Peserta, Sinopsis dan Makna Peed Aya Pembukaan Pesta Kesenian Bali XLVI Tahun 2024

 Peserta, Sinopsis dan Makna Peed Aya Pembukaan Pesta Kesenian Bali XLVI Tahun 2024

ISI Denpasar sajikan Siwa Nataraja saat gladi Pembukaan PKB XLVI di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali/Foto: dok.balihbalihan

Pesta Kesenian Bali (PKB) XLVI tahun 2024 mengusung tema “Jana Kerthi: Paramaguna Wikrama (harkat martabat manusia unggul)”. Tema itu dimaknai sebagai upaya pemuliaan terhadap kehidupan manusia untuk mewujudkan kualitas hidup manusia Bali yang bermartabat, unggul, dan maju.

Peningkatan kualitas hidup manusia dapat dibangun dengan memperkuat nilai-nilai adiluhung, yang melahirkan pusparagam kebudayaan, merepresentasikan peradaban krama (masyarakat) Bali yang luhur, unggul, dan kawista, sekaligus mengukuhkan Bali sebagai Pusat peradaban Dunia (Bali Padma Bhuwana).

Peed Aya (pawai) pembukaan PKB XLVI tahun 2024 ini, berbagai pemahaman tentang Jana Kerthi digali dan dikreasi menjadi berbagai sajian atraksi seni. Konsep Peed Aya PKB tahun ini masih tetap berlandaskan pada konsep penggalian dan pengembangan.

Sebagai inti garapan, peserta Peed Aya menampilkan atraksi seni kolosal yang berhubungan dengan upaya pemuliaan terhadap kehidupan manusia, mulai sejak lahir hingga menemukan jati dirinya menjadi manusia bermartabat dan unggul.

Baca Juga:  Parade Ogoh-ogoh di Bali Safari Park Bikin Pengunjung Terkesima

Peed Aya pembukaan PKB XLVI dilaksanakan di depan “Monumen Perjuangan Rakyat Bali, Bajra Sandi”, Renon, Denpasar. Peed Aya direncanakan dilepas oleh Presiden Republik Indonesia, Pukul 16.00 Wita, dan diharapkan berakhir paling lambat Pk. 18.00 Wita.

Rute Peed Aya mengikuti prosesi purwa daksina (berkeliling se-arah jarum jam). Para peserta menambil start awal di ujung selatan Jalan Ir Juanda, selanjutnya beratraksi di sepanjang panggung kehormatan dan berakhir di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Tingkat I Bali.

Peserta Peed Aya PKB XLVI diikuti 10 peserta, diawali dari Komunitas Usadi Lango Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, dilanjutkan dengan Kabupaten Jembrana, Gianyar, Bangli, Tabanan, Denpasar, Buleleng, Karangasem, Badung dan Kabupaten Klungkung.

Komunitas Usadhi Lango ISI Denpasar

Siwa Nata Raja merupakan perwujudan puncak keagungan Tuhan Yang Maha Kuasa sebagai manifestasi Dewa tertinggi, Dewanya penari. Siwa dalam keteraturan gerak tarian kosmiknya memunculkan ritme dan keteraturan alam semesta. Gerakannya merupakan pancaran tenaga prima yang menyatu, yang menciptakan keindahan dan unsur-unsur seni. Siwa menjadi sumber kreativitas yang maha agung.

Baca Juga:  Tema PKB XLVI: ‘Jana Kerthi Paramaguna Wikrama’ Memberi Tauladan Generasi Muda Tentang Hakekat Manusia Unggul

Antromorfik Dewa Siwa digambarkan menjadi dua bentuk, yaitu ugra atau ghora yang artinya menyeramkan, dan somya artinya damai. Siwa sebagai mandala semesta mengandung unsur pertiwi, apah, teja, bayu, dan akasa. Siwa beraksioma menuntun umat manusia mendaraskan Paramaguna Wikrama dalam termini Jana Kerthi, mengaktualisasikan nilai-nilai membangun harkat martabat manusia unggul yang kawistara di Bumi Persada. Pemuliaan kehidupan, pengagungan atas Sangkan Paran, Siwa sebagai Guru Triloka sumber widya dan urip, irup, kauripan; Bhur, Bwah, Swah.

Kabupaten Jembrana

Kabupaten Jembrana, di bawah kepemimpinan Bupati I Nengah Tamba dan Wakil Bupati I Gede Ngurah Patriana Krisna mempercayakan sanggar Ghora Yowana sebagai peserta Peed Aya. Kapupaten dengan julukan “Bumi Makepung” ini mengangkat spirit “Menyongsong Jembrana Emas”.

Papan nama dibawakan oleh seorang gadis berbusana payas (rias) lelunakan. Lalu, diikuti oleh barisan muda mudi Jegeg Bagus, sepasang berbusana payas agung khas Jembrana, dua pasang berbusana payas agung, dan dua pasang berbusana payas madya. Barisan berikutnya, Gebogan Janur oleh dua puluh satu orang gadis berbusana lelunakan, dan barisan Uparengga membawa Tebu, Senjata Dewata Nawasanga, Bandrang, Tedung Pagut, Tedung Agung, Umbul-Umbul.

Untuk memaknai tema Jana Kerthi, menampilkan prosesi ritual Magedong-gedongan. Upacara untuk menyucikan janin yang berada dalam kandungan. Bertemunya Kama Jaya dan Kama Ratih menciptakan benih kehidupan yang kemudian menjadi cikal dan bakal bayi.

Baca Juga:  Ida Pedanda Gede Wayahan dari Griya Jumpung Kerambitan Miliki Koleksi Kakawin Dilengkapi Arti

Upacara magedong-gedongan dilakukan ketika usia kandungan mencapai enam bulan. Melalui upacara ini diharapkan janin bayi akan tumbuh sempurna dan terlahir sebagai manusia yang berkualitas. Prosesi Magedong-gedongan ini diiringi gamelan gender wayang.

Bumi Makepung menyajikan tarian khas daerahnya, yakni tari Joged Bungbung, merupakan salah satu jenis tari kerakyatan (pergaulan). Tarian ini melibatkan penari wanita sebagai joged, dan penari pria sebagai pangibing. Tari ini diiringi musik gamelan khas kabupaten Jembrana, seperti Bungbung Gebyog seperangkat alat musik terdiri dari papan kayu dan tabung bambu yang dimainkan menyerupai orang menumbuk padi. Bungbung Kepyak merupakan seperangkat alat musik joged bungbung yang di tambahkan dengan alat berupa tabung bambu yang dibentuk sedemikian rupa untuk dimainkan dengan cara dibenturkan antar instrumen lainnya.

Sajian pamungkas, Jembrana mempersembahkan garapan tematik yang berjudul “Amertaning Jati” dengan iringan perpaduan gamelan Jegog khas Kabupaten Jembrana dengan gamelan Balaganjur. Garapan ini mengisahkan perjalanan Dang Hyang Dwijendra di kawasan pesisir Purancak. Lalu, melanjutkan perjalananya ke utara hingga sampai ke kawasan penduduk yang sebagian besar berprofesi sebagai penggembala ternak.

Kawasan tersebut dilanda kekeringan yang membuat penduduk mengalami kesulitan dalam menemukan sumber air, baik itu untuk kebutuhan hidup, untuk hewan ternak, dan pertanian. Masyarakat meminta pertolongan kepada Dang Hyang Dwijendra. Kemudian melakukan tapa semadi dan menancapkan tongkatnya, serta memohon kepada Hyang Parama Kawi agar diberikan peneduh. Tongkat tersebut tumbuh pohon jati serta mengeluarkan sumber mata air dibawahnya.

Baca Juga:  Spa Dikategorikan Jenis Pajak Kesenian dan Hiburan, Bali Spa Bersatu Bereaksi

Pohon jati tersebut tumbuh besar, air yang keluar dari pohon jati tersebut menjadi sumber mata air bagi penduduk sekitar membuat masyarakat menjadi sejahtera. Di tempat itu selanjutnya dibangun pura yang kini bernama Pura Dang Khayangan Jati. Lokasinya ada di Banjar Ketapang Muara, Desa Pengambengan, Kecamatan Negara.

Kabupaten Gianyar

Sebagai kota pusaka, di bawah kepemimpinan Pejabat (Pj) Bupati Gianyar I Dewa Tagel Wirasa berpegang teguh pada konsep Tri Guna akan mewujudkan masyarakat yang “Suputra Sadhu Gunawan”. Filosofi ini melekat dalam jati diri Gianyar yang mengedepankan peningkatan sumber daya manusia berintegritas dan berdaya saing tinggi, bertumpu pada nilai luhur kebudayaan dan spiritualitas Bali.

Kabupaten Gianyar menunjuk Desa Kerta Payangan sebagai duta peed aya. Sajiannya, diawali pembawa papan nama dengan berbusana payas (tata rias) Agung khas Gianyar. Payas ini merupakan tata rias yang mengusung pakem Kerajaan Gianyar sebagai simbol jati diri masyarakat Gianyar. Tata rias khas Gianyar memiliki pakem dengan ciri khas ungkep bahu.

Keagungan Gianyar ini dikawal oleh pepatihan (pengawal) dan dua orang perempuan dengan tata rias lelunakan. Lalu, sepasang Jegeg-Bagus dengan balutan busana dan tata rias khas Gianyar. Berikutnya, dayang-dayang selayaknya sebuah Kerajaan juga ikut mengiringi pangeran dan putri raja. Prosesi ini diiringi gamelan Gong Beri sebagai semiotic kewibawaan dan kepercayaan diri yang tercermin dari setiap langkah reformasi Gianyar.

Baca Juga:  6 Koleksi Busana Adat Bali “Berbudi Bawa Leksana” Modis, Terjangkau dan Berkelanjutan

Selanjutnya, menampilkan barisan uparengga yang terdiri atas umbul-umbul, bebandrangan, kober, dan tedung agung. Pada bagian ini diiringi dengan barisan jegeg bagus dengan balutan busana dan tata rias modifikasi yang tidak juga meninggalkan pakem busana khas Gianyar. Barisan jegeg bagus juga dikawal oleh para pepatih sebagai tabeng dada (penjaga) sebagai symbol keamanan yang menimbulkan rasa aman setiap masyarakatnya.

Sebagai daerah yang dijuluki kota seni, Gianyar juga menampilkan kekhasan kesenian daerahnya, salah satunya adalah tari legong. Banyak tari legong yang lahir di Kabupaten Gianyar yang juga merupakan spirit fundamental dalam berkesenian bagi Masyarakat Gianyar. Tiga jenis tari legong yang ditampilkan, yakni Tari Legong Jobog, Legong Kuntir, dan Legong Kupu-kupu Tarum yang diiringi gamelan semar pegulingan.

Untuk memaknai tema jana Kerthi, kabupaten Gianyar memampilkan upacara Tutug Kambuhan. Upacara ini sebuah upacara penyucian saat bayi berusia 42 hari. Upacara ini menggunakan penjor pengerorasan, ancak saji, pedamaran atau sundih, tempeh berisikan tetandingan banten, dan juga gebogan. Seluruh upakara tersebut untuk memuliakan manusia agar menjadi individu yang Suputra Sadhu Gunawan. Barisan peed aya daur hidup ini juga diiringi dengan barungan (ensamble) gambelan gong suling.

Sajian pamungkas, menampilkan garapan tematik dengan mengangkat kisah tokoh Ikonik, yakni I Dewa Manggis Kuning. Berawal dari permohonan I Gusti Arya Tegeh Kori kehadapan Ida Dalem Segening atas tidak dapat dihentikannya kerusuhan yang terjadi di Badung, akhirnya diutuslah I Dewa Manggis Kuning untuk meredam pertikaian tersebut sehingga Badung menjadi damai kembali.

Baca Juga:  Kundalini Tantra Yoga, Fokus pada Kesehatan Tulang Belakang dan Melatih Pernafasan

Namun, oleh karena kecurigaan I Gusti Arya Tegeh Kori terhadap I Dewa Manggis Kuning menyukai salah satu istrinya, maka I Dewa Manggis Kuning harus kembali meninggalkan Badung hingga sampailah ia di Kertalangu Kesiman bersama I Gusti Arya Wang Bang Pinatih.

Singkat cerita, dihaturkanlah I Dewa Manggis Kuning seorang putri yang bernama I Gusti Ayu Paang. Perjalanan I Dewa Manggis Kuning tetap berlanjut sampai didengar oleh Ida Dalem Segening bahwa ia akan membuat sebuah Kerajaan.

Maka dihadiahkanlah I Dewa Manggis Kuning sebuah Keris Pusaka Ki Obag-Obag oleh Ida Dalem Segening. Hasil dari perjalanan tersebut kemudian diteruskan oleh keturunan I Dewa Manggis Kuning dengan pusat pemerintahan disebut dengan Griya Anyar dan kemudian kerap disebut Gianyar.

ISI Denpasar sajikan Siwa Nataraja saat gladi Pembukaan PKB XLVI di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali/Foto: dok.balihbalihan

Kabupaten Bangli

Di bawah kepemimpinan Bupati Sang Nyoman Sedana Artha dan Wakil Bupati I Wayan Diar pada PKB XLVI tahun 2024 ini menunjuk ”Bumi Sekar Sandat” sebagai duta peed aya. “Bumi Sekar Sandat” adalah julukan untuk Banjar Sulahan, Kecamatan Susut, Kabupaten Bangli.

Baca Juga:  Materi, Jadwal dan Pasangan Mebarung Tiga Sekehe Gong Kebyar Duta Kota Denpasar pada PKB XLVI

Kabupaten Bangli mengawali peed aya dengan gadis pembawa papan nama dan diikuti sepasang muda mudi Jegeg Bagus Bangli berbusana payas agung khas Bangli. Barisan pembawa uparengga, seperti kober merah putih simbol keberanian dan kesucian, merupakan ciri khas dari Banjar Sulahan. Kemudian umbul-umbul sebagai simbol dari Naga Gombang dan kekuatan Dewa Wisnu, bandrangan sebagai simbol senjata dewa Siwa yaitu Trisula, Tedung yang bermakna sebagai peneduh umat manusia.

Di tengah-tengah barisan uparangga ada Barong Bawi Srenggi sebagai penggambaran manifestasi Dewa Wisnu, Barong Macan sebagai simbol kekuatan Dewa Siwa, Barong Ketet sebagai simbol kekuatan Dewa Iswara, dan Rangda khas Bangli (memiliki dua taring ke bawah) merupakan simbol dari Dewi Durga. Prosesi ini diiringi gamelan Bebarongan dari “Bumi Sekar Sandat”.

Barisan berikutnya, Parwa Wayang Wong sebagai penggambaran kekayaan kesenian yang di wariskan secara turun temurun di Banjar Sulahan, dan masih eksis hingga sekarang. Di Bumi Sekar Sandat biasanya pementasannya menggunakan cerita Ramayana.

Pada peed aya kali ini, “Bumi Sekar Sandat” juga menampilkan berbagai jenis tari Baris sebagai kesenian khas daerah Kabupaten Bangli, seperti Ttari Baris Pendet ditarikan oleh anak-anak yang belum menginjak usia menek truna (remaja), yang berfungsi sebagai pelengkap jalannya upacara.

Baca Juga:  Mengenang Maestro Guru Tari Legong Peliatan ‘Gusti Biang Sengog’ Melalui Lokakarya di Ajang PKB

Tari Baris Bedil, membawa senjata bedil (senapan) menggambarkan kegagahan keberanian prajurit di Medan perang. Tari Baris Bedil sebagai tari baris upacara. Tari Baris Presi merupakan tari baris wali yang menggambarkan peperangan prajurit di medan perang. Tari ini disajikan oleh 4 orang membawa panah, 4 orang membawa tamiang atau tameng. Baris Presi merupakan baris upacara sebagai warisan leluhur bumi Sekar Sandat.

Untuk memaknai tema Jana Kerthi, “Bumi Sekar Sandat” menampilkan prosesi ritual agama Hindu yaitu ritual nyambutin (3 bulan dalam perhitungan kalender Bali) sebagai tujuan melepaskan cuntaka bagi seorang ibu, ayah, dan bayinya.

Prosesi nyambutin/nelu bulanan ini bayi untuk pertama kalinya diijinkan untuk menginjak tanah, dan juga pada saat prosesi ngotonin (6 bulan dalam perhitungan kalender Bali) untuk memperingati kembali hari kelahiran pertamanya. Prosesi ini diiringi dengan gamelan gender wayang.

Sebagai sajian pamungkas, menampilkan fragmen dengan judul “Yuyu Besi” yang mengisahkan perairan Danau Batur yang ada di Bangli mengalami kekeringan. Kehidupan masyarakat sengsara. Masyarakat memohon kepada Raja Bangli Sri Aji Kunti Ketana untuk menyelesaikan persoalan tersebut. Lalu, mendapat wahyu berupa Yuyu Besi dan Lindung Besi di Danau Batur. Berkat anugrah yang diperoleh oleh sang raja, air yang tersumbat oleh bukit dan reruntuhan batu dapat dialirkan kembali untuk melenyapkan kekeringan.

Baca Juga:  Kongres Kebudayaan Bali IV Akan Bahas 10 Objek Pemajuan Kebudayaan Lima Tahun Kedepan

Fragmen ini diiringi gamelan Gong Gede yang merupakan gamelan khas yang di miliki oleh Banjar Sulahan Susut Bangli, yang terkenal memiliki ukuran yang sangat besar. Gamelan Gong Gede Sekar Sandat inilah yang melahirkan julukan “Bumi Sekar Sandat”.

Kabupaten Tabanan

Di bawah kepemimpinan Bupati I Komang Gede Sanjaya dan Wakil Bupati I Made Edi Wirawan, mempercayakan Sanggar Seni Alas Arum sebagai duta peed aya. Mengusung spirit “Sadhu Mawang Anuraga” yang bermakna setia dan bijaksana dalam menjalankan dharma demi kecintaan pada rakyat, yang selanjutnya diwujudkan Tabanan “Jayaning Singasana” yang AUM (Aman,Unggul, dan Madani).

Peed aya menampilkan pembawa papan nama oleh seorang gadis remaja berbusana payas lelunakan, didampingi sepasang remaja berbusana payas agung khas Kabupaten Tabanan. Selanjutnya barisan uparengga mengusung konsep tridatu yang menjadi ikon Kabupaten Tabanan. Dari setiap perangkat yang dibawakan mengandung makna sesuai dengan bentuk dan jenisnya.

Daerah yang memiliki kesenian yang khas, dan dengan julukan ‘lumbung beras’ ini menampilkan Tari Pendet Pangkung. Tari ini merupakan tari penyambutan yang diciptakan oleh maestro (Alm) I Wayan Begeg atau yang juga dikenal dengan nama Pan Tini dari Banjar Pangkung Desa Delod Peken Tabanan.

Baca Juga:  Fashion Show Diversity of Indonesia#7 Suguhkan 105 Karya dari 35 Desainer Muda

Tarian ini juga pernah ditarikan keliling Eropa bersama maestro I Maria. Pada tahun1957 dan 1963, Maria juga sedang popular namanya bersama Gong Pangkung. Saat itu, Tari Pendet Pangkung dibawakan oleh penari dari Sanggar Taksu Kumara dengan jumlah penari sebanyak 35 orang.

Tabanan juga menampilkan barungan gamelan Gong Suling adalah barungan gamelan madya yang didominasi oleh instrumen tiup atau suling bamboo dengan berbagai ukuran, didukung oleh instrumen-instrumen lainnya seperti kendang, kajar, kemong, ceng-ceng kecek, gong pulu, dan kempur.

Untuk memaknai tema, Tabanan menampilkan prosesi upacara Ngeraja Sewala, upacara menek kelih atau biasa disebut munggah deha (usia peralihan dari anak-anak menuju remaja), untuk anak wanita yang baru pertama menstruasi/haid, sedangkan untuk anak laki laki ditandai dengan suara yang mulai membesar.

Upacara ini merupakan bagian dari upacara manusa yadnya dalam agama Hindu Bali. Upacara ini bertujuan memohon kehadapan Sang Hyang Semara Ratih agar diberikan jalan yang baik dan tidak menyesatkan bagi si anak yang akan menginjak masa puberitas. Prosesi ini diiringi barisan gamelan Balaganjur.

Baca Juga:  33 Diorama di Monumen Perjuangan Rakyat Bali Melukiskan Spirit Perjuangan Rakyat Bali

Lalu, menyuguhkan atraksi tematik yang mengangkat sosok ikonik salah seorang pahlawan dari Tabanan yaitu Sagung Wah “Balikan Wangaya” 5 Desember 1906. Pertempuran itu terjadi, Seorang gadis muda belia berdiri memimpin pasukan untuk siap bertempur ke medan peperangan.

Tangannya memegang senjata, dengan tekat dan jiwa puputan, dia maju melawan Belanda tanpa kenal takut demi membela tanah kelahirannya. Meskipun hanya berbekal senjata Duwe Pura Batukaru dia menyerang Belanda. Pasukan Belanda dibuatnya tak berkutik. Dialah “Sagung wah”, yang berteriak kencang memimpin pasukan untuk melawan Belanda dengan nama “Balikan Wangaya”.

Garapan “Balikan Wangaya” ini diiringi oleh barungan gambelan Adi Merdangga merupakan sebuah gamelan yang diambil dari perkembangan gamelan Balaganjur. Pada pawai ini, duta Kabupaten Tabanan menggunakan gamelan Adi Mredanga hasil perpaduan antara barungan gamelan Baleganjur dan barungan gamelan Semar Pagulingan, sehingga menjalin satu nuansa baru yang mendukung keutuhan garapan tematik.

Barungan gamelan Balaganjur dengan pola yang cepat, tegas dan dinamika yang kencang menimbulkan kesan kerasnya suasana dalam peperangan Sagung Wah, sedangkan gamelan Semar Pagulingan menimbulkan kesan agung, berwibawa yang mencerminkan keagungan kerajaan Tabanan. Penciptaan gending juga diselipkan lagu yang bertema “Jayaning Singasana” yang dimaknai “Aman, Unggul, dan Madani”, sebagai slogan Pemerintahan Kabupaten Tabanan.

Baca Juga:  Kundalini Tantra Yoga, Fokus pada Kesehatan Tulang Belakang dan Melatih Pernafasan

Barisan penutup, mempersembahkan kesenian okokan dari Sekaa Okokan Brahma Diva Kencana. Okokan merupakan alat musik tradisi khas Tabanan yang bentuknya menyerupai kalung (kroncong) yang digantungkan dileher sapi. Okokan berukuran kurang lebih 90 cm, sehingga dapat menghasilkan suara yang bergema dan magis.

Sebagai kesenian agraris, okokan diyakini dapat difungsikan sebagai kesenian tolak bala atau untuk menetralisir kekuatan negatif yang menyerang pertanian. Okokan pada awal mulanya menjadi satu kesatuan dengan tradisi tektekan. Tradisi tektekan ini dilaksanakan dengan melaksankan dengan menggunakan sarana kulkul, okokan dan di kolaborasi dengan gambelan, ditabuh mengelilingi wilayah desa adat Kediri.

ISI Denpasar sajikan Siwa Nataraja saat gladi Pembukaan PKB XLVI di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali/Foto: dok.balihbalihan

Kota Denpasar

Di bawah kepemimpinan Walikota I GustiNgurah Jaya Negara dan Wakil Walikota I Kadek Agus Arya Wibawa, pada tahun ini mempercayakan penampilan peed aya kepada Gabungan Komonitas Seni Kota Denpasar. Mengusung spirit “Vasudeva Kutumbakam” duta Kota Denpasar menampilkan peed aya yang dikemas oleh seniman-seniman muda unggul, dengan sajian yang penuh estetika, etika, dan sarat makna.

Peed aya diawali dengan gadis pembawa papan nama berbusana payas lelunakan dan diiringi jegeg bagus berbusana payas agung khas Kota Denpasar yang dibawakan teruna teruni Kota Denpasar. Barisan pembawa uparengga. Sebagai kota yang kokoh merawat warisan pusaka leluhur, maka menampilkan kesenian khas tari janger dan gandrung. Tarian ini diiringi gamelan gong suling. 

Baca Juga:  Lontar Griya Satria Hanya 117 Bisa Diidentifikasi. Sisanya “Duang Sok” Rusak

Duta Kota Denpasar menampilkan prosesi daur hidup mepandes (potong gigi). Prosesi ini diiringi gamelan gender wayang dan gamelan adi merdangga anak-anak. Sebagai garapan pamungkas, duta peed aya Kota Denpasar mempersembahkan garapan berjudul “Ida Cokorda Mantuk Ring Rana”. I Gusti Ngurah Made Agung sebagai raja Kerajaan Badung yang secara langsung memimpin perlawanan terhadap penjajahan Belanda dan gugur dalam Perang Puputan Badung. Beliau merupakan pemimpin yang sangat taat dengan ajaran-ajaran Agama.

Setelah menjabat sebagai Raja, disarankan untuk melakukan upacara potong gigi oleh Pedanda Beji. Beliau naik tahta sebagai raja pada usia 26 Tahun, namun wafat dalam medan perang pada usia 30 Tahun. Berpegang teguh pada kebenaran dan setia sampai mati membela harga diri tanah kelahiran.

Raja mengajak seluruh masyarakat mempertahankan negaranya. Raja mampu memimpin dan membangkitkan semangat perang pasukan, bersama dan bergotong royong melawan penjajah dengan tetap berpegang teguh dengan ajaran agama. “Kita Boleh Hancur Tapi Tidak Boleh Kalah” Semangat dan karakter dari I Gusti Ngurah Made Agung menjadi sebuah motivasi peran generasi kota denpasar dalam menjaga keberlangsungan Budaya, Tradisi, dengan spirit “vasudhaiva kutumbakam”.

Kabupaten Buleleng

Dibawah kepemimpinan Pejabat Bupati Ir. Ketut Lihadnyana, M.M.A mempercayakan duta peed aya tahun ini kepada Sekaa Mandala Yowana Banyuning. Pada kesempatan ini duta kabupaten Buleleng menampilkan peed aya dengan mengusung spirit “Singa Ambara Raja” dimaknai sebagai kelincahan dan semangat kepahlawanan rakyat Buleleng.

Baca Juga:  33 Diorama di Monumen Perjuangan Rakyat Bali Melukiskan Spirit Perjuangan Rakyat Bali

Diawali barisan pembawa papan nama dibawakan seorang remaja berbusana payas lelunakan dan sepasang jegeg bagus berbusana payas agung khas kabupaten Buleleng. Lalu, barisan uparengga yang membawa bandrangan, tedung, kober, dan lelontek. Lalu barisan tarian khas kabupaten yaitu menampilkan Tari Truna Jaya, Tari Wiran Jaya, Tari Palawakya dan tari Legong Pengeleb. Lalu menampilkan prosesi upacara Pawintenan dan Mebayuh dengan diiringi gamelan gender wayang.

Sebagai sajian pamungkas, menampilkan garapan tematik yang berjudul “I Gusti Ngurah Panji Sakti Menyerang Blambangan.” Dikisahkan pada tahun 1697, Mas Purba yang berhak atas tahta Kerajaan Blambangan memohon bantuan kepada I Gusti Ngurah Panji Sakti sebagai Raja Buleleng, untuk menggulingkan pamannya (Mancana Pura) dari tahta Kerajaan Blambangan.

Permohonan Mas Purba itu dikabulkan oleh I Gusti Ngurah Panji Sakti. Sebelum diadakan penyerangan ke Blambangan, maka I Gusti Ngurah Panji Sakti terlebih dahulu menggelar permainan megoak-goakan untuk meminta persetujuan pasukannya dalam penyerangan kerajaan Blambangan.

Pada hari yang ditunjukan oleh bagawanta, maka berangkatlah lascar Buleleng yang dipimpin langsung oleh I Gusti Ngurah Panji Sakti, yang bersenjatakan keris pemberian Dalem Segening yang bernama Ki Semang dan Tombak Ki Pangkajatatwa. Patih kerajaan Buleleng yang bernama I Gusti Tamlang bersenjatakan Tombak Ki Baru Ketug dan Patih I Gusti Made Batan bersenjatakan Tombak Ki Baru Sakoti.

Baca Juga:  Kongres Kebudayaan Bali IV Akan Bahas 10 Objek Pemajuan Kebudayaan Lima Tahun Kedepan

Laskar Buleleng berangkat melalui Gilimanuk dan Batu Dodol dan akhirnya dapat mencapai pantai Blambangan. Tidak berselang lama, laskar Buleleng mampu menguasai daerah pesisir. Di dalam penyerangan ini I Gusti Ngurah Panji Sakti mendapat bantuan dari orang-orang Makasar seperti Karaeng Pamalikang dan teman-teman Surapati. Laskar Blambangan mengalami kekalahan dalam pertempuran itu. Garapan ini diiringi dengan barisan gamelan balaganjur.

Kabupaten Karangasem

Di bawah kepemimpinan Bupati I Gede Dana dan Wakil Bupati I Wayan Artha Dipa, pada peed aya tahun ini mempercayakan Sanggar Seni Tri Datu dan Sanggar Tari Prabatasari sebagai duta peed aya. Kabupaten Karangasem yang berada diujung timur Pulau Bali, banyak memiliki keunikan seni dan budaya. Dengan spirit “Karangasem Soul of Bali”, berbagai ragam keunikan seni dan budaya Karangasem.

Diawali barisan pembawa papan nama, dengan busana lelunakan didampingi sepasang Jegeg Bagus menggunakan busana payas agung khas Karangasem. Payas agung Karangasem merupakan busana yang biasanya dipakai oleh bangsawan Puri Karangasem dalam upacara pawiwahan (perkawinan) maupun dalam upacara potong gigi. Lalu, barisan pembawa uparengga.

Persembahan berikutnya, menampilkan tarian khas daerah, yakni Tari Kreasi Gebug Ende. Tari ini merupakan kesenian rakyat khas Kabupaten Karangasem. Tarian ini lahir, tubuh, dan berkembang di Desa Pakraman Seraya. Kesenian ini, salah satu jenis tarian persembahan yang ddifungsikan sebagai media ritual untuk memohon kesuburan, serta memohon turunnya hujan pada saat musim kering atau kemarau panjang tiba. Gerak tari maupun tabuh pengiringnya menunjukkan corak, karakter kekhasannya tersendiri.

Baca Juga:  Pentas Drama Gong, Perbekel dan Lurah di Gianyar Sangat Lucu

Lalu, menampilkan berbagai macam tari rejang tradisi sebagai kesenian khas daerah. Beberapa diantaranya Rejang Telu Likur Desa Adat Basangalas, Rejang Desa Adat Ngis Kecamatan Abang, Rejang Desa Adat Susuan Kecamatan Karangasem.

Duta Karangasem menampilkan upacara Pawiwahan, yakni upacara Pabuncingan Puri Agung Karangasem dengan kekhasannya pada ritual Matepak Sangku. Upacara ini dilaksanakan apabila yang melaksanakan upacara pawiwahan itu adalah sesama bangsawan puri dikenal dengan Ardenareswari.

Rangkaian upacara diawali dengan peminangan, memadik, ngungkab lawang, dan matepak sangku. Maknanya, kedua mempelai sepakat menyatukan diri menjalankan kehidupan rumah tangga, serta berharap agar dapat melahirkan generasi yang unggul. Prosesi upacara Pebuncingan ini diiringi Gamelan Tambur dikolaborasikan dengan Sungu dan Rebana sebagai perwujudan toleransi antara keluarga puri dengan umat muslim di Karangasem.

Kabupaten Karangasem juga menampilkan garapan tematik dengan judul ’Mpu Kuturan’. Dikisahkan, pada masa lampau di Bali ada 9 sekte atau aliran, yang memiliki paham yang berbeda-beda. Hal itulah yang membuat kegaduhan di Bali, sehingga Raja Bali Sri Kesari Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni memerintahkan Mpu Kuturan untuk ke Bali pada tahun 845 Masehi untuk mengatasi kegaduhan itu.

Baca Juga:  Mengenang Maestro Guru Tari Legong Peliatan ‘Gusti Biang Sengog’ Melalui Lokakarya di Ajang PKB

Empu Kuturan menggelar peruman di Pura Samuan Tiga. Hasil paruman tersebut memutuskan meringkas aliran tersebut menjadi 3 (tiga) yaitu Brahma, Wisnu, dan Siwa atau Tri Murti. Empu Kuturan juga mengajarkan konsep-konsep keharmonisan di dalam meningkatkan kualitas hidup, seperti salah satunya ajaran Tri Hita Karana, yang bermakna hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan, dan manusia dengan alam. Peningkatan kualitas kehidupan ini tentunya sesuai dengan tema PKB XLVI yaitu Jana Kerthi Paramaguna Wikrama.

Kabupaten Badung

Di bawah kepemimpinan Bupati I Nyoman Giri Prasta dan Wakil Bupati I Ketut Suiasa, mengutus Sanggar Seni Werdhi Swara sebagai duta peed aya. Sajian ini mengusung spirit “Ҫūra Dharma Rakşaka”, yang berarti menjunjung tinggi sikap ksatria dan berani membela kebenaran di dalam memimpin, serta senantiasa menjaga kesucian dan memelihara kesuburan alam (segara-giri) sebagai sumber kesejahteraan rakyat.

Diawali dengan barisan pembawa papan nama oleh seorang remaja putri berbusana rias lelunakan dan didampingi oleh sepasang remaja berbusana rias agung ciri khas Kabupaten Badung. Lalu, barisan uparengga dan gebogan bunga diiringi gamelan salonding, alat musik tradisional Bali yang tergolong sebagai gamelan tua. Kata salonding berasal dari kata salon dan hning yang berarti tempat suci. Saat ini gamelan Salonding populer digunakan dalam upacara adat dan agama Hindu.

Kabupaten Badung menampilkan berbagai macam wujud Barong dan Rangda sebagai kesenian khas kabupaten, antara lain: Barong Buntut, Barong Ket, Barong Macan, Barong Bangkung, dan Barong Landung. Barong dan rangda adalah simbol rwa bhineda, positif dan negatif yang senantiasa bertemu dan menciptakan kehidupan di alam semesta. Bagian ini diiringi oleh gamelan balaganjur bebarongan untuk memperkuat karakter Barong yang ditampilkan.

Baca Juga:  6 Koleksi Busana Adat Bali “Berbudi Bawa Leksana” Modis, Terjangkau dan Berkelanjutan

Selanjutnya, fragmentari berjudul “Gugur I Gusti Ngurah Rai” yang menceritakan pasukan Belanda mengepung I Gusti Ngurah Rai. Kedua pasukan saling berpacu serang-menyerang dan perang pun membesar. Tampak gagah perkasa keberanian pasukan Bali yang hanya bersenjatakan bambu runcing bertempur di medan peperangan.  Namun, kekuatan senjata pasukan Belanda tidak dapat dibendung. I Gusti Ngurah Rai gugur dalam peperangan itu. Fragmentari tematik ini diiringi oleh Gamelan Baleganjur dengan jumlah besar.

Untuk memaknai tema Jana Kerthi Kabupaten Badung mempersembahkan prosesi upacara daur hidup, yakni upacara ngaben yang merupakan salah satu prosesi upacara pitra yadnya. Pada bagian ini ditampilkan prosesi kremasi jenasah, yang diyakini oleh umat Hindu sebagai salah satu cara mengembalikan jazad orang meninggal ke alam semesta dan menyucikan roh menuju alam nirwana. Prosesi ini diiringi oleh gamelan angklung, gambang, gender dan balaganjur.

Kabupaten Klungkung

Dibawah kepemimpinan Pejabat Bupati I Nyoman Jendrika mempercayakan duta peed aya tahun ini kepada Barungan Sanggar Seni se-kecamatan Banjarangkan. Peed aya yang dikemas dalam konsep tatwa, etika, dan estetika ini mengusung spirit “Dharmaning Ksatriya Mahottama” bermakna keutamaan seorang pemimpin dalam menjalankan kewajiban.

Peed aya diawali dengan seorang remaja berbusana payas lelunakan membawa papan nama kabupaten, dan ikuti oleh sepasang muda mudi jegeg bagus berbusana payas agung khas kabupaten Klungkung. Lalu, barisan uperangga. uperengga merupakan alat-alat yang digunakan dalam kegiatan prosesi upacara agama Hindu.

Baca Juga:  Fashion Show Diversity of Indonesia#7 Suguhkan 105 Karya dari 35 Desainer Muda

Barisan selanjutnya, tarian khas Kabupaten Klungkung yakni tari Barong Kedingkling dan tari Baris Jangkang. Pertunjukan ini diiringi dengan gambelan batel. Barong Kedingkling memiliki keunikan tersendiri. Keunikannya terletak pada bentuk-bentuk topeng barong yang merepresentasikan tokoh-tokoh dalam cerita wayang Ramayana.

Kemudian Baris Jangkang merupakan tarian khas daerah Nusa Penida Klungkung. Tarian ini merupakan baris upacara yang usianya cukup tua. Itu dapat dilihat dari segi gerakan tarinya maupun kostum yang digunakan masih mencerminkan bentuk-bentuk sederhana. Saat menari, Baris Jangkang menggunakan senjata tombak.

Barisan selanjutnya adalah Topeng Panca yang diikuti oleh topeng bojog, dengan iringan gong suling, Topeng Panca merupakan pengembangan dari topeng pajegan, bentuknya dengan menambahkan pemain menjadi lima orang. Tari topeng panca dipertunjukkan di halaman utama pura untuk melengkapi prosesi keagamaan, seperti upacara potong gigi, upacara perkawinan, maupun upacara ngaben. Karakter-karakter yang ditunjukkan dalam topeng panca antara lain: Topeng Keras, Topeng Tua, Topeng Penasar, Topeng Dalem dan Topeng Sidakarya.

Unatuk garapan tematik mengangkat kisah perjuagan Ida I Dewa Agung Jambe, Raja Klungkung yang menjadi penerus Dinasti Gelgel. Agung Jambe gugur saat perang puputan melawan Belanda pada 28 April 1908. Puputan adalah istilah rakyat Bali untuk menyebut perang habis-habisan. Sejarah mencatat lima kali perang puputan terjadi di Bali, termasuk salah satunya Puputan Klungkung.

Baca Juga:  Ida Pedanda Gede Wayahan dari Griya Jumpung Kerambitan Miliki Koleksi Kakawin Dilengkapi Arti

Peristiwa itu kelak disebut sebagai Hari Puputan Klungkung dan menjadi hari ulang tahun (HUT) Kota Semarapura, Klungkung. Kepahlawanan Ida Idewa Agung Jambe juga diperkuat dengan keberadaan monumen Puputan Klungkung yang dibangun sejak 1992. Ida Dewa Agung Jambe tak hanya dikenal sebagai pemimpin bagi masyarakat saat era Kerajaan Klungkung.

Semangatnya membela tanah air juga menjadi teladan lantaran menempatkan kedaulatan dan kehormatan di atas segala-galanya dan saat ini beliau telah dinobatkan sebagai Pahlawanan Nasional sejak tanggal 6 Nopember 2023. Garapan ini diiringi seperangkat barungan gamelan Balaganjur, sebuah musik tradisi Bali yang bernuasa kepahlawanan.

Sajian penutup, menampilkan peed aya upacara daur hidup mamukur, rangkaian acara setelah ngaben yang dilakukan oleh umat Hindu di Bali. Di beberapa wilayah di Bali, upacara mamukur juga disebut dengan upacara ngarorasin. Tujuannya, untuk meningkatkan kesucian roh seseorang yang telah diaben agar dapat ditingkatkan menjadi dewa pitara (leluhur suci).

Harapannya, roh yang telah disucikan tersebut dapat reinkarnasi kembali ke dunia menjadi sosok yang berkualitas. Rentetan upacara mamukur secara umum terdiri dari: ngadegang puspa lingga, ngajum puspa lingga, mapurwa daksina, ngeseng puspa atau sekah, nganyut sekah, nyegara gunung, dan ma-ajarajar. [B/darma]

Related post