Kelompok 7 Sanggar Dewata Indonesia Pamerkan ‘Pinara Pitu’ di Santrian Gallery Sanur
Pameran seni ini, bukan hanya sebagai ajang untuk memajang karya-karya seni rupa, tetapi sebuah reuni. Pengunjung yang datang lebih banyak para sahabat, teman seprofesi dan orang-orang pecinta seni. Bertemu, akrab, bercakap-cakap dan saling bercerita tentang pengalaman, seakan baru berkenalan kembali.
Itulah suasana pembukaan pameran bersama bertajuk “Pinara Pitu” di Santrian Art Gallery, Jumat 5 Juli 2024. Pameran ini digelar oleh Kelompok 7 Sanggar Dewata Indonesia (SDI) yang terdiri dari I Made Djirna, Nyoman Erawan , Made Budhiana, Nyoman Wibawa, Made Sudibia, Made Bendi Yudha, dan Made Ruta.
Pameran ‘Pinara Pitu’ dibuka di dua tempat, yakni di pintu masuk gallery dibuka oleh Prof. Dr. I Wayan “Kun” Adnyana di damping General Manager Griya Santrian Resort and Spa Ida Bagus Gede Sidharta Putra dan Rudana. Sementara di teras gallery dibuka oleh I Made Marlowe Makaradhwaja Bandem.
Pameran “Pinara Pitu” merupakan kolaborasi Kelompok 7 SDI 1990 bersama Gurat Art Project bagian dari Komunitas Budaya Gurat Indonesia (KBGI) yang dimulai pada awal tahun 2024 ini. Berawal dari pertemuan internal Kelompok 7 terlebih dahulu, selanjutnya diajukan kepada Gurat Art Project.
“Permintaan dari pada Kelompok 7 memang menginginkan bukan sekedar pameran reuni yang menunjukkan karya terbaru saja. Saat mengetahui tempatnya di Santrian Art Gallery, kami dari Gurat Art Project langsung ke lapangan untuk menentukan bagaimana menghadirkan yang lampau sampai yang kini,” kata Kurator Gurat Art Project yang dieakili Savitri.
Pameran “Pinara Pitu” tidak saja menghadirkan karya-karya terbaru, tetapi juga kerja kurasi yang komprehensif, mulai dari menata kembali arsip kelompok 7 SDI yang disimpan baik di museum dan oleh para anggotanya. Selain itu, mengkonfirmasi serta menggali pernyataan langsung sang perupa beserta kesaksian para pihak terkait yang mengikuti perjalanan mereka.
“Pinara Pitu” menjadi tajuk yang diambil dari konsep Genta Pinara Pitu dalam Lontar Prakempa dan Aji Gurnita, sebuah teks Bali yang menguraikan tentang filosofis tujuh suara alam semesta yang berevolusi menjadi nada instrumental berbagai gamelan Bali.
Pameran “Pinara Pitu” diharapkan bisa menjadi sebuah pintu masuk untuk melihat dinamika dan pergerakan artistik serta estetik Kelompok 7 SDI 1990 – melihat dan memaknai bersama apa yang Kelompok 7 telah hadirkan dalam medan sosial seni rupa Bali. “Kami berterima kasih kepada pihak Neka Art Museum, Museum Rudana, kolega-kolega Kelompok 7 SDI yang sudah bersedia berkontribusi arsip serta testimoni untuk pameran ini,” ucap Savitri senang.
Ada yang menarik dari pameran ini. Tiga puluh tahun lebih sudah kebersamaan mereka sejak terakhir kali berpameran sebagai kelompok pada 1991. Kini Kelompok 7 memutuskan berjumpa kembali dalam pameran berjudul “Pinara Pitu”. “Kelompok 7 pameran ini tidak hanya dimaknai sebagai pameran reuni biasa, namun ada pula hal-hal yang ingin mereka bagikan kepada publik seni rupa Bali,” paparnya.
Kelompok 7 ini menampilkan arsip-arsip perjalanan mereka sebagai sebuah kelompok serta bagaimana kehadiran mereka dalam medan sosial seni rupa Bali pada awal dekade 90an. Sebuah arsip, sebuah catatan perjalanan tentu bukan hanya rekaman-rekaman yang mengajak kita bernostalgia. “Apa yang bisa kita lihat dari sebuah arsip adalah sebuah data, pembelajaran tentang masa lalu untuk menatap masa kini,” sebutnya.
Kehadiran Kelompok 7 sebagai sub-kelompok berbasis angkatan dalam tubuh SDI kala itu, merupakan sebuah tradisi baru dalam tubuh SDI yakni adanya pola pergerakan yang lebih ramping dalam tubuh SDI muncul pada generasi 80an. Kelompok 7 mulai kegiatan mereka dengan berpameran di Museum Neka pada tahun 1990.
Selanjutnya tercipta suasana yang berbeda dan lebih cair dalam tubuh SDI. Kelompok 7 menjadi tonggak penting dan menginspirasi angkatan-angkatan sesudahnya untuk memulai sebuah tradisi berkelompok dalam tiap angkatan di tubuh SDI.
Aktivitas dan kiprah Kelompok 7 tidak hanya memberi warna dan dinamika dalam tubuh SDI secara internal sebagaimana catatan Bakti diatas, namun lebih jauh dari itu. Kelompok 7 boleh jadi juga memberi dinamika tersendiri bagi hadirnya kelompok perupa yang berlatar akademis dengan capaian artistik yang dinamis pada awal dekade 1990an di Bali.
Pada awal dekade 1990an dinamika aktivitas kolektif pada perupa di Bali belum begitu jamak dilakukan terlebih bagi para perupa yang terlahir dari bangku akademik. Kelompok-kelompok perupa di Bali pada masa itu, lebih didominasi oleh kelompok perupa yang bergerak secara inisiatif dan otodidak dan membentuk beberapa kelompok.
Menurut Savitri, secara artistik apa yang dihadirkan kelompok-kelompok tersebut masih berfokus pada satu gaya atau kecenderungan visual, seperti realistik maupun naturalistik yang mengangkat objek dan landscape Bali sebagai tema yang tampak dominan.
Kelompok 7 hadir dengan artistik yang lebih beragam sebagai hasil dari pencerapan mereka secara akademik dan persinggungan mereka dengan kebudayaan di luar Bali yakni Yogyakarta sebagai tempat perjumpaan perupa dari lintas wilayah di Indonesia.
Kecenderungan karya yang lebih eksperimental, pengolahan atas material dan eksplorasi-eksplorasi non representasional menjadi tawaran artistik “baru” bagi medan sosial seni kala itu. Hal ini juga memberi inspirasi dan memantik para perupa muda Bali kala itu untuk menghadirkan eksplorasi yang lebih beragam dan dinamis.
Sebagian eksponen Kelompok 7 dari waktu ke waktu terus bergerak dalam wilayah artistik meraih eksistensi sebagai pelaku seni yang aktif dalam medan seni rupa Bali sejak dekade 1990an hingga kini seperti Made Djirna, Made Budhiana, Nyoman Erawan dan Nyoman Wibawa.
Sebagian lagi memilih jalur berkesenian dan mengabdikan diri pada dunia pendidikan seni dengan menjadi pendidik di Institut Seni Indonesia (ISI) Bali seperti Made Bendi Yudha, Made Ruta dan Made Sudibia.
Dua wilayah ini menarik untuk dicermati tentang bagaimana sumbangsih para eksponen Kelompok 7 dalam medan seni rupa Bali baik sebagai pelaku seni maupun sebagai pendidik seni, sehingga tidak berlebihan jika kehadiran Kelompok 7 menjadi catatan yang menarik untuk dilihat dan diaktualisasi sebagai sebuah bagian dari dinamika sejarah perkembangan seni rupa Bali pada dekade 1990an.
Kehadiran mereka kini untuk berpameran kembali sebagai sebuah kelompok akan sangat sayang jika hanya dimaknai sebagai sebuah pameran reuni yang penuh romantisir maupun eksotisnya nostalgia masa lalu antar anggotanya.
Bertimbang pada hal tersebutlah maka dalam pameran tahun 2024, tiga dekade setelah mereka berdiri pada dekade 1990an, selain menghadirkan karya-karya personal dan mutakhir para eksponennya, pameran kali ini dikemas dengan pameran yang menghadirkan sisi historis berupa arsip-arsip Kelompok 7.
Baik berupa karya, dokumentasi foto, artikel dari para penulis dan berbagai publikasi Kelompok 7 sebagai sebuah kelompok. Arsip dan sisi historis ini akan dibagikan dan diharapkan menjadi ruang-ruang edukasi bersama bagi generasi kini untuk mengenal sepenggal fragmen sejarah perkembangan seni rupa Bali dekade 1990an melalui studi kasus aktivitas Kelompok 7.
Model pameran seperti ini juga diharapkan sebagai sebuah momentum untuk menghadirkan dan memaknai kehadiran sebuah peristiwa pameran selain sebagai ruang apresiasi juga sebagai ruang pengetahuan dan perayaan serta pemaknaan kembali atas arsip.
Pinara Pitu sebagai sebuah judul pameran merupakan sebuah frame yang diharapkan sebagai sebuah pintu masuk untuk melihat dinamika dan pergerakan artistik para eksponennya kini dengan keberagaman karakter artistik, konsep dan cara berkesenian.
Pinara Pitu diambil dan dimaknai secara lebih dinamis dari sebuah konsep Genta Pinara Pitu dalam teks Lontar Prakempa dan Aji Gurnita sebuah teks Bali yang membahas tentang suara, musik dalam filosofi Bali.
Genta Pinara Pitu adalah sebuah konsep yang menguraikan tentang filosofis tujuh suara alam semesta yang berevolusi menjadi nada instrumental berbagai gamelan Bali. Dalam konsep Pinara Pitu setiap nada dan warna suara yang dihasilkan berasal dari suara-suara yang terlahir di lima unsur alam (Panca Maha Bhuta) yang berevolusi menjadi tujuh karakter nada yang mewakili lima karakter unsur alam semesta.
Melalui pameran Pinara Pitu kita akan melihat tujuh karakter artistik yang dihadirkan oleh Djirna, Budhiana, Erawan, Wibawa, Bendi Yudha, Ruta dan Sudibia kini sembari melihat dan memaknai bersama apa yang Kelompok 7 telah hadirkan dalam medan sosial seni rupa Bali. [B/darma]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali