan yatim piatu di Rotterdam dan ketika dewasa, ia diberi nama Van Steffen. Takdir seakan membawanya kembali ke Indonesia saat Ratu Juliana berkunjung ke tanah air pada 1971 dan Van Steffen bertugas meliput peristiwa sejarah ini.

Singkat cerita Ratu Juliana berkunjung ke Tampaksiring. Di waktu senggang dalam kunjungan ini, Van Steffen keluar melihat lingkungan sekitar ditemani guide bernama Gladag dan Gledig. Diceritakan di sana, Van Steffen tertarik dengan sebuah art shop yang ternyata dijaga oleh Ni Luh Rai.

Tanpa mengetahui latar belakang satu sama lain, Ni Luh Rai dan Van Steffen sama-sama memiliki rasa dan jatuh cinta. Hubungan ini terus berlanjut hingga Ni Luh Kompiang curiga dengan tingkah laku putrinya dan pada akhirnya meminta agar Luh Rai tidak berhubungan dengan orang asing sebab risikonya tinggi.

Pada suatu ketika Ni Luh Kompyang sakit dan ditemani sang putri. Di saat itu pula Van Steffen datang usai mewartakan kunjungan Ratu Juliana ke Pura Besakih. Pada saat inilah Ni Luh Kompiang berusaha mengulik orang asing yang dekat dengan putrinya itu. Sampai fakta mengejutkan terungkap bahwa Van Steffen adalah Combosch, putra Ni Luh Kompiang.

Pertemuan kembali itu pun berlangsung haru ketika Van Steffen dan Ni Luh Kompiang sama-sama memiliki foto keluarga berisikan Combosch kecil. Pada saat ini pula, Ni Luh Rai membuat kejelasan dalam hubungan keduanya bahwa perasaan suka mereka sebaiknya dijadikan rasa kasih sayang antarsaudara.

Pementasan drama gong remaja semakin menarik dan membuat penonton terpingkal-pingkal akan tingkah konyol tokoh tambahan di luar cerpen aslinya,  I Wayan Gabler, anak Jro Bendesa Gede dari Manukaya. Ia harus menanggung rasa kecewa karena cintanya ditolak walaupun sudah sempat menugaskan premannya (Pan Keplag) untuk membujuk dan menakut-nakuti Luh Rai namun tetap ditolak oleh Luh Rai.

Penampilan yang lugas dari para pemain drama ini, tentu melalui proses panjang. Para pemain sempat mengalami kendala dalam dialog, karena selama ini terbiasa memerankan tokoh cerita panji bukan sastra Bali modern. Kesenian ini didukung oleh 29 penabuh yang mengiringi 15 tokoh drama. “Kami bersyukur bisa tampil di PKB karena bisa menjadi wadah kebangkitan drama gong,” ujar Gusti Lanang Subamia.

Sejak 5 Januari 2023, telah melakukan latihan untuk tampil pertama kalinya pada ajang PKB. Tema PKK ke-45 Segara Kerthi Prabhaneka Sandhi Samudera Sumber Kehidupan pun menjadi dasar cerita yang ditampilkan selama 3 jam. “Kehadiran van Steffen sampai di Bali kan melalui laut, jadi laut bukan semata hanya pemisah tapi laut juga pemersatu,” sebutnya. [B/puspa]

Related post