East West European Jazz Orchestra dan Dian Pratiwi, Mengguncang Jiwa di Sthala UVJF 2025
KETIKA musik jazz itu dimainkan, semua yang hadir tampak larut dalam nada. Beberapa diantara mereka terbangun bergerak menikmati setiap lagu. Malam itu, Sthala Ubud Village Jazz Festival 2025 benar-benar menyala. Energi big band serasa mengguncang jiwa.
Itulah penampilan East West European Jazz Orchestra (EWEJO) di panggung Giri, Jumat 1 Agustus 2025. Barisan tiup ini menembakkan swing seakan membawa penonton ke Harlem tahun 40-an. Lalu, tiba-tiba membelok ke Balkan, membiarkan ritme-ritme rakyat Eropa Timur menari di telinga.
Di antara dentuman brass dan groove yang tak memberi jeda untuk bernapas panjang, satu sosok melangkah ke depan, membawa sesuatu yang lebih dari sekadar mikrofon: Dian Pratiwi, diva jazz yang membawa separuh dunia di dalam suaranya.
Jakarta, Jerman, Latin, soul—semuanya bercampur dalam satu nafas, satu senyum, satu panggilan: “Come on, let’s dance!”
Seperti ada saklar yang diputar. Penonton yang tadinya masih duduk rapi, sibuk dengan gelas minuman atau kamera ponsel, pelan-pelan bergerak. Lalu satu, dua, tiga orang maju ke depan panggung.
Dian bukan hanya bernyanyi, dia seperti membuka pintu rahasia jazz: pintu yang bilang, “Musik ini milik kita semua, tak ada batasan panggung dan kursi.” Giri Stage pun berubah jadi dansa massal. EWEJO di belakangnya meledak dalam harmoni: swing berputar, funk menampar, soul merangkul.

Usai pertunjukan, saya menemui Dian di Sungai Restaurant, tempat ia tengah duduk beristirahat, masih dengan sisa energi pertunjukan yang menempel di wajahnya. Sambil menyesap air mineral dan tersenyum hangat, ia mulai bercerita.
“Saya sudah lama main dengan mereka,” katanya. “Dua puluh tahun di Jerman, bernyanyi di sana terus. Beberapa pemain ini dulu malah murid saya di Jazz Academy Dortmund. Jadi chemistry-nya sudah nggak perlu dicari-cari lagi.”
Tentang bagaimana ia membangun koneksi dengan penonton, Dian berkata, “Itu selalu soal suasana. Kalau situasinya rileks, gampang banget untuk melibatkan penonton. Di UVJF ini, penonton sudah tahu aku bakal ngajak mereka untuk berdansa.
Rasanya seperti pulang ke rumah. Tapi kuncinya ada dua: percaya diri, dan happy dulu. Kalau kita takut salah, show-nya pasti kaku. Jazz itu kan freedom of expression, dan yang bebas itu biasanya yang berani bahagia.”
Percakapan kami berlanjut, bergulir seperti improvisasi jazz itu sendiri. “Nyanyi itu bukan baca berita,” katanya sambil tertawa kecil. “Harus hidup di lagu itu. Kalau nyanyi ballad, orang ikut bernyanyi karena mereka ngerti ceritanya. Kalau happy, kasih keluar happy-nya.
Kalau pernah heartbroken, bawa rasa itu. Musik itu obat, tapi obatnya nggak bisa dicetak massal, harus dibuat dari pengalaman kita sendiri. Dan kalau belum pernah patah hati, ya bayangkan patah hati. Feeling blues itu nggak bisa dibohongi.”
Malam itu EWEJO dan Dian Pratiwi memberi lebih dari sekadar musik: mereka mengingatkan bahwa jazz bukan menara gading untuk segelintir pecinta musik serius.
Jazz adalah cerita, emosi, dan tubuh yang ikut bergerak karena tak kuasa diam. Jazz adalah kebebasan yang berbagi ruang. Di Sthala UVJF 2025, jazz bahkan terasa seperti undangan dansa—undangan yang tak seorang pun ingin tolak. [Pranita]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali