Gebogan Simbol Ketulusan Mempersembahkan Hasil Bumi Kepada Tuhan

 Gebogan Simbol Ketulusan Mempersembahkan Hasil Bumi Kepada Tuhan

Ibu-ibu PKK membuat gebongan dalam lomba antar banjar di Desa Batur Tengah Kintamani/Foto: ist

Jalan-jalan di Bali, pasti selalu menarik. Selain alam, aktivitas masyarakat yang membuat orang terpesona. Sebut saja, salah satunya aktivitas Umat Hindu dalam menjaga keseimbangan alam, untuk menciptakan kehidupan menjadi lebih harmoni, yaitu dengan menggelar upacara, persembahan tulus iklas kepada Tuhan.

Pada saat upacara keagamaan itu, umat Hindu membuat banten (sesaji), karena Umat Hindu di Bali memiliki keyakinan bahwa untuk menjaga keseimbangan alam, dapat dilakukan dengan menggelar upacara. Bali memang tak pernah sepi dari aktivitas upacara agama, sehingga dikatakan Bali sebagai “Pulau Seribu Pura”.

Prof. Dr. Drs. I Ketut Sumadi, M.Par mengatakan, upacara keagamaan yang bersumber pada Weda tersebut mengandung nilai filosofis dan nilai etika yang luhur sebagai tuntunan hidup. Di Bali, nyaris tiada hari tanpa upacara, sehingga nama Bali diplesetkan menjadi “wali” yang berarti penuh “upacara agama”.

Berbagai bentuk sesaji yang dipersembahkan dalam upacara umat Hindu di Bali itu memancarkan vibrasi kesucian dan kedamaian ke seluruh dunia. Maka, jangan heran masyarakat dunia kagum dengan berbagai persembahan sesaji, sebagai upaya menjaga Bali tetap aman dan nyaman.

Baca Juga:  12 Ogoh-ogoh Terbaik Beraksi di Kawasan Patung Catur Muka Kota Denpasar

Dalam membuat berbagai jenis bebanten persembahan itu memerlukan keterampilan seni dan tingkat kesabaran. Sebut saja, Gebogan, sebuah bentuk persembahan berupa susunan dan rangkaian buah buahan, jajanan dan bunga yang dikreasikan dengan sangat serasi.

Jenis buah dan jajanan biasanya berinovasi mengikuti perkembangan zaman, jadi apa yang makan itulah yang dipersembahkan. Banten Gebogan ini bentuknya menjulang seperti gunung, makin keatas makin mengerucut (lancip).

Bahan-bahannya yang terdiri dari berbagai macam buah-buahan dan jaja Bali (kue khas Bali) ditata sedemikian rupa, sehingga tampak indah dan memikat perhatian. Pada bagian atasnya diisi canang dan reringgitan (bentuk hiasan) terbuat dari janur yang artistic

Karena itu, untuk membuat gebogan memerlukan keterampilan tersendiri, termasuk menguasai unsur seni. Hasilnya akan beda bagi orang mampu. Mereka akan membuat banten Gebogan yang tingginya bisa mencapai satu meter. Namun, bagi yang pas-pasan biasanya membuat Gebogan hanya setinggi 30 cm sampai 50 cm.

Baca Juga:  Warung Nasi Tempong Lalah Tuban Sajikan Menu Pedas yang Khas

Kaum Wanita Bali, utamanya gadis-gadis dengan busana serasi nan ayu, akan menjunjung banten Gebogan ini menuju pura atau tempat suci. Beberapa daerah di Bali masih ada memiliki budaya mapeed (mengarak Gebogan) ke pura yang diiringi gamelan dengan tabuh yang mendayu-dayu.

Ibu-ibu PKK membuat gebongan dalam lomba antar banjar di Desa Batur Tengah Kintamani/Foto: ist

Mepeed, iring-iringan para gadis menjunjung Gebogan itu sungguh menawan dan menjadi tontonan menarik. Pada saat itu, secara tidak langsung menjadi sebuah ajang penilaian dari masing-masing warga, mana Gebogan yang indah, lengkap dan menarik. Itu, selalu menjadi perbincangan warga.

Sedangkan bagi para gadis, menjunjung Gebogan bisa menjadi kesempatan untuk memamerkan kecantikannya di depan umum. Para gadis mengenakan busana yang sangat menarik, menggunakan aksesoris yang indah, yang membuat rasa percaya diri dalam setiap langkahnya.

Penampilan para gadis itu, busana hingga sikap dan lenggang-lenggoknya menjunjung Gebogan yang tinggi. Itulah sesunguhnya cermin ketulusan hati wanita, umat Hindu, dalam mempersembahkan sesaji. Maka wajar, pada saat menjunjung Gebogan inilah kaum wanita memancarkan kecantikan sejati (inner beuty).

Baca Juga:  Semarak Parade Budaya Nusantara HUT Kota Tabanan ke-530

“Banten Gebogan sebagai simbol ketulusan mempersembahkan hasil bumi kepada Sang Hyang Widhi (Tuhan) atas segala anugerah kemakmuran yang dilimpahkan kepada umat manusia,” terang guru besar Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar ini.

Hanya saja, persembahan saat ini sedikit berbeda. Dulu banten Gebogan sepenuhnya memakai buah-buahan lokal. Namun kini, sejak kran impor buah-buahan dibuka, Gebogan pun menggunakan buah-buahan impor, seperti apel New Zailand, Sankis, Jeruk Mandarin, Anggur Eropa, dan ada yang mempersembahkan minuman kaleng.

Hal serupa juga mengalami perubahan pada bahan baku jaja Bali. Jika pada zaman dulu murni terbuat dari tepung beras Bali, kini banyak terbuat dari tepung terigu impor. “Meski bahan baku Gebogan banyak yang impor, namun semua itu tidak mengurangi makna serta hakekat Gebogan tersebut sebagai wujud rasa puji syukur,” ucapnya.

Belakangan, gebogan juga menjadi materi lomba, khususnya yang dilakukan oleh ibu-ibu PKK atau pemudi, sebagai upaya untuk melestarikan budaya menarik ini. Demikian pula pada sebuah festival sekumpulan wanita ikut memeriahkan pawai dengan menjunjung gebogan.

Baca Juga:  Anak-anak TK dan PAUD Mengarak Ogoh-ogoh dengan Penuh Ekpresi

Prof. Sumadi kemudian mengatakan, seperti yang diajarkan dalam kitab suci Weda: “Siapapun yang dengan tulus mempersembahkan padaKu daun, bunga, buah-buahan atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan hati yang suci akan Aku terima (Bhagavadgita IX.26)”.

“Karena itu, Gebogan yang dipersembahkan dalam upacara agama Hindu adalah lambang kesucian hati, ketulusan sikap mensyukuri anugerah Yang Maha Kuasa. Tak ada rasa malu, rendah diri ataupun sombong karena semua itu sebagai bentuk syukur dan tulus,” tegas Prof. Sumadi. [B/wina]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post