Tiga Sekaa Gong Kebyar dari Gumi Lahar Berekspresi di PKB XLV

 Tiga Sekaa Gong Kebyar dari Gumi Lahar Berekspresi di PKB XLV

Tiga Sekaa Gong Kebyar Duta Kabupaten Karangasem berekspresi di PKB XLV/Foto: ist

Tiga sekaa gong kebyar Duta Kabupaten Karangasem tampil mebarung dalam satu panggung Pesta Kesenian Bali (PKB) XLV Tahun 2023. Ketiga gong kebyar tersebut yakni Sekaa Gong Wredhi Windu Suara Santi, Banjar Dinas Santi, Desa Selat, Kecamatan Selat, Gong Kebyar Wanita Kriya Sandhi, Banjar Dinas Saren Kauh, Desa Budakeling, Kecamatan Bebandem, dan Gong Kebyar Anak-anak Rare Kumara, Banjar Baler Pasar, Desa Rendang, Kecamatan Rendang.

Ribuan penonton menyaksikan penampilan ketika sekaa gong itu di Panggung Terbuka Ardha Candra, Taman Budaya Bali (Art Center), Jumat 14 Juni 2023.

Penampilan sekaa gong dari Gumi Lahar tersebut disaksikan pula oleh Gubernur Bali Wayan Koster, Bupati Karangasem I Gede Dana, Wakil Bupati Karangasem I Wayan Artha Dipa, Kadis Kebudayaan Bali Prof I Gede Arya Sugiartha, Budayawan Prof I Made Bandem, pejabat lainnya, serta para pendukung masing-masing, dan para penikmat seni yang memenuhi tribun penonton.

Baca Juga:  Dari PKM ISI Denpasar; Siswa SMP di Buleleng Cekatan Menari “Magoak-goakan”

Ketiganya membawakan garapan masing-masing, serta satu karya kolaborasi di mana ketiganya saling bersatu pada garapan terakhir.

Sekaa Gong Wredhi Windu Suara Santi yang baru pertama kali tampil di PKB membawakan dua karya yakni tabuh kreasi pepanggulan “Ambek Ing Ombak” dan tari kreasi “Cahyaning Cukli”. Tabuh kreasi “Ambek Ing Ombak”. Karya komposer, I Wayan Suardana itu teinspirasi dari karakter dan energi ombak yang terkadang keras, lemah, maupun tenang.

Sedangkan tari kreasi “Cahyaning Cukli” karya komposer I Putu Angga Wijaya dan koreografer I Gede Gusman Adhi Gunawan menggambarkan kemilau cahaya cukli menebar gemerlap di luasnya samudera.

Kesuksesan pertunjukan Sekaa Gong Wredhi Windu Suara Santi di atas panggung pada Jumat malam lalu tak lepas dari upaya gigih para penabuh dalam memantapkan proses latihan. Karena diakui, cuaca di daerah Desa Selat yang cenderung sering hujan serta kebanyakan penabuh yang sibuk bekerja di perantauan menjadi dua kendala besar selama proses latihan.

“Desa kami terletak di bawah kaki Gunung Agung, cuacanya agak rawan hujan. Jadi ketika kita jadwalkan latihan, ternyata hujan lebat di sana,” ujar Suardana dan Angga Wijaya kompak.

Sedangkan para penabuh juga kebanyakan kerja dan kuliah di Denpasar. Namun, dirinya bersyukur persiapan matang dengan beberapa kali pemantapan.

“Astungkara meski yerbenturnya waktu latihan jadi kendala utama, tapi dalam satu setengah bulan tabuhnya bisa dikuasai. Sedangkan untuk penghalusan atau pemantapan sekitar 1 bulan,” sambung Suardana sembari menyebut karya kreasinya tak lepas dari uger-uger lelambatan.

Sementara Sekaa Gong Kebyar Wanita Kriya Sandhi membawakan Sandyagita berjudul “Ghurnitantara Samudra” dengan penata vokal Gus Pangsua dan penata musik Kayan Anton menceritakan alunan melodi mengalun dan bergema di samudra tanpa henti, seperti hamparan angin, dentuman ombak, dan suara burung laut.

Dilanjutkan dengan tari kreasi berjudul “Matasikan” karya penata tari Ni Made Kinten dan Ni Komang Wiwin Sari Putri serta penata tabuh Made Alit Swadiaya bercerita tentang pembuatan garam tradisional sebagai kegiatan utama masyarakat pesisir Desa Amed, Karangasem.

Baca Juga:  Fragmentari “Kalango Prabaneka Sandi” Kolaborasi Tiga Gong Kebyar Kota Denpasar

Koordinator sekaligus Sanggar Seni Kriya Sandhi, Made Alit Swadiaya mengungkapkan, pihaknya berupaya maksimal dengan persiapan hampir lima bulan. Meski kendalanya hampir semua penabuh merupakan pelajar, sehingga harus menyesuaikan jadwal latihan.

“Sebanyak 80 persen penabuhnya anak sekolah sehingga kami latihan sore. Itu juga kalau tidak ada kegiatan-kegiatan adat dan keagaaman. Tapi mereka sebenarnya sudah punya basic yang dilatih di sanggar, sehingga penampilan malam ini menurut saya sudah sangat maksimal,” katanya.

Sedangkan Sekaa Gong Anak-anak Rare Kumara membawakan tabuh kreasi “Jalatarangga” karya komposer I Wayan Gede Rikiana Adi Putra yang menggambarkan semangat berdebur bagaikan gelombang samudra dan gelombang kesadaran akan terjaganya laut.

Sementara hentakan demi hentakan memberikan pertanda tangisan sang tira yang tergulung ketidakpedulian manusia. “Sebenarnya di sini saya ingin menyampaikan edukasi ke masyarakat untuk menjaga kesucian laut,” jelasnya.

Untuk dolanan, Rikiana juga menciptakan karya berjudul “Maomang-omangan” yang terinspirasi dari omang-omang yakni binatang kecil yang hidupnya di laut, di mana sebagian besar anak-anak Kabupaten Karangasem menyukai binatang tersebut.

“Personil tabuh ini ada yang masih pemula, ada juga yang sudah punya basic. Sehingga kami ajarkan dari yang sederhana, hingga proses penghalusan dan pemberian rasa,” tutur Rikiana.

Karya terakhir merupakan karya kolaborasi di mana ketiga sekaa gong kebyar bersatu menyajikan satu garapan instrumental dan tari berjudul “Segara Lango” karya koreografer I Gede Gusman Adhi Gunawan dan komposer Kadek Shaolin yang menggambarkan keagungan dan keindahan laut yang diciptakan Tuhan untuk keseimbangan dunia.

Menurut Kadek Shaolin, proses latihan untuk karya kolaborasi ini cukup terkendala jarak, karena lokasinya jauh-jauh. Namun disepakati dilakukan latihan bersama di dua tempat. [B/puspa]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post