Persembahkan “Ritus” Pesan Sanggar Lokananta Menjaga Bumi di FSBJ III

 Persembahkan “Ritus” Pesan Sanggar Lokananta Menjaga Bumi di FSBJ III

Kebiasaan masyarakat Hindu dalam menyambut sebuah upacara diangkat ke dalam dunia panggung, sungguh menawan. Itu karena diberangi dengan penataan gerak, vocal juga dipadu unsur teater yang kuat. Musik yang merupakan perpaduan antara pentatonic dan diatonic tak hanya digarap sebagai iringan dalam menciptakan suasana, tetapi juga menjadi bagian dari permainan gerak penari itu. Maka bisa dicatat, adegan-adegan para penari yang memainkan property untuk menghasilkan music enerjik.

Itulah gambaran Adilango (Pergelaran) tari kotemporer bertajuk “Ritus” yang dipersembahkan Sanggar Lokananta dalam Festival Seni Bali Jani (FSBJ) III di Gedung Ksirarnawa, Aet Center Taman Budaya Denpasar, Rabu 3 Oktober 2021. Dalam pergelaran kali ini, sanggar yang berpusat di Desa Singapadu, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar itu tak hanya melibatkan pemain dewasa, tetapi juga seniman anak-anak dan remaja. Dengan teknik tari yang kuat, mereka tampil piawai membedah tema dalam tari kotemporer.

Tari kotemporer berdurasi 57 menit ini mengedepankan pola-pola gerak baru yang dikembangkan dari gerak tradisi yang sudah ada. Uger-uger dalam tari, nyaris tidak ada, namun hanya ada bagian satu dengan bagian lainnya yang menjadi satu kesatuan yang utuh. Tari ini ditata oleh I Nyoman Kharisma Aditya Hartana dan Vicky Adelia, serta I Gede Feby Widi Cahyadi sebagai penata music. “Ritus yang dimaksud berkaitan dengan tema FSBJ yang dibeberapa bagian ada kalimat “merawat bumi”. Maka ritus ini menyampaikan pesan merawat bumi melalui doa-doa,” kata konseptor dan ketua sanggar I Wayan Sutirtha.

Pesan yang ingin disampaikan, untuk mengingatkan masyarakat mewarat bumi dengan melakukan puja-puja dan doa. Untuk melakukan pemujaan menuju ritus itu, tentu melalui proses, sehingga beberapa garapan ini dibagi menjudi beberapa bagian. “Garapan ini mengajak masyarakat ikut menjaga bumi dengan ritual. Jika ada penudusan agung, memdem bagia, itu bagian dari memuliakan bumi itu. Dan Ritus yang kami sajikan ini sebagian kecil dari rutial itu,” bebernya.

Baca Juga:  Teater Selem Putih Pentaskan ‘Bendera’: Potret Kekinian dan Panjat Pinang

Ritus

Di awal, tari menceritakan bagian-bagian yang dilakukan dalam persiapan dari ritus itu. Para penari menggambarkan paruman yang menyepakati ada upacara untuk memuliakan bumi ini. Artinya, masyarakat melakukan aktivitas ngayah. Para pria ngebat dengan membawa property “talenan”. Pera penari menarikan talenan, terkadang diangkat, diputar kemudian dimainkan yang mampu menghasilkan suara.

Sementara para wanita mereresik, nyampat (menyapu). Sapu lidi ditarikan dengan mengedepoankan tempo, sehingga melahirkan bunyi yang menarik. Demikian pula dalam mempersiapkan banten dan lainnya. Sedangkan penari anak-anak bermain riang gembira menyambut upacara ritus tersebut. Ketika Legong yang ditarikan oleh penari anak-anak muncul, maka itu merupakan bagian puncak dari garapan itu sendiri, yakni “Ritus”. “Kami meyakini, ada beberapa cara orang untuk merawat bumi,” ucapnya.

Garapan ini menggunakan beberapa alat gamelan tradisionjal yang dipadu dengan jimbe, bas, keyboard dan lainnya, sehingga bernansa kekinian. Bagain gerak juga lebih banyak memakai gerak-gerak pengembangan yang tetap berkaitanh dengan karya tradisi dan tetap berkaitan dengan tema karya. Meneriknya lagi, tari kontemporer ini menampilkan property yang ramah lingkungan sebagai bagian dari memuliakan bumi, sehingga tak ada penggunaan plastic. Semuanya menggunakan bahan yang akrab dengan bumi, seperti menggunakan janur, ental, ron bambu dan bunga dari daun.

Dosen seni pertunjukan ISI Denpasar ini mengatakan, bumi itu ibarat seorang ibu. Ia ada untuk menghjadirkan sebuah awal yang murni, karena itu menjaga bumi sama halnya dengan menjaga ibu. Melalui karya seni ini, pera seniman yang tergabung dalam Sanggar Lokananta ingin menyampaikan ucapan terima kasih dengan liukan badan dan pikiran mereka yang menari-nari diirngi suara music untuk sebuah tempat yang bernama bumi. “Anak-anak, remaja, dewasa baik laki-laki ataupun perempuan bertemu dalam sebuah proses penggarapan seni ritus. Dalam proses ini terkadi, keiklasan, kejujuran, kebersamaan, gotong-royong dan rasa syukur serta yang utama rasa bakti pada Sang Pencipta,” tutup Sutirtha. [B/*]

Related post