“Rahim Bahari” dari Aghumi sebuah Pemaknaan Laut, Perempuan, dan Tarot Mayor The Moon
“Rahim Bahari” bukan sekedar pertunjukan seni biasa. Selain menghibur, teater ini juga mengandung makna mendalam, khususnya tentang perempuan dan laut. Alur cerita dikemas sangat manis, serta didukung para pemain yang multi telenta. Wajar, “Rahim Bahari” ditunggu-tunggu penonton khususnya pecinta seni.
Garapan karya yang disajikan oleh Komunitas Aghumi pada ajang Festival Seni Bali Jani (FSBJ) V itu tak hanya menunjukkan kelasnya, tetapi juga mampu menjadi sumber inspirasi. Bahkan, sebagai sebuah ajang reuni bagi pecinta seni, khususnya seni teater, sastra, dan seni modern bertempat di Kalangan Ayodya, Taman Budaya, Art Centerm Bali, Senin 17 Juli 2023.
Sebelum dan sesudah pergelaran, penonton khususnya generasi muda berkumpul rela menunggu berlama-lama pertunjukan dimulai, dan senang ngobrol setelah pertunjukan selesai. Dramatisasi puisi yang mengangkat tema laut ini didukung oleh sembilan penyair perempuan Bali kelahiran 1960-1990-an.
Malam itu, Aghumi mampu menyuguhkan seni modern yang keren dan berkarakter, sehingga tentu ditunggu-tunggu pecinta seni. Komunitas Aghumi berupaya memenuhi harapan itu dengan menyuguhkan karya yang menarik penuh makna. Komunitas ini, menampilkan karya bertajuk “Rahim Bahari”
Komunitas Aghumi pentaskan “Rahim Bahari” di FSBJ V/Foto: dok.balihbalihanRahim Bahari sebagai pemaknaan tempat lahirnya energi kehidupan di lautan yang subur penuh berkah. Seperti kartu tarot mayor The Moon yang memancarkan kekuatan kegelapan dan terang penyair-penyair perempuan memasuki lapisan bawah sadar jiwa, menyentuh ruang kandung yang tersembunyi, mengajak sejenak menepi menuju penyembuhan.
Ini memang merupakan momentum perdana bagi Aghumi tampil dalam ajang FSBJ, tetapi mampu menyajikan garapan seni bernilai tinggi, sehingga kesannya sungguh beda. “Konteks penyair perempuan Bali di sini dapat dibagi menjadi dua, yakni penyair perempuan yang lahir di Bali dan penyair perempuan luar Bali yang berproses kreatif di Bali,” kata Sutradara, Wulan Dewi Saraswati.
Tarot Mayor The Moon sering kali dimaknai sebagai kekuatan batin dan intuisi yang matang. Dalam terapi partisipatoris, penonton akan didorong untuk menjelajahi dan mengakui pemikiran, perasaan, dan pengalaman batin mereka sendiri. Seperti halnya The Moon, terapi ini dapat melibatkan pengakuan terhadap pengalaman batin penonton dan memungkinkan intuisi mereka untuk memandu proses penyembuhan. The Moon juga mengajukan pertanyaan kepada penonton untuk berkolaborasi dan sebagai bahan reflektif,” jelasnya.
Dalam dramatisasi ini, pendekatan terapiutik mengalir dalam setiap kata, menghubungkan jiwa dan puisi-puisi melalui mata batin penyair yang dirajut benang-benang waktu. Tarot bermakna sebagai kesenian dengan suatu sistem kartu yang memiliki arketipe dan simbol. Masing- masing simbol adalah perwujudan dari cerita dan pesan. “Kami rasa, pengungkapan cerita dan pesan dalam setiap kartu tarot itu menarik untuk diangkat sebagai sebuah pementasan dengan sentuhan terapiutik parsipatoris,” imbuhnya.
Representasi dihadirkan sebagai penghayatan terhadap momen-momen tragedi, romantis, ilusi, dan putik yang dilahirkan dari dalam laut. Rahim Bahari, sejatinya sebuah pantulan budaya perempuan pesisir yang kerap tangguh dan bersungguh hidup di antara pasir, ikan, kapal, kerang, asin, keringat, dan cerita-cerita tentang jumpa dan duka.
“Komunitas Aghumi menjadi salah satu peserta yang open call (Utsawa) bagi sanggar/komunitas di seluruh Bali. Setelah melewati sistem kurasi dan tahap prentasi, maka Aghumi berhasil menjadi salah satu penyaji,” ujarnya.
Wulan mengaku, penggarapan naskah diawali dengan kemunculan kartu tarot mayor The Moon yang mengandung elemen air, lautan, dan energi feminim. “Pada momen ini kami berdiskusi bagaimana penghayatan ini bisa sampai di benak penonton. Kami memikirkan dramaturgi kartu tarot ke dalam pentas. Bagaimana puisi, tarot, dan laut dapat melebur dalam arus yang sama? Hingga gelombangnya akan sampai dengan damai di pesisir?” paparnya.
Aghumi meyakini, pendekatan terapituik partisipatoris mampu melahirkan ruang reflektif untuk penonton atau penikmat pementasan Rahim Bahari. Masing-masing penonton akan mendapatkan kartu puisi afirmasi yang bisa jadi itu adalah pantulan dari alam bawah sadarnya yang selama ini masih dikandung dalam rahim bernama; malu, kelekatan, keraguan, keputusasaan, dan rasa bersalah.
“Kami mengupayakan kepada hadirin untuk merenungkan kesejatian diri, melahirkan pemaknaan-pemaknaan baru terhadap diri, yang mungkin bisa jadi salah satu alternatif stimulan meningkatkan self esteem, menyeimbangkan serotonin dan dopamine,” jelasnya.
Aghumi bekerja sama dengan Narwastu Autism Learning Awareness untuk membantu anak-anak autis dalam memprodusi karya seninya. Keisa dan Dharma akan tampil membacakan puisi dan bernyanyi bersama. Selain itu, garapan koreografer I Nyoman Galih Adi Negara turut memaknai puisi-puisi yang digubah menjadi lagu opera oleh Tika Puspita.
“Bagi saya, menjadi sutradara sangat terbantu berkat kerjasama tim yang baik, Westiarta sebagai asisten sutradara dan Andy Putra sebagai pimpinan produksi. Tentu saja, saya berterima kasih banyak kepada Ingga Adelia selaku manager produksi, sehingga proses garap berjalan lancar.
Sementara 9 perempuan Aghumi tampil membawakan sembilan puisi perempuan Bali. Perempuan yang luar biasa berdedikasi selama 3 bulan; Ingga, Hana, Bintang, Cherry, Yustina, Amel, Pritha, Vuri, dan Santi Dewi.
Aghumi berdiri sejak 2018, merupakan komunitas seni kreatif berbasis tarot yang berfokus pada kesehatan mental khususnya mengasah daya cipta seni anak spektum autisme. “Semoga kawan-kawan bekenan menyaksikan pementasan Rahim Bahari ini,” tutup Wulan. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali