Naskah, Masih Menjadi Problem Pementasan Drama Bali Modern dalam Lomba di Bulan Bahasa Bali

 Naskah, Masih Menjadi Problem Pementasan Drama Bali Modern dalam Lomba di Bulan Bahasa Bali

Lomba Drama Bali Modern dalam ajang Bulan Bahasa Bali VI/Foto: ist.

Wimbakara (Lomba) Drama Bali Modern serangkaian Bulan Bahasa Bali (BBB) VI berlangsung di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Jumat 16 Pebruari 2024. Lima kelompok yang tampil tak hanya menghibur, tetapi juga menyampaikan pesan yang dibalut dalam kisah.

Mereka tampil full acting, artinya tanpa alat bantu tayang. Para pemain berdialog secara live menggunkan bahasa Bali, dan dilengkapi setting panggung dan dekorasi untuk menciptakan suasana. Make up dan costume untuk penguatan karakter, dalam tokoh Drama Bali Modern itu.

Penonton yang didominasi oleh siswa siswi sekolahan memberikan apresiasi setiap kelompok yang tampil. Karena, yang tampil itu merupakan teman sekolahnya, bahkan satu kelompok dalam seni drama dan teater sekolahnya.

Kelompok drama setingkat SMA/SMK ini mampu menyajikan drama yang dibingkai tema BBB VI “Jana Kerthi – Dharma Sadhu Nuraga”. Masing-masing kelompok menampilkan drama berdurasi 30 menit dengan gaya serta sarat pesan.

Penampilan mereka menjadi suatu kekayaan, khususnya tentang Drama Bali Modern itu sendiri. Sebab, peserta yang tampil memiliki gaya dan bentuk sesuai dengan penafsiran mereka masing-masing. Ada yang tampil mirip sendratari, calonarang dan ada seperti drama gong seutuhnya.

“Saya melihat asa dua problem besar dalam penyajian Drama Bali Modern kali ini. Pertama naskah, lalu kedua cara mereka memandang Drama Bali Modern itu sendiri,” kata dewan juri, Wayan Sumahardika disela-sela menjuri.

Suma sapaan akrabnya mengatakan, memang setiap menyaksikan pertunjukan Drama Bali Modern tidak pernah bisa mengidentifikasi gaya, bentuk atau standar yang tepat. Pada saat yang sama, Bali memiliki drama tradisi, sehingga ada banyak tapsiran gaya yang bisa diserap.

Lomba Drama Bali Modern dalam ajang Bulan Bahasa Bali VI/Foto: ist.

Bali juga memiliki tradisi teater modern dilakoni siswa di sekolah-sekolah. Ada pula operet sebagai sebuah bentuk yang digandrungi banyak orang, khususnya siswa setingkat SMA dan SMK. Selain itu, memiliki drama gaya Pesta Kesenian Bali (PKB) yang lebih berbasis tradisi.

Baca Juga:  Debat Mabasa Bali, Para Yowana Pasih Berbahasa Bali

Maka itu, Drama Bali Modern mempunyai posisi dan daya tawar yang penting dalam mengeksplorasi segala bentuk gaya drama tersebut. Hanya saja persolannya, bagaimana mesti memikirkan dan merumuskan Drama Bali Modern itu.

Banyak peserta yang masih menggunakan gaya sendratari, gaya drama gong, wayang dan lainnya. Termasuk dalam lomba kali ini. Menggunakan gaya seperti itu sah-sah saja, kalau itu lebih bagus daripada sendratari yang biasanya.

“Tetapi kalau lebih jelek, itu kan bisa mengecilkan dari pada Drama Bali Modern itu sendiri. Buat apa menggunakan gaya sendratari, kalau gak bisa melebihi sendratari itu sendiri,” kritik pria yang biasa menyutradarai drama dan teater ini.

Problem inilah yang paling banyak hadir dalam lomba Drama Bali Modern kali ini. Padahal, para peserta bisa memakai naskah-naskah terjemahan, sehingga menjadi satu kerja yang menarik. Hal itu, semestinya digali untuk memperkaya pertunjukan drama itu sendiri.

Pada tahun lalu, ada peserta lomba yang memakai naskah terjemahan, dan hasilnya sangat menarik. Naskah itu dikarang oleh penulis-penulis luar negeri, lalu diterjemahkan ke dalam kontek bahasa Bali. Itu sesungguhnya yang menarik.

“Karena bukan hanya bahasa saja yang diterjemahkan, tetapi konteknya pun ikut diterjemahkan. Cara-cara kerja seperti itu sangat bagus, karena akan memperkaya khasanah sastra Drama Bali Modern,” jelas pria asal Ubud ini.

Artinya, lanjut Suma, tidak semata-mana kemudian memakai naskah terjemahan langsung pementasanya bagus. Namun, disitu ada proses mengadaptasi naskah terjemahan itu ke dalam kontek bahasa Bali. Ketika dimainkan, dipanggungkan dan diekskusi di atas pentas, juga harus menarik.

Problem yang paling mendasar dalam penampilan para peserta Drama Bali Modern ini adalah naskah. Banyak peserta tidak terlalu benar-benar bisa membuat naskah yang bagus. Jika naskah tidak bagus, maka bentuk pertunjukan pun menjadi terbata-bata, dan hasilnya tak maksimal.

Baca Juga:  Bulan Bahasa Bali, Generasi Muda “Nyobyahang” Artikel Uji Kualitas Karya Tulis

“Hal tersebut mencerminkan tradisi literasinya sangat kurang. Padahal, literasi pertunjukannya sudah ok, tetapi tradisi menulisnya kurang dan sastra itu tidak benar-benar dikelola dengan baik. Maka, hasilnya menjadi kurang baik,” paparnya.

Kalau literasi kurang, maka logika berpikir pertunjukan Drama Bali Modern menjadi problem juga. Ketika ngobrolin bentuk-bentuk calonarang, sendratari, arja, dan drama gong, itu ada pakem sangat penting untuk benar-benar dilatih dan dilakukan sebagai suatu pratek yang utuh.

Dalam proses penerjemahan naskah itu, tidak hanya menterjemahkan perkata, tetapi ada ekspresi sesungguhnya dalam bahasa itu yang perlu untuk di gali lagi. Proses itu yang sesungguhnya dapat memperkaya Drama Bali Modern.

Penampilan para peserta itu ada yang menarik, tetapi lebih banyak tidak digarap secara teater, sehingga cara bahasa dab artikulasi bahasanya belum kelihatan. “Intinya, membuat drama yang bagus dulu, lalu menggunakan Bahasa Bali,” pungkas Suma. [B/darma]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post