Di Hari Raya Kuningan Umat Hindu di Bali Menerima Anugrah dan Benar-benar Menang
Salah satu jenis sesajen yang dipersembahklan oleh Umat Hindu di pintu masuk rumah/Foto: doc.balihbalihan
Di pagi hari yang cerah, wanita Bali berpakaian adat Bali melaksanakan upacara yang bertepatan dengan Hari Raya Kuningan. Ibu-ibu, anak-anak termasuk pula para pria dengan langkah damai membawa banten (sesajen) dengan wajah sumringah.
Ada yang menghaturkan sesajen di pura, merajan (pura di keluarga), jalan masuk ke rumah, sawah ataupun tegalan. Jalan desa yang asri itu, begitu damai. Pada Hari Raya Kuningan juga sebagai ajang untuk bertemu bersama keluarga, tetangga dan masyarakat desa lainnya. Saat itu, sama lainnya saling sapa.
Hari Raya Kuningan merupakan bagian dari rangkaian Hari Raya Galungan yang jatuh setiap 210 hari, sesuai kelender tradisional Bali. Hari Raya Kuningan jatuh pada setiap 10 hari setelah Hari Raya Galungan, yaitu pada Saniscara Kliwon Wuku Kuningan, Sabtu 9 Maret 2024.

Namun, sebelum Hari Raya Kuningan, umat Hindu di Bali melaksanakan upacara penampahan dengan memotong hewan untuk persembahan. Hari penampahan ini sebagai persiapan untuk melaksanakan Hari Raya Kuningan. Pada hari ini biasanya menyembelih hewan ternak dan membuat sesajen.
Umat Hindu melakukan persembahyangan dengan sesajen berisi ajengan (nasi) yang berwarna kuning. Ajengan yang berwarna kuning memiliki arti simbol kemakmuran. Hal ini diartikan sebagai bentuk terima kasih karena Sang Hyang Widhi telah melimpahkan rahmatnya untuk kemakmuran di dunia ini.
Pada saat Hari Raya Kuningan dipercaya sebagai turunnya Dewa Dewi ke jagat raya ini (dunia). Maka ada istilah “angwehaken jagat ring para manusa kabeh” yang artinya para Dewata Dewati memberikan penganugrahan kepada seluruh manusia.
Upacara Kuningan ini dilakukan setengah hari dengan mempersembahkan “ter” (berwujud panah), “endongan” dan “tamiang”.
“Ter” adalah simbol panah (senjata) karena bentuknya menyerupai panah yang menjadi senjata untuk meluruskan pikiran. Sedangkan sampian gantung sebagai perisai untuk melindungi dan membentengi diri dari bhuta kala (jahat).
“Endongan”, memiliki makna perbekalan yang berisi makanan yang dipersembahkan kepada para Dewata Dewati pulang ke alam nirwana. Namun, bekal untuk manusia sendiri sesungguhnya paling utama dalam mengarungi kehidupan adalah ilmu pengetahuan dan bhakti (jnana) dengan senjata yang paling ampuh adalah ketenangan pikiran.
“Tamiang” juga sebagai simbol penolak bala. Pada saat upacara Kuningan, masyarakat Hindu mempersembahkan dominan berwana kuning seperti nasi kuning juga tumpeng kuning sebagai lambang meru.
Nasi kuning sebagai lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen sebagai tanda terimakasih karena telah menerima anugerah dari Sang Hyang Widhi. Karena itu, pada Kuningan umat Hindu harus benar-benar menang dan memanfaatkan anugrah yang diberikan pada Hari Raya Galungan yang dirayakan sebelumnya.
Dalam Kuningan itu umat Hindu akan selalu berusaha memenangkan dharma dan mengalahkan adharma (bhuta dungulan, bhuta galungan dan bhuta amangkurat) dalam kehidupannya.
Waktu persembahyangan pada Hari Raya Kuningan, sebaiknya sebelum “tajeg surya” (tengah hari) yang ditandai sebelum jam 12.00 wita. Saat itu, energi alam semesta (panca mahabhuta : pertiwi, apah, bayu, teja, akasa) bangkit dari pagi hingga mencapai klimaksnya di “tajeg surya”.
Setelah lewat “tajeg surya” disebut merupakan kembalinya Dewa Dewi ke asalnya (alam sorga), sehingga pada masa itu energi alam semesta akan menurun.
Setelah Kuningan, umat Hindu merayakana Hari Manis Kuningan, Minggu 10 Maret 2024. Hari Manis Kuningan, umat Hindu biasanya melaksankan tirta yatra untuk pendalaman srada batkti kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pada saat Manis Kuningan, umat Hindu melaksanakan silahturahmi ke rumah saudara juga teman-temanya. Tradisi ini sebagai upaya untuk memupuk rasa persaudaraan serta saling mengenalkan generasi kepada saudara. [B/*/manana]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali