I Gede Agus Darma Putra: Taman Bumi Banten Tempat Belajar dan Menjaga Sumber-sumber Banten

 I Gede Agus Darma Putra: Taman Bumi Banten Tempat Belajar dan Menjaga Sumber-sumber Banten

I Gede Agus Darma Putra yang dipandu Pande Putu Abdi Jaya Prawira menjadi narasumber Sarasehan Bedah Lontar serangkaian BBB VI/Foto: ist.

Bagai sinar matahari pagi, secerah itulah yang dirasakan oleh para peserta Widyatula (Sarasehan) Bedah Lontar serangkaian Bulan Bahasa Bali (BBB) VI di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Bali, Jumat 23 Pebtuari 2024. Setelah mendapat penjelasan, mereka mengerti dan senang.

Peserta yang terdiri dari para guru, dosen, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Bali itu diberikan pemaknaan tentang menjaga eksistensi kebersihan diri manusia dan alam semesta yang begitu luas dalam karya sastra, seperti Lontar Darma Kauripan.

Narasumber yang penekun sastra, dosen sekaligus penulis muda I Gede Agus Darma Putra membedah lontar tersebut dengan lugas, lengkap dan jelas. Peserta pun begitu antusias mengikuti sarasehan sejak awal hingga berakhir. Ketika kurang jelasm pertanyaan pun dilontarkan peserta.

Darma Putra menyajikan materi lontar Darma Kauripan, “Sepat siku-siku Ngulati Jana Kerthi” lebih banyak mengungkap pemaknaan bebantenan yang diaplikasiakan dalam pemahaman generasi muda. Sangat penting mengetahui unsur-unsur atau bahan bebentenan yang harus dijaga dan dilindungi.

“Membaca lontar itu, seperti membuka dunia. Ada banyak hal yang belum bisa diketahui maksudnya, terutama pemaknaan-pemaknaannya. Paling penting dari lontar itu, kita belajar bagaimana hubungan antara manusia dengan alam,” ucap Darma Putra.

Menjaga manusia sama dengan menjaga alam semesta, sehingga kita mempunyai kepekaan interpersonal dengan alam semesta. Dalam bebantenan, sangat terkait dengan cara menjaga agar bebanten itu tidak hilang.

Makanya selain memahami banten secara fisual perlu pengetahuan dari sastra dan mengenal alam sebagai penyuplai bahan banten. “Caranya, dengan tetap menjaga sumber-sumbernya,” ujar Darma Putra yang dalam seminar itu dipandu oleh Pande Putu Abdi Jaya Prawira.

Misalnya butuh banten prayascita, dengan tetandingannya ada sesayut, dan sesayut itu terbuat dari daun kelapa, sehingga harus menjaga pohon kelapa. Dalam pejati ada pangi, maka harus ada pengetahuan-pengetahun tentang pangi itu.

Baca Juga:  Bulan Bahasa Bali 2022 Maskot “Angsa Putih”, Tema “Danu Kerthi: Gitaning Toya Ening”

“Makanya, harus ada gerakan taman gumi banten, yaitu taman yang disediakan untuk belajar dan menyediakan kebutuhan untuk banten, dan pengetahuan itu banyak ditemukan dalam lontar-lontar kita,” papar Dosen UNHI itu.

Perkembangan generasi muda terhadap lontar saat ini, bukan semua generasi muda tidak tahu membaca lontar. Ada yang tahu dan ada yang belum belajar. Oleh karena itu perlu belajar membaca aksara dan bahasa Bali yang bagus, bahasa Bali kuno, bahasa Jawa kuno dan dilengkapi dengan Sansekerta.

“Bahasa lain juga perlu untuk belajar sumber-sumber sekunder, seperti bahasa Belanda, Perancis, Inggris dan bahan lainnya,” bebernya.

Pihaknya juga menyinggung terkait penglukatan atau pembersihan diri dengan menggunakan sarana air, banten, dan mantra. “Saat ini penglukatan sangat trend, bahkan sering dijadikan paket wisata. Melukat itu beda dengan mandi. Melukat harus ada mantranya,” sebutnya.

Walau demikian, ada pula yang mempercayai melukat itu tidak perlu ada mantra. Melukat itu karang keneh (keinginan). “Menurut saya, melukat itu dijadikan paket pariwisata sah-sah saja, asalkan tidak menggangu orang yang benar-benar ingin melukat,” imbuhnya.

Kalau harus mengantre ya harus antre, dan harus menghormati tata cara di tempat melukat itu sendiri. Masing masing tempat memiliki tata cara tersendiri, sehingga harus dipatuhi. Kalau untuk melukat itu harus ada dan dijaga tempatnya seperti sumber air, danau, sungai dan sebagainya.

“Maka itu kita harus menjaga sumber air itu sendiri. Pemeliharaan itu yang harus kita galakan. Kalau itu dijadikan paket pariwisata itu bonus dari pemeliharaan sumber air yang kita lakukan,” tegasnya.

Dosen UNHI ini mengatakan, beberapa desa di Bali sekarang banyak mengembangkan penataan pengelutan dengan taman yang indah, pohonya dijaga, airnya bersih. Tetapi, indah di Bali itu harus dibarengi dengan suci dan benar. Sesuai dengan Satyam Siwam Sundaram.

Baca Juga:  Sekaa Gong Semadhi Yasa Abianjero “Nyungsung Bhatara Kesenin”

“Karena itu penting dan bagus kita untuk belajar kembali tentang tumbuh-tumbuhan itu, juga tentang proses penglukatan itu sendiri. Intinya, kita tidak boleh melupakan yang digunakan untuk menjaga keseimbangan itu,” pungkasnya.

Salah satu peserta, Ni Wayan Ariani mengusulkan terhadap keberadaan lontar-lontar di Bali agar terus dikonservasi atau dialihaksarakan. Semakin banyak pengetahuan yang ada dalam lontar bisa dimanfaatkan untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan kebudayaan.

”Perlu upaya serta kebijakan pemerintah agar melakukan penyelamatan lontar-lontar dan identifikasi lontar di seluruh pelosok Bali, sehingga pengetahuan yang ada dalam lontar semakin banyak orang mengetahui,” ucapnya. [B/*/darma]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi seni budaya di Bali

Related post