dr.Arya Warsaba Sthiraprana Duarsa; Puisi Refleksi dari Perasaan untuk Melatih Kepekaan
Sibuk menjalani tugas sebagai seorang dokter, dr. Arya Warsaba Sthiraprana Duarsa tak pernah meninggalkan kebiasaannya menulis puisi. Pengalamannya sehari-hari paling berkesan, menjadi inspirasi dalam mencipta puisi dan cerita pendek (cerpen). Jika punya waktu senggang, ia menumpahkan pengalaman itu lewat tulisan. Bahkan, ia memiliki waktu untuk bermain teater, seperti saat muda dulu. Bahkan, di usianya yang semakin senja ini, ia mantap bermain teater secara perseorangan, monolog membawakan naskah orang lain ataupun naskahnya sendiri. Puisi seakan tak bisa lepas dari dalam dirinya hingga menjadi Kepala Humas dan Hukum Rumah Sakit Sanglah (kini RS Prof. IGNG Ngoerah).
Pria kelahiran Denpasar, 9 Februari 1964 ini memiliki pengalaman panjang dalam dunia sastra. Ia lahir dari seorang ibu rumah tangga dan ayah seorang Guru SPG yang memiliki kebiasaan membaca dan menulis. Kebiasaan itu yang mungkin menurun padanya, sehingga ketika duduk di bangku SMP Negeri 1 Denpasar, ia dipercaya mengurus majalah dinding. Ia memilih karya-karya teman-teman yang pantas masuk dalam majalah dinding sekolah. “Mulai saat itu, saya kemudian tertarik dengan sastra. Walau saat itu, menulis sedikit-sedikit,” ucapnya.
Kegiatan sastra kemudian berlanjut ke jenjang pendidikan SMA. Ketika menjadi siswa SMA Negeri 1 Denpasar, Ary Duarsa dipercaya mengurus majalah sekolah. Ia memasukan puisi-puisi hasil karya teman-temannya, juga karyanya sendiri. Puisi-puisi itu, bukan hanya menghiasi majalah dinding SMA Negeri 1 Denpasar, tetapi juga dimuat di Bali Post. “Saat itu ada teman yang mengajak untuk mengirim puisi ke Bali Post. Saya sesungguhnya tidak mengerti, tetapi ikut saja. Ternyata puisi saya dimuat dalam “Pawai Sekolah”. Wah, senang sekali rasanya saat puisi bisa dimuat,” kenangnya dengan raut wajah bangga.
Sejak itu, ayah dari tiga putra ini menjadi lebih semangat menulis puisi. Apalagi, Alm. Umbu Landu Paranggi, pengasuh rubrik tersebut begitu lihai mencambuk semangat anak-anak muda dalam menulis puisi. Ia kemudian terus mengirim puisi ke Bali Post, sehingga awalnya dimuat dalam rubrik Pawai Sekolah, lalu masuk dalam kompetisi, selanjutnya masuk kompetisi promosi yang akhirnya masuk rubrik budaya. Ary yang kreatif juga memiliki komunitas sesama penulis, sehingga setelah tamat SMA tahun 1982, Ary Duarsa selalu menjaga kebersamaan itu.
Kebersamaan itu, ditandai dengan kegiatan gradag-grudug di SPG Denpasar sekitar 1985. Ary Duarsa mendengar ada lomba drama modern se-Bali, sehingga sepakat untuk ikut. Hanya saja, teater sudah terbentuk itu belum memiliki nama. Karena mendesak, ia bersama teman-temannya sepakat memberi nama “Sanggar Minum Kopi” karena sering ngopi-ngopi. Saat lomba itu, Ary Duarsa sendiri bertugas sebagai sutradara yang memainkan naskah yang sudah disiapkan panitia. Saat itu, Ary terpilih sebagai sutradara terbaik III. Semenjak itu, Sanggar Minum Kopi namanya semakin besar dan menggema ke seluruh Indonesia. Itu karena setiap tahunnya melaksanakan lomba baca puisi, dan penulisan puisi. “Sayangnya, pada 1995 Sanggar Minum Kopi fakum secara permanen karena kesibukan masing-masing,” ucapnya.
Sanggar Minum Kopi yang didirikannya bersama teman-temannya itu ibarat sebagai kompor yang memantik bangkitnya kelompok-kelopok sastra lainnya. Sanggar Minum Kopi tak hanya local, tetapi terdengar di Indonesia. “Ketika menggelar lomba penulisan puisi, pesertanya selalu membludak yang datang langsung ke Bali,” sebutnya.
Sanggar Minum Kopi juga membuat Bulletin Sastra, sebagai sarana untuk menampilkan karya-karya sastra. Sayangnya, baru 3 atau 4 pernerbitan, bulletin itu kemudaian macet. Saat itu susah, karena semua biaya mencari sendiri. Namun, semangat itu terus berlanjut, maka lahir “Cak” yang juga memuat karya sastra. Penerbitan buletan ini dalam bentuk yang lebih mewah. Saat itu, Ary Duarsa hanya mengisi saja, karena setelah tamat Kedokteran Universitas Udayana 1989, ia mendapat penempatan pertama di Sulawesi Utara. “Saya yang berangkat ke Sulawesi Utara pada Agustus 1990 itu, lalu teman-teman yang lain melanjutkan,” imbuhnya.
Walau sedang bertugas di Puskesmas Momalia, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, namun kegiatan menulis puisi tak pernah putus. Bahkan, kegiatan itu semakin aktif sebagai pengisi waktu di saat santai. Ia bahkan sempat mengikuti lomba menulis puisi yang diselenggarakan Yayasan Taraju Sumatera Barat, dan berhasil masuk 10 besar. Pengalaman batin menghadapi sistuasi yang berbeda itu akhirnya banyak melahirkan karya-karya puisi. Ary Duarsa bahkan menerbitkan buku kumpulan puisi “Bagian dari Dunia” pertama di Sulawesi pada 1994.
Selanjutnya, Ary Duarsa pulang ke Bali pada 1995 dan bertugas di Rumah Sakit Sanglah. Buku kumpulan puisi kedua, kemudian terbit pada 2007, judulnya “Pulang Kampung”. Buku itu lahir setelah ia mengalami kefakuman menulis puisi yang begitu lama. Di sana ada kerinduan untuk menulis puisi, maka ia memberi nama pulang kampung puisi. Ketika sudah berada di kampung, ia lalu membuat buku kumpulan cerpen pada 2014. Membuat cerpen bukan hal aneh baginya, sebab ia sebelumnya beberapa kali telah memenangkan lomba cerpen. Karya-karya cerpennya juga sering dimuat di Bali Post.
Berselang lima tahun kemudian, tepatnya pada 2019 lalu Ary Duarsa menulis buku kumpulan puisi tunggal ke-3 berjudul “Otobiografi Kejahatan”. Bukan hanya urusan menulis, di usianya yang semakin senja itu, alumnus Magister Manajemen Undiknas Denpasar ini juga aktif bermain teater. Ia tampil memeriahkan festival 100 pentas monolog yang digagas Putu Satria. Ia sempat tampil bermain teater di Lapangan Parkir Rumah Sakit Sanglah, dan kedua bermain teater di SMP 1 Denpasar bertajuk Monolog 3 Dokter, bersama dr. Sahadewa dan Eka Kusmawan. “Dokter menekuni sastra, itu tidak aneh, dan profesi dokter dan sebagai penyair itu bukan berlawanan arah,” ujarnya.
Dokter itu, penting memiliki art dan science (seni dan ilmu). Dalam dunia kedokteran juga ada seni. Dokter yang melakukan pendekatan dan berkomunikasi dengan pasien itu dilakukan dengan seni. Seorang dokter tidak melakukan science secara full. “Memang, tak semua dokter melakukan hal itu, tergantung dari cara mereka berkomunikasi karena masing-masing memiliki cara seninya. Dalam menetapkan diagnose juga ada seninya. Misal pasien panas, nah untuk mencari penyakitnya itulah seni. Di sana perlu kepekaan dan intuisi yang terasah,” papar Ary Duarsa meyakinkan.
Dengan menggeluti puisi itu, akan dapat melatih kepekaan. Ketika melihat kejadian, fakta dan pengalaman, itu yang kemudian dituangkan ke dalam tulisan. Kalau tidak peka melihat sesuatu kejadian, maka tidak akan bisa menulis. Walau Ary Duarsa sering bergelut dan memiliki segudang pengalaman dalam dunia medis, namun puisi-puisi yang ia lahirkan cukup beragam. Pengalaman hidup sehari-hari yang bisa ia tulis. “Apapun bisa ditulis. Puisi tentang rumah sakit, pada saat pandemik Covid-19 juga bisa ditulis,” imbuh penulis puisi “Meninggalnya Seorang Dokter” ini.
Karena itu, pertimbangan Ary Duarsa memilih kuliah kedokteran. Profesi sebagai dokter tidak menghambat kesenian, justru menambah wawasan. Selain itu, kuliah kedokteran memang harapan orang tua. Kebetulan juga saudara-saudaranya juga banyak yang menjadi dokter. Semua puisi-puisinya berkesan karena yang ditulis merupakan refleksi dari perasaannya. “Saya merasakan sesuatu yang berkesan, kalau tak berkesan maka tak mungkin menuangkan ke dalam tulisan,” pungkasnya.
Dalam menggeluti sastra, Ary Duarsa telah menerbitkan buku ‘’Bagian Dari Dunia, Antologi Puisi tunggal (1994), Pulang Kampung, Antologi Puisi tunggal (2007), Rumah Kenangan, Kumpulan Cerita Pendek tunggal (2014), Autobiografi Kejahatan, Kumpulan Puisi tunggal (2019), Sajak-Sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia, Antologi puisi bersama (1995), Menegeria 4, Antologi puisi bersama (2000), Bali, The Morning After, Antologi puisi bersama (2000), Antologi Puisi Bali, Antologi puisi bersama (2006), Cinta Disucikan Kehidupan Dirayakan, Antologi puisi bersama (2007), Dendang Denpasar Nyiur Sanur, Antologi puisi bersama (2012), When The Days Were Raining, Antologi puisi bersama (2019) dan Blengbong, Antologi puisi bersama (2021).
Ary Duarsa tercatat sebagai peraih penghargaan Taraju Award (1994) dan Widya Pataka (2014). Kini, atas pengabdian, kegigihan dan keteguhan dr.Arya Warsaba Sthiraprana Duarsa dalam membina, melestarikan, dan mengembangkan seni sastra dan budaya Bali tanpa mengenal lelah dan putus asa, Pemerintah Provinsi Bali mengapresiasi dengan memberikan penghargaan Bali Jani Nugraha Tahun 2022, serangkaian FSBJ IV 2022. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali