Festival The (Famous) Squatting Dance: Merayakan Marya. Membaca Ulang dan Membangun Arsip Maestro I Mario
Mulawali Institute menggelar Festival “The (Famous) Squatting Dance: Merayakan Marya” di Purti Kaleran, Tabanan. Festival ini berlangsung selama tiga hari (26-28 April 2024) yang akan menampilkan pertunjukan berbasis arsip dan karya I Marya (I Mario/Maria).
Even ini untuk membaca ulang proses kreatif I Marya melalui arsip-arsip di Bali ataupun yang tersimpan di luar negeri. Arsip-arsip tentang I Marya ini dibaca ulang untuk membangun naratif. Baik itu, dilihat dari tangkapan di jaman kolonial atau Walter S pies.
“Arsip ini dibaca ulang untuk membangun naratif. Semua karya I Marya menarik bahkan sangat terkenal sampai sekarang, tetapi biografi I Marya bisa dikatakan jarang dibaca,” kata Direktur Mulawali Institute, Wayan Sumahardika saat konferensi pers di ITB Stikom Bali, Sabtu 13 April 2024.
Suma sapaan akrabnya menjelaskan, Squatting & Dance merupakan platform riset dan pengembangan praktik artistik pertunjukan yang mencoba menyingkap konstruksi estetis-politis laku jongkok dalam pangung tari atau pertunjukan serta koreografi sehari-hari.
Inisiator The (Famous) Squatting Dance ini mengtakan, Mulawali Institute telah memulai riset dan produksi pertunjukan tahun 2021 melalui karya “The (Famous) Squatting Dance: Jung Jung – Te Jung”. Pertunjukan ini berangkat dari arsip tari Igel Jongkok karya maestro I Ketut Marya.
Sosok I Marya merupakan maestro tari kontemporer Bali yang tumbuh di era transisi Bali dari kerajaan menjadi wilayah jajahan kolonial. Marya dikenal lantaran karya tari monumentalnya seperti Igel Jongkok (Kebyar Duduk), Kebyar Terompong, dan Oleg Tamulilingan.
“Praktik yang sebelumnya berorientasi pada produksi pertunjukan tunggal, kini dikembangkan lebih lanjut menggunakan pendekatan dramaturgi festival bertajuk The (Famous) Squatting Dance: Merayakan Marya,” ucap Suma penulis, sutradara dan pembuat teater ini.
Festival ini berkolaborasi dengan lembaga Arsip Bali 1928, Gurat Institute, Bang Dance, Ninus, ITB Stikom Bali serta sejumlah seniman dan sanggar tari di Bali. Acara “Merayakan Marya” diisi dengan serangkaian program, seperti pameran arsip, pertunjukan, workshop, dan diskusi.
“Kami memilih penyelenggaraan kegiatan ini di Puri Kaleran, Tabanan. Hal ini tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah proses kreatif Marya di masa lalu,” tambah pria kelahiran Denpasar, 1992 ini.
Marlowe Bandem bersama Arsip Bali 1928 memamerkan arsip karya I Marya. Gurat Institute melaui Gurat Artproject merespon sosok Marya ke dalam karya instalasi seni rupa. Workshop Kebyar Duduk, napak tilas, diskusi tentang pengembangan dan pemanfaatan arsip karya dan sosok I Marya melalui pertunjukan oleh sejumlah seniman, akademisi, dan budayawan.
Pertunjukan berbasis arsip dan karya I Marya pasti menarik. Pertunjukan “The (Famous) Squatting Dance: Jung Jung – Te Jung Dance” oleh Mulawali Performance Forum. Bee Dances oleh Ninus kolaborasi bersama Sanggar Sunari Wakya dan Komunitas Seni Arjuna Production.
Sejak Padi Mengakar merupakan karya Bang Dance serta Tari Kebyar Duduk dan Kebyar Terompong oleh Sanggar Haridwipa.
Untuk The (Famous) Squatting Dance: Jung Jung – Te Jung oleh Mulawali Performance Forum menggunakan basis material arsip tari Igel Jongkok. Pertunjukan ini disutradarai oleh Wayan Sumahardika menawarkan pembacaan atas arsip tari Igel Jongkok.
Menariknya, arsip tari Igel Jongkok itu dalam bingkai gestur kolonial, situasi transisional yang bergerak secara sirkular, serta bentang kemungkinannya untuk dilihat sebagai keberlanjutan dari kultur lokal.
Jung Jung-Te Jung sendiri diambil dari bunyi tabuhan dalam tari Bali gubahan baru sebelum mengalami penamaan baru seperti Igel Jongkok hingga Kebyar Duduk. Proses penamaan ini tak hanya menyentuh persoalan praktik koreografi, tapi juga bagaimana interaksi Barat, modernitas, tradisi, dan komunalitas saling-silang di dalamnya.
Bee Dances merupakan kolaborasi perdana antara koreografer Indonesia, Ninus dan Kareth Schaffer yang merupakan koreografer yang berbasis di Berlin. Bee Dances menelisik bagaimana pertukaran budaya di masa pasca-kolonial dimungkinkan.
Bagaimana perbedaan teknik tarian tersurat dalam tubuh keenam penari dari Indonesia dan Eropa? Bagaimana penyebaran pengetahuan fisik menyebar keseluruh dunia?
Bee Dances memetakan keterhubungan antara tari kontemporer sebagaimana yang sering dipentaskan di Berlin dengan teknik tarian tradisional Indonesia, menelusuri keterkaitannya melalui serangkaian intervensi, wawancara, rekonstruksi, dan bentuk koreografi baru.
Tari Bali “Oleg Tamulilingan” karya I Mario yang terkenal dan “waggle dance” lebah madu Asia dan Eropa (apis cerana dan apis mellifera) istilah yang pertama kalinya dijelaskan dengan tepat oleh ahli zoologi Jerman, Karl von Frisch adalah referensi utama dari Bee Dances
Sementara karya tari “Sejak Padi Mengakar” karya koreografer Gus Bang Sada menampilkan isu kritis tentang kenyataan alih fungsi lahan pertanian di Bali secara massif. Ibarat padi yang semakin berisi semakin merunduk.
Gusbang ingin melihat perubahan yang terjadi dari segala sisi tentang keberadaan pangan dan lingkungan. Secara artistik, pertunjukan ini menawarkan sikap duduk yang dipinjam dari salah satu sikap tari tradisi Bali (Kebyar Duduk).
Hal itu untuk menyatakan sikap kepemilikan atas lahan sekaligus bentuk adaptasi tubuh atas ruang yang mulai berubah. “Kami mengajak masyarakat segala lapisan dapat melihat lanskap kemungkinan arsip dan repertoar tari untuk mampu dimanfaatkan dan dikembangkan secara kritis dengan konteks semangat zaman hari ini,” jelas Suma.
Pertunjukan ini mendorong upaya kolaborasi lintas disiplin antar lembaga, komunitas, seniman, dan masyarakat yang bersentuhan langsung (dan tak langsung) dengan karya I Marya.
“Kami berharap, praktik semacam ini akan beresonansi lebih besar bagi terciptanya diskursus kritis atas pembacaan sejarah, proses kreatif, dan karya tari I Marya; ulang alik praktik tradisi dan kontemporer; pengembangan artistik seniman hari ini dan pengalaman menonton masyarakat,” harap Suma.
Marlow Bandem mengatakan, umur kebyar Bali itu 110 tahun. Karena Igel Jongkok (Kebyar Duduk) itu sudah berusia seabad. Arsip Bali 1928 ini lahir pada 2013 dan resmi diluncurkan 2014. Tujuannya untuk memulangkan dokumen bersejarah. “Kami sudah memulangkan 111 karya tabuh, kidung atau tembang. Kami salin dalam bentuk digital,” ucapnya.
Made Adnyana Ole mengapresiasi Mulawali Institute dengan idenya yang cukup serius mempersoalkan tari jongkok. Selama ini, orang yang menarikan karya I Marya dengan bagus. “Soal kenapa Tari Jongkok itu sangat jarang yang membicarakan di ruang public,” ucapnya.
Dulu, penulis dan sastrawan ini sempat membicarakan tentang karya-karya I Marya, termasuk menari dalam posisi jongkok dengan Alm. Ngurah Supartha. Termasuk membicarakan pemikiran memggunakan kanjut (bagian dari busana) dan hubungannya dengan jongkok.
“Kita terlalu tenggelan dalam hal pelestarian seni tari dengan menari sebanyak mungkin. Bahkan menciptakan penari yang bagus. Tetapi, mereka jarang melakukan pelestarian dengan menggunakan arsip. Bahkan, arsip ini menjadi sumber penting,” paparnya.
Kalau menyaksikan Tari Kebyar Duduk, melihak gerak jongkoknya sekilas mungkin sama. Tetapi, sesungguhnya setiap penari itu berbeda. Ada yang gerak jongkok itu lebih tinggi, lebih rendah dan ada yang standar. Tidak banyak yang memperhatikan hal kecil ini. “Nah, melalui kegiatan festival ini maka kita bisa bergerak,” tutupnya.
Pada sesi akhir, Prof. Dr. I Made Bandem sempat memaparkan kisah I Maryan pada masa, proses kreatif, hingga kisahnya di luar negeri. Termasuk pula sosok Mario di mata penulis asing. [B/darma]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali