Film Sepi di Ujung Hari: Karya Raniya Jasmine Terinspirasi dari ‘Nai Nai & Wai Po’

Film ‘Sepi di Ujung Hari’ karya Raniya Jasmine dalam acara LATAR #1/Foto: ist
Dua wanita paruh baya, yaitu Laksmi dan Risma menjalani hidup di usia senja di sebuah panti jompo. Laksmi, merindukan perhatian anaknya dan kerap meminta untuk pulang. Sementara, Risma, sosok yang lebih rebel, dan berbanding terbalik dengan Laksmi.
Menariknya, keduanya menemukan kedekatan di tengah perbedaan mereka. Suatu hari, Risma mengajak Laksmi keluar dari panti menikmati suasana. Mereka menghabiskan waktu di pantai, berbagi cerita tentang masa lalu.
Dalam perjalanan itu, terjalin ikatan yang kuat antara keduanya. Namun, kebahagiaan mereka tak berlangsung lama. Mereka dihadapkan pada kenyataan pahit, Laksmi mengambil keputusan besar, yakni belajar untuk menerima keadaannya dan menemukan kedamaian di tengah kesepian.
Itulah kisah film berjudul “Sepi di Ujung Hari” yang ditayangkan pada acara Layar Tugas Akhir (LATAR) #1 X Sinema 21 oleh Program Studi Produksi Film dan Televisi Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Jumat, 17 Januari 2025.
Film yang disutradarai oleh Raniya Jasmine disamping menghibur juga sarat dengan pesan. Film ini seakan menyadarkan penonton, utamanya generasi muda, bahwa setiap pilihan dan tindakan yang diambil hari ini akan membentuk kehidupan yang beda di masa tua.

“Film Sepi di Ujung Hari ini sebuah perbandingan antara dua kisah hidup wanita Lanjut Usia (Lansia) yang berbeda. Laksmi, dengan latar belakang budaya Bali yang kuat, dan Risma dengan gaya hidup metropolitan, keduanya menemukan diri mereka di sebuah panti jompo,” papar Raniya.
Menurutnya, Film Sepi di Ujung Hari berangkat dari rasa penasarannya tentang kehidupan di masa tua, sebuah fase yang penuh makna namun kerap terlupakan. Dengan tema utama “masa tua” maka film ini mengeksplorasi berbagai isu universal.
Mulai dari kesepian, hubungan antar manusia, dan pencarian makna hidup di penghujung usia. “Melalui narasi, film ini menyampaikan pesan tentang pentingnya empati, keberanian untuk menerima masa lalu, dan menemukan keindahan di setiap fase kehidupan,” katanya.
Karya ini tidak hanya menjadi sebuah eksplorasi emosional, tetapi juga mengajak penonton untuk lebih memahami perjalanan manusia menuju senja. “Ini adalah tentang perjalanan menuju penerimaan dan menemukan makna baru dalam hidup kita,” lanjutnya.
Raniya meyakini, dengan membangun kemandirian dan kestabilan dalam berbagai aspek kehidupan, maka tidak hanya mempersiapkan diri menghadapi masa depan lebih baik, tetapi juga menciptakan fondasi kokoh untuk menikmati hari-hari senja dengan lebih tenang dan bermakna.
“Inspirasi saya muncul ketika menonton sebuah film dokumenter dengan judul “Nai Nai & Wai Po”. Film ini menceritakan keseharian dua orang nenek yang tinggal bersama. Saat itu saya teringat dengan mendiang Oma saya yang sudah meninggal dari saya kecil,” jelasnya.

Raniya menghabiskan masa kecilnya bersama neneknya, sehingga ia belajar banyak hal dari Omanya itu. “Saya sempat bertanya, seperti apa oma jika masih hidup, akan menjadi oma yang seperti apa jika oma tidak menikah dan tidak memiliki anak cucuk,” kenangnya.
Gagasan film ini adalah dalam kesepian dan kehilangan dapat menemukan kekuatan dan kedamaian. “Melalui hubungan Laksmi dan Risma, film ini menyoroti pentingnya persahabatan dan pengalaman bersama membantu untuk menerima kenyataan hidup yang sulit,” bebernya.
Tokoh dalam film ini begitu menjiwai yang mencerminkan dalam pemilihan pemeran melalui sebuah proses casting. Kedua ini mampu menghidupkan karakter Laksmi dan Risma. “Berkat bantuan dari kolega, saya bertemu dengan ibu Tini Wahyuni seorang seniman dari Singaraja,” paparnya.
Perkenalan pertama, ia langsung merasa yakin dengan Tini Wahyuni untuk memerankan karakter Risma. Berkat beliau, Raniya kemudian dipertemukan dengan ibu Tuti Dirgha seorang seniman dari Singaraja juga yang kemudian menjadi orang yang sangat tepat untuk memerankan Laksmi.
“Proses produksi Sepi di Ujung Hari melibatkan berbagai persiapan penting untuk mewujudkan visi kreatif film ini. Tahap ini mencakup pengembangan ide dan penulisan skrip yang mendalam, perencanaan anggaran, penjadwalan, dan pembentukan tim produksi,” beber Raniya.
Lokasi syuting, memilih Panti Werdha untuk mendukung suasana cerita. Demikian pula, desain produksi, story board, peralatan kamera, pencahayaan, dan suara disiapkan dengan detail untuk bisa merealisasikan visi film ini. Proses shooting dilakukan selama 4 hari.
Lokasi lainnya adalah jalan raya Nusa Dua Selatan, Pantai Mertasari, dan supermarket Lotte Mart. Film ini didukung Production House Clarity Picture dan Satu Frekuensi. Films, Gusti Krisna dipercayai sebagai Produser.
Lalu Director of Photography oleh Bintang Sinaga, Production Designer oleh Bagus Dharma Putra dan Sound Designer dipercayakan kepada Aditya Zaqy Wirawan. [B/Dharma]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali