Empat Seniman Kolaborasi ‘Pengider Bhuana’: Empat Arah, Empat Karakter, Empat Energi Ciptakan Harmoni
Sungguh penyajiam seni yang sangat kreatif. Empat seniman dengan latar belakang seni yang berbeda tampil bersama dalam sebuah kolaborasi ‘Pengider Bhuana”. Meski masing-masing berpedoman pada satu konsep, tetapi kalau dilihat dari sajian gerak dan ekspresi tentu berbeda. Warna dan simbolnya juga beda, tetapi satu sama lain menyatu ciptakan keseimbangan.
Itulah performance art serangkaian dengan Festival Indonesia Bertutur 2024 di Panggung Terbuka Arma Museum, Minggu 11 Agustus 2024. Seniman yang tampil, yaitu Arahmaiani seniman internasional, Made Sidia seorang dalang dan dosen seni pertunjukan, I Gede Made Surya Darma seorang perupa yang juga guide, dan Jero Penyarikan, I.K. Eriadi Ariana, tokoh spiritual.
Berpegang pada konsep “Pengider Bhuana” keempat seniman itu menyajikan garapan yang menggambarkan arah mata angin lengkap dengan 4 dewa yang beristana. Mereka bergerak, berekspresi lengkap dengan property yang merepresentasikan 4 karakter, 4 spiritual, dan 4 penjaga arah mata angin.
Made Sidia mengatakan, empat arah mata angin ini sarat dengan perbedaan warna, sifat dan tabiat. Arah Utara dijaga oleh Dewa Wisnu yang disimbolkan dengan warna hitam, Timur dijaga Dewa Iswara disimbolkan warna putih, Selatan dijaga Dewa Brahma disimbolkan warna merah, serta Barat dijaga Dewa Mahadewa disimbolkan dengan warna kuning.
“Keempat arah mata angin itu melambangkan makrokosmos. Empat penjuru mata angin ini juga berkaitan dengan Catur Sanak, yakni Anggapati, Mrajapati Banaspati, Banaspati Raja yang mewakili alam mikrokosmos,” terang Made Sidia yang juga dosen Seni Pertunjukan ISI Denpasar.
Menurut Made Sidia, keseimbangan makrokosmos dan mikrokosmos ini memunculkan percikan berwarna warni, corak, karakter. Para penari ini menggambarkan hal tersebut melalui pertunjukan seni tersebut. Terkadang, bergerak sang dibarengi dengan teriakan, bahkan melantunkan tembang. Tembang asal mula dunia tercipta.
Tembang dan teriakan ini menggambarkan bagaimana semesta menciptakan manusia lewat semesta dan lingkungan. Karena itu, dalam pertunjukannya, Made Sidia menggunakan Kayonan (wayang) merupakan simbol bumi. Di tengah kayonan terdapat Dewa Siwa, dan Siwa adalah Mahadewa dan Maha guru.
“Siwa adalah kekuatan maha dahsyat yang menyelamatkan dunia. Disebut Sang Hyang Nilakanta karena beliau meminum racun. Akhirnya, melambangkan kondisi Rwa Binedha, hitam putih, positif negatif. Racun dan Berkah. Beraneka ragam, bercampur menjadi satu persatuan. Intinya tutur itu adalah keseimbangan,” sebut Made Sidia.
I Gede Made Surya Darma yang menggarap arah Utara berbusana hitam sebagai symbol Dewa Wisnu. Dalam penampilannya, menggunakan sirih dan kapur merupakan symbol Wisnu, serta memercikkan air sebagai media pertunjukannya. Benda-benda tersebut merepresentasikan budaya nginang, yaitu mengunyah daun sirih, lengkap dengan pamor, gambir, dan daun tembakau.
“Saya menggunakan benda-benda ini untuk merepresentasikan budaya nginang. Biasanya para tetua jaman dulu melakukan kegiatan nginang sebagai pembuka rapat. Tujuannya, untuk membersihkan mulut, sehingga ucapan yang keluar adalah ucapan yang bersih dan baik,” papar pria asal Tabanan ini.
Surya Darma menambahkan, jika dalam bahasa Bali, daun sirih disebut base, atau basuh yang artinya membersihkan. “Memang daun sirih digunakan untuk membersihkan. Namun, tidak hanya membersihkan perkataan, tetapi juga membersihkan tubuh dari berbagai penyakit,” jelasnya kemudian.
Arahmaiani yang menyebutkan, pertunjukan yang mereka tampilkan adalah tentang kontemplasi, bagaimana manusia harus sadar tentang situasi nyata yang dihadapi sekarang. Ada banyak masalah yang harus dihadapi. Jika tidak, kehidupan dan alam ini akan berada dalam kehancuran.
“Dengan ide tersebut, saya ingin mengekspresikannya melalui seni saya, untuk membuat orang sadar tentang masalah ini. Berbagi pengalaman dan rasa bagaimana membangun masa depan,” jelas Arahmaiani pada kesempatan itu.
Berbeda pula dengan penyajian I.K. Eriadi yang menggunakan lontar sebagai media pertunjukkan. Menurutnya, lontar merupakan media sumber pengetahuan tertulis yang keberadaannya dapat mengantarkan pengetahuan dari jaman-ke jaman. Gerak dan property yang ditarikan itu sebagai simbol timur dengan manesfestasi Dewa Iswara.
Penampilan keempat seniman itu memeriahkan Mega Festival Indonesia Bertutur 2024 yang berlangsung di Ubud. Tahun ini, Indonesia Bertutur diadakan pada 7-18 Agustus 2024 di Bali. Ini merupakan penyelenggaraan kedua, dimana pada tahun 2022 Indonesia Bertutur diadakan di Candi Borobudur.
Di Bali, Mega Festival Indonesia Bertutur dilaksanakan selama 12 hari di tiga lokasi, yakni di Batubulan, Ubud dan Nusa Dua. Tema yang diangkat adalah “Subak: Harmoni dengan Pencipta, Alam, dan Sesama. “Kami mengadaptasi filosofi hidup orang Bali, Tri Hita Karana,” kata Direktur Artistik Indonesia Bertutur 2024, Melati Suryodarmo.
Budaya bukan hanya sekedar seni, budaya adalah tentang daya hidup masyarakat, tentang kehidupan bersama, untuk mengembangkan masyarakat yang lebih baik. Budaya bertahan dari waktu ke waktu, dan perlu dipelihara dan lebih banyak perhatian. “Penyelenggaraan Indonesia Bertutur untuk membawa generasi muda lebih dekat dengan dengan sejarah, budaya, dan culture heritage menjadi kreasi baru,” ungkapnya.
Indonesia Bertutur 2024 menghadirkan sembilan program utama. Pada 7 Agustus 2024 diselenggarakan Maha Wasundari, Seremoni & Pertunjukan Pembukaan yang digelar di Lapangan Chandra Muka Batubulan.
Pada 8-18 Agustus diselenggarakan berbagai acara di 5 tempat di Ubud (Neka Art Museum, Museum Puri Lukisan, ARMA Museum & Resort, Setia Darma House ofMask and Puppets, serta Tonyraka Art Loungge). Lalu, pada 14-18 Agustus 2024 berlangsung di Pulau Peninsula, Nusa Dua. [B/darma]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali