Patung JAS, Nasibmu Kini
Generasi sekarang, mungkin tak banyak yang mengetahui kalau Desa Jagapati, Angantaka dan Desa dulunya, merupakan pusat pembuat patung berbahan kayu yang sangat terkenal. Jenis patung yang dibuat sangat khas, bahkan tak ada yang menyamai, baik bentuk maupun gaya.
Kekhasan dari patung itu bisa dilihat dari keakuratan bentuk anatomi dari patung manusianya. Tiga jenis patung yang khas itu, patung kakek dengan kurungan ayam (ayam dalam sangkar), kakek yang membawa pancing dan kakek membawa pencar (alat menangkap ikan).
Jenis patung dengan tiga bentuk itu sangatlah terkenal, sehingga menjadi salah satu cinderamata paling unik dari Pulau Dewata. Para pemilik artshop, guide dan wisatawan sering memilih patung karya warga dari Jagapati, Angantaka dan Sedang (JAS), Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung itu.
Jenis patung ini paling banyak dicari. Beberapa pemilik artshop di Pasar Seni Sukawati sudah menjadi langganan. Tak sedikit pula yang membeli langsung ke desa itu, sehingga mobil tour & travel itu sering melintas di tiga desa yang asri itu.
JAS juga sering mengirim produksinya ke luar Bali, seperti Jakarta dan Surabaya. Bahkan pengiriman patung JAS hingga ke luar negeri seperti Eropa, Amerika, Australia dan di beberapa negera di Asia.
“Belakangan kemudian, kerajinan Patung JAS nyaris punah. Pematung lebih memilih meninggalkan profesinya untuk menjadi petani. Kalaupun ada yang masih aktif, justru mengambil mengerjakan furniture,” kata I Nyoman Sutapa pematung JAS.
Pria kelahiran Badung 22 Desember 1964 ini sebagai salah satu pematung JAS yang tersisa dari kesohoran JAS tempo dulu. Lelaki yang hanya tamatan SMA itu, hingga kini masih memupuk idealismenya walau menelan berbagai kendala.
Orang mancing, mencar dan orang dengan kurungan adalah tiga ciri khas dari patung JAS itu yang masih dijaganya. Profesi sebagai pematung, konon sudah biasa dilakukan sejak kecil yang berawal dari ikut-ikutan. Bisa dikatakan, ia belajar mematung tidak secara serius.
Awalnya, hanya ikut-ikutan menghaluskan patung bersama anak-anak lainnya. Ia hampir tidak memiliki waktu bermain, karena sudah melakoni kegiatan seni itu. Kabanyakan anak-anak di tiga desa itu bergelut dengan kegiatan seni patung itu.
“Dulu, saya melakukan pekerjaan seni itu pada tetangga. Orang tua saya tidak bisa mematung, karena tidak mempunyai modal. Ia berprofesi sebagai petani. Beda dengan anak-anak lain yang kebanyakan sebagai anak pengusaha, dokter, dan pegawai swasta,” ceritanya.
Ia mendapatkan upah dari pekerjaan itu. Walau itu bukan menjadi tujuan utama. Mematung, menjadi ajang bermainnya. Sebab, ia tidak jarang bermain, sehingga mempunyai banyak waktu untuk mematung. Menariknya, hasil dari mematung itu bisa untuk biaya sekolah.
Sejak mengenal seni patung itu, ia sudah ingin bisa membuat patung. Namun, hal itu tidak mudah karena ada berbagai kendala. Setelah SMP baru mendapat kesempatan membuat patung. Saat itu, ia membuat patung orang mencar dan orang mancing.
Selanjutnya, belajar membuat patung orang (kakek) dengan guwungan. Saat itu, ia masih berstatus sebagai buruh yang mengerjakan patung orang lain. “Saya awalnya sebagai buruh hingga menjadi mahasiswa. Menjelang tamat kuliah (1989), saya membeli kayu lalu membuat sendiri,” jelasnya.
Ia mencoba membuat sendiri untuk mendapat hasil yang lebih banyak, sehingga bisa membantu perekonomian keluarga. Ia akhirnya bisa membuat patung orang dengan ayam guwungan (sangkar ayam jantan) berbahan kayu eben. Usahanya, lantas diberi nama “Parisuda Wood Carver”.
Ia memasarkan karya sendiri sejak September1990. Pengalamannya sebagai pedagang patung saat kuliah dulu sangat membantunya. Jika laku 1, ia membuat 2 patung, dan jika laku 2 maka ia membuat 4 patung, sehingga mendapatka hasil yang lumayan.
Hasil karyanya kemudian banyak peminatnya. Sutapa kemudian mengajak tenaga dengan sistem borongan. Para tenaga itu merupakan masyarakat setempat yang bisa mengerjakan di rumahnya masing-masing.
Karya patung itu, dipasarkan di Pasar Sukawati, juga art shop di kawasan Mas, Ubud dan beberapa diantaranya melayani pembeli secara langsung. Pengiriman patung ini sangat lancar, sama lancarnya dengan pematun-pematung lainnya di tiga desa itu.
“Namun, setelah tahun 2002, ketika Bom Bali meledak ketenaran JAS sebagai penghasil patung mulai terkikis dan nyaris tak terdengar. Masyarakat yang menggeluti kerajinan itu beralih profesi, sehingga karya JAS mulai merosot,” kenang pria asal Banjar Kekeran, Angantaka ini.
Jarangnya produksi patung JAS tersebut, akibat perajin kehilangan kegairahannya dalam berkarya. Permintaan dari pemilik artshop serta pembeli sangat jarang. Peristiwa Bom Bali itu meluluh-lantakkan sektor pariwisata Bali, dan berimbas pada sepinya orderan patung JAS.
Saking lamanya kemerosotan itu terjadi, para perajin patung lambat laun beralih ke pertanian, menjadi buruh bangunan serta lainnya. Dulu, pematung bisa ditemui di hampir setiap rumah, sehingga sekarang justru sangat sulit menemukannya.
“Sekarang susah mecari perajin patung JAS ini. Kalau pun ada, bisa dihitung dengan jari. Dulu masyarakat mematung sambil bertani. Tetapi, sekarang justru terbalik, bertani juga mematung kalau ada orderan,” ungkap suami Ni Wayan Sariyani ini.
Sutapa sendiri, sekarang tidak murni mengerjakan patung bernilai seni tinggi itu. Ia juga mengerjakan furniture untuk berbagai macam keperluan. Justru, sekarang membuat furniture lebih dominan. Perajin JAS kendala pada pemasaran, permodalan dan sumber daya manusia.
Upaya Lestarikan Patung JAS
Pemerintah melalui kebijakan strategis berupaya membangkitkan sektor potensial Patung JAS tersebut untuk bangkit. Pematung JAS diberikan kepercayaan membuat patung Garuda Wisnu Kencana sebagai souvenir delegasi APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) awal Oktober 2013 lalu.
Dari 32 patung itu, sebanyak 21 patung untuk kepala negara, dan sisanya untuk para konsulat dan undangan lainnya. Patung berbahan kayu itu memang dipesan khusus oleh Pemerintah Indonesia sebagai kenang-kenangan berkonfrensi di Pulau Dewata.
“Pada saat itu, nama JAS sebagai pengrajin patung mencuat kembali. Demikian pula dengan keberadaan para pengrajin di tiga desa itu semakin menggeliat yang mana sebelumnya sempat mati suri. Pada acara Miss World di Nusa Dua menjadi ajang pameran patung JAS,” jelas Sutapa.
Jumlahnya memang tidak banyak, namun menampilkan berbagai jenis desain, sehingga mampu mewakili produksi para pengrajin. Saat itu, kerajinan JAS yang khas dipamerkan, seperti patung orang mencar, orang dengan guwungan (sangkar) dan orang mancing.
“Bergaerahnya kembali para pengrajin patung JAS, setelah Bupati Badung lewat Dinas Pariwisata Daerah (Disparda) Badung membuat gebrakan, pertengahan tahun 2011. Hotel dan villa yang ada di Badung wajib memajang patung JAS disetiap kamar hotelnya.
Hal tersebut, bahkan dikuatkan dengan penandatanganan MoU antara pemerintah dan industry hotel. Kebijakan itu sangat membantu pengrajin JAS dalam hal pemasaran dan tata kelola yang sebelumnya dirasakan sangat sulit.
“Patung ini merupakan produk seni, kalau tidak dipromosikan dan disalurkan jarang orang akan tahu. Sebab, ini sebagai produk skunder yang memang beda dengan makanan, orang pasti akan mencarinya,” imbuh Sutapa.
Setelah MoU itu berjalan, masyarakat pengrajin memang benar-benar ingin kembali mendulang kejayaan yang pernah dialami di tahun 80-an itu. Mereka kembali membuat patung, walau mereka sekarang berprofesi sebagai tukang bangunan dan buruh lainnya.
Pemerintah Kabupaten Badung lewat Dinas Pariwisata Daerah (Disparda) dan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) bekerjasama dengan Asosiasi Pengrajin Daerah (Asperinda) mengadakan pameran tetap di lantai bawah Kantor Disparda Badung.
“Semua hasil seni kerajinan masyarakat Badung termasuk JAS dipamerkan, sebagai cara mempromosikan hasil kerajinan khas yang ada di Badung,” tutup Sutapa. [B/puspa]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali