‘Hyang Ratih: Ode untuk Bulan, Perempuan, dan Semesta’ Meriahkan Festival Musik Indonesia 2025

 ‘Hyang Ratih: Ode untuk Bulan, Perempuan, dan Semesta’ Meriahkan Festival Musik Indonesia 2025

Komunitas Seni Bumi Bajra siapkan ‘Hyang Ratih’ untuk Festival Musik Indonesia 2025/Foto: ist

KOREOGRAFER mempuni Bali, Ida Ayu Wayan Arya Satyani kembali berkolaborasi dengan Dodid Wijanarko, sutradara dan periset film ternama. Kolaborasi kali ini menampilkan pertunjukan “Hyang Ratih: Ode untuk Bulan, Perempuan, dan Semesta”.

Hyang Ratih: Ode untuk Bulan, Perempuan, dan Semesta dari Komunitas Seni Bumi Bajra, Bali, menjadi salah satu penampil terpilih dalam Festival Musik Indonesia 2025 yang berlangsung di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 14 November 2025, pukul 16.00 WIB.

Berakar pada seni tari klasik Bali, Hyang Ratih dikemas dalam pertunjukan teater musikal yang kental dengan unsur kontemporer, namun tidak kehilangan cita rasa tradisi.

Kekhasan ini tak hanya dimunculkan dari kisah yang diangkat, tetapi juga lewat lagu yang dilantunkan, iringan musik, dan gerak tari.

Baca Juga:  PKB XLVII Angkat Tema 'Jagat Kerthi': Ajakan Merawat Alam dan Budaya

Hyang Ratih merupakan salah satu kisah mitologi dalam budaya Bali yang menceritakan tentang Dewi Bulan (Ratih) yang hendak ditelan oleh raksasa bernama Kala Rau. Kisah ini dipercaya sebagai asal mula proses gerhana bulan terjadi.

Di sisi lain, sebagian masyarakat Bali juga mempercayai, ada seorang dadong (nenek) di bulan yang sedang ngantih (memintal) jantra.

“Bagi kami, jantra adalah simbol pemintal kehidupan. Dua mitologi inilah yang kemudian dipadukan dalam pertunjukan Hyang Ratih, yang kali ini menampilkan para perempuan,” kata Direktur Kreatif Komunitas Seni Bumi Bajra, Ida Ayu Wayan Arya Satyani.

Karena setiap perempuan adalah Hyang Ratih. Berdasarkan filosofi Bali, bulan adalah Hyang Ratih, yang adalah perempuan, dan menjadi simbol cahaya pengetahuan yang menyejukkan. Mereka, perempuan, adalah cahaya kehidupan bagi setiap generasi,” terangnya.

Baca Juga:  Pesta Kesenian Bali ke-47: Libatkan 20 Ribu Seniman, Digelar 21 Juni hingga 19 Juli 2025

Wanita yang akrab disapa Dayu Ani mengatakan, dalam filosofi budaya Bali, bulan dianalogikan sebagai simbol feminin, merepresentasikan keindahan dan kebijaksanaan.

Fase bulan dalam sistem pengetahuan masyarakat adat Bali menjadi dasar pengetahuan ekologis untuk merawat keselarasan dan keharmonisan hidup dengan alam yang, antara lain, ditandai dengan upacara purnama (bulan penuh) dan tilem (bulan mati).

Sementara lagu-lagu tradisi Bali yang mengangkat mitos tentang bulan, juga kerap berkaitan dengan perempuan dan siklus alam. Salah satunya lagu dolanan anak Penyu Metaluh (Penyu Bertelur) pada masa bulan mekalangan (bulan benderang).

Permainan anak di wilayah pesisir Bali ini menceritakan tentang nelayan yang berusaha mencuri telur penyu dan penyu yang berusaha menjaga telur-telurnya.

Baca Juga:  Menonton PKB, Wajib Bawa Hasil Rapid Tes Antigen Negatif

Adegan pembuka dalam pertunjukan Hyang Ratih ini sekaligus mengantar kisah tentang penyu yang kini masuk dalam kategori terancam punah, tapi sesungguhnya dalam filosofi Bali, penyu dipercaya sebagai penjaga keseimbangan alam.

Perjalanan berkelana dari mitos ke mitos ini kemudian digarap secara apik oleh I Putu Aditya Guna Eka Putra (Aditya) dan Ida Bagus Putu Radithya Mahijasena (Sena) sebagai koreografer; serta Ida Made Adnya Gentorang dan I Made Manipuspaka sebagai komposer musik pertunjukan “Hyang Ratih: Ode untuk Bulan, Perempuan, dan Semesta” itu.

Dalam sajiannya dipadu dengan proyeksi visual artistik, sehingga Hyang Ratih dapat membangun atmosfer spiritual khas Bali dengan sentuhan modern yang bisa dinikmati lintas generasi.

Pertunjukan ini menjadi kali kedua bagi Dayu Ani berkolaborasi karya bersama Dodid Wijanarko, produser dan penggagas pertunjukan Hyang Ratih.

Baca Juga:  Sanur Village Festival 2025, Dimeriahkan Bali Rok n’ Blus Festival

“Bumi Bajra merupakan salah satu komunitas seni asal Bali yang setia berjalan di jalur seni tradisi klasik, menghidupkan kembali gerak tari klasik yang khas maupun kisah-kisah pewayangan dan mitologi Bali,” ucap Dodid.

“Hadir dalam Festival Musik Indonesia 2025 ini bisa menjadi cara untuk tidak hanya menggaungkan kekayaan seni dan tradisi Bali, tetapi juga memperlihatkan pada publik luas bahwa dunia teater musikal—yang selama ini kerap dianggap datang dari Barat—sebenarnya telah mengakar dalam tradisi Indonesia,” tutur Dodid.

Dayu Ani kembali menambahkan, keterkaitan antara bulan, perempuan, dan pengetahuan ekologis yang berangkat dari kisah mitologi Bali ini sejatinya kian menggaungkan pesan universal tentang membangun keselarasan hidup dengan alam.

“Mitos adalah jendela pengetahuan pertama sebelum menjadi sains. Mitos menjadi cara manusia mengagumi semesta dan belajar menguak semesta, yang menjadi dasar dalam proses pencarian, riset, dan verifikasi, hingga menjadi sebuah pengetahuan,” pungkas Dayu Ani.

Baca Juga:  Penggak Men Mersi dan Parasara

Komunitas Seni Bumi Bajra

Komunitas Seni Bumi Bajra didirikan oleh Ida Wayan Oka Granoka sebagai ruang seni berbasis di Batubulan, Gianyar, Bali. Komunitas seni ini berfokus pada regenerasi, spiritualitas, dan kebersamaan lintas generasi.

Melalui program pendidikan, penciptaan koreografi, serta dokumentasi gerak, komunitas ini telah melahirkan banyak karya yang tampil di tingkat lokal hingga internasional.

Bumi Bajra juga terlibat dalam film Sekala Niskala (Kamila Andini) dan Samsara (Garin Nugroho), menunjukkan konsistensinya dalam mempertemukan tradisi dan eksperimentasi. [B/rls]

Related post