“Rush to Paradise”: Menuju Surga Kehancuran?
“Rush to Paradise” karya pematung I Ketut Putrayasa/Foto: ist
Salah satu karya yang menyita perhatian saya pada pameran seni rupa bertajuk “Liana Riverie: Vivid Colours” adalah “Rush to Paradise” karya pematung I Ketut Putrayasa. Karya nyeleneh tersebut dipajang bersama karya para perupa lainnya sejak 8 November 2025 hingga 20 Januari 2026 di Labyrinth Art Gallery Nuanu Creative City, Tabanan, Bali.
“Rush to Paradise” (Wood and Stainless Steels, 196 x 61 cm, 2025) adalah satu-satunya karya patung dalam pameran bersama yang kebanyakan menampilkan lukisan berwarna cerah dan memikat mata tersebut. Patung atau pajangan kayu itu berbentuk mobil balap Formula 1, atau lebih tepatnya menyerupai Ferrari F2012. Moncong “mobil” itu dilapisi logam dan pada beberapa bagian bodinya ditumbuhi paku-paku baja runcing. Apa yang ingin disampaikan Putrayasa lewat karyanya ini?
Selama ini, Putrayasa dikenal sebagai pematung yang kerap menyampaikan kritik lewat karya-karyanya. Seniman ini lahir di Tibubeneng, Kuta Utara, Badung, Bali, 15 Mei 1981. Ia lulusan Program Pascasarjana Penciptaan Seni di Institut Seni Indonesia (ISI)-Bali. Ia telah banyak membuat patung dan seni instalasi bernada satir. Di antaranya adalah The Giant Octopus (2019), Pandora Paradise (2020), Ubud is Winter – 10 Degree Celcius (2021), The Golden Toilet in Winter (2022), The Last Stronghold (2022), Proyek Mengeringkan Air (2023), Warring Images (2023), Selilit (2025), Vanitas (2025), Oryzamorgana (2025), The Octopus Queen (2025). Karya-karya patungnya juga terpajang di beberapa lokasi di Bali, Jakarta, Singapura, Belgia, Perancis, Turkey.
Dalam pameran bersama kali ini, Putrayasa menyampaikan kritik lewat karya “Rush to Paradise”. Karya itu sendiri menyuguhkan paradoks antara bentuk, material, dan makna. Ferrari adalah ikon kemewahan, kecepatan, dan kemajuan teknologi modern. Namun, dalam konteks karya itu, Ferrari terbuat dari potongan kayu yang kasar, penuh serat, bertekstur alami. Kontras antara bahan, bentuk, dan detail itulah yang menjadi inti pesan karya tersebut. Dengan kata lain, karya itu adalah kritik terhadap modernitas yang menghancurkan alam.
Material kayu dan baja tahan karat yang digunakan Putrayasa untuk membuat patungnya adalah simbol dari dua kekuatan yang bertentangan. Meski bertentangan, dua kekuatan itu seharusnya bisa saling melengkapi, yakni kekuatan maskulin dan feminim. “Rush to Paradise” menjadi metafora dari dua kekuatan itu, yakni potensi menyatunya energi maskulin dan feminin. Namun, jika salah satu kekuatan mendominasi, maka keseimbangan terganggu, kehancuran bisa terjadi.
Pada “Rush to Paradise”, kayu mewakili alam, kehidupan, kelembutan, dan kesinambungan ekologis. Ia adalah material yang “hidup,” memiliki aroma, tekstur, dan warna yang selalu berubah. Dalam konteks budaya Bali, kayu juga sarat makna spiritual, digunakan dalam upacara, arsitektur tradisional, dan seni ukir yang menyimbolkan hubungan harmonis manusia dengan alam semesta. Sebaliknya, stainless steels atau baja tahan karat yang menjadi aksen pada beberapa bagian tubuh mobil menampilkan citra modernitas: keras, mengilap, dan tahan lama. Dalam konteks karya itu, logam dan paku-paku baja runcing yang menembus kayu adalah simbol dominasi dari hasrat manusia untuk menguasai alam.
Bagi banyak orang, Ferrari adalah lambang kemajuan teknologi otomotif. Ferrari dikenal sebagai mobil yang cepat, efisien, elegan, dan maskulin. Karena itu, menjadi ironis ketika bentuk mobil super mewah ini dibuat dari kayu. Material kayu yang tadinya merupakan bagian dari pohon yang hidup kini berubah menjadi sebuah mobil, benda yang sering dikaitkan dengan pemborosan energi dan kerusakan lingkungan. Mobil yang sering menyebabkan polusi udara alias “merusak alam” justru dibuat dari materi alam yang sudah mati (kayu).
“Rush to Paradise” tidak hanya membahas tentang kemajuan teknologi, tetapi juga ironi di baliknya. Karya tersebut menggambarkan bahwa modernitas sering memakai simbol alam untuk menegaskan kekuasaan alih-alih menghormati. Kayu (alam) hanya menjadi hiasan bagi ambisi manusia yang merasa dirinya modern. Kita lihat bentuk mobil balap itu memukau, tetapi menyimpan paradoks tragis. Dengan kata lain, karya itu ingin mengatakan bahwa peradaban melaju cepat menuju “surga” kehancuran.
Melalui judul Rush to Paradise, Putrayasa memberikan tafsir ganda. “Rush” berarti bergegas, tergesa-gesa, terburu untuk mencapai tujuan. Namun “paradise” di sini bukanlah surga yang murni dan damai, melainkan surga yang dijanjikan oleh industri dan kapitalisme global. Sebuah “surga turistik” atau “surga modernitas” yang dibangun di atas eksploitasi alam dan budaya lokal, seperti yang terjadi di Bali. Pulau yang dahulu dikenal karena konsep harmonis antara manusia, alam, dan spiritualitas, kini dipacu menjadi destinasi wisata internasional yang mengedepankan citra kemewahan dan modernitas.
Dalam konteks ini, Ferrari menjadi simbol “mesin kolonial” baru yang melaju di atas jalan globalisasi. Ia menabrak batas-batas tradisi, menggusur nilai-nilai lokal, dan menggantinya dengan citra kemajuan yang semu. Kecepatan mobil ini melambangkan percepatan pembangunan, pariwisata, dan konsumerisme. Proses yang seolah tak terhindarkan, tetapi diam-diam menelan alam dan spiritualitas Bali itu sendiri. “Rush to Paradise” menjadi sindiran tajam bahwa di balik janji “surga modernitas” terdapat kehancuran alam dan budaya yang tak terelakkan.
Jika diperhatikan dengan cermat, permukaan patung kayu Ferrari itu tidak halus. Ia dibiarkan kasar, penuh torehan, berserat, dan bahkan goresan tajam yang menggambarkan penderitaan materialnya. Paku-paku baja runcing yang mencuat dari kayu tampak seperti duri atau ranjau yang bisa dibaca sebagai simbol atas jebakan modernitas yang rakus mengeksploitasi alam. Elemen-elemen itu menguatkan kesan kekerasan modernitas dan penderitaan alam.
Dalam konteks yang lebih luas, patung “Rush to Paradise” bisa dibaca sebagai tubuh alam yang dikorbankan. Mobil Ferrari menjadi simbol modernitas yang melesat menembus jantung alam. Setiap paku runcing yang mencuat dari kayu adalah representasi dari proyek pembangunan yang menghancurkan alam. Lihatlah betapa banyak hotel, villa, resort yang berdiri di atas tanah sawah di Bali. Betapa banyak hutan-hutan di Indonesia digunduli atas nama pembangunan.
Dalam filosofi Bali, keseimbangan antara manusia, alam, dan dunia spiritual dikenal melalui konsep Tri Hita Karana. Namun, “Rush to Paradise” menggambarkan ketimpangan yang semakin menganga. Energi maskulin yang agresif (diwakili oleh logam) terlalu mendominasi energi feminin yang lembut (diwakili oleh kayu) sehingga terjadi ketidakseimbangan di berbagai lini kehidupan. Dengan kata lain, alam tidak lagi dipandang sebagai ibu, melainkan “sumber daya” yang terus menerus dieksploitasi oleh manusia-manusia rakus dan serakah. Manusia telah mendurhakai alam. Dan, alam yang sabar pun menjadi murka dan mengamuk sehingga terjadi bencana di mana-mana.
Ferrari kayu itu menjadi simbol dunia yang kehilangan arah. Ia melaju tergesa tanpa menyadari bahwa bahan bakarnya berasal dari alam. Ia melaju menuju “paradise”, surga modernitas yang dibangun dari puing-puing alam yang telah hancur. Karya itu juga mengingatkan bahwa kemajuan sejati bukanlah tentang seberapa cepat kita bergerak, tetapi seberapa dalam kita memahami arah gerak kita.
Dari sisi visual, “Rush to Paradise” berhasil menghadirkan komposisi yang kuat melalui kontras material dan tekstur. Perpaduan kayu yang organik dengan logam yang industrial menciptakan ketegangan visual yang sekaligus menggoda dan mengganggu. Garis-garis tajam, lekukan tubuh mobil, dan tonjolan paku-paku runcing membentuk irama visual yang dinamis, seolah-olah mobil ini siap melesat menuju surga yang diidamkan. Namun di saat yang sama, bobot kayu dan luka-luka pada permukaan kayu menahannya untuk bergerak. Mobil ini tidak pernah benar-benar bisa melaju cepat. Ia dimatikan dalam paradoksnya sendiri.
Selain kritik ekologis, “Rush to Paradise” mengandung renungan yang dalam. Ia mengajak kita untuk memikirkan kembali hubungan antara penciptaan dan penghancuran. Dalam hal ini, “Rush to Paradise” tidak hanya menyampaikan kritik, tetapi juga ajakan untuk rekonsiliasi, untuk mengembalikan harmoni antara kekuatan penciptaan (alam) dan kekuatan transformasi (teknologi). Sebab peradaban yang mengabaikan penghormatan pada alam adalah peradaban yang menghancurkan dirinya sendiri. [B]
Penulis: Wayan Jengki Sunarta, sastrawan dan penyuka seni rupa.

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali