Lestarikan Drama Gong, Alumni Kokar 87/91 Pentaskan “Tresna Kepandung”
Di tengah lesunya aktivitas berkesenian di masa pandemi, tiba-tiba pecinta seni budaya Bali dikejutkan dengan munculnya Sekaa Drama Gong pendatang baru. Nama sekaa dan para pendukungnya memang tergolong anyar, tetapi mereka sesungguhnya pelaku seni yang sudah biasa memainkan musik gamelan atau melantunkan tembang-tembang klasik. Drama Gong itu disajikan oleh alumni Konservatori Karawitan Indonesia (Kokar) Bali, jurusan Karawitan angkatan 1987/1991. Saat tampil kali pertama di Desa Antap Tabanan beberapa waktu lalu, sekaa drama ini mengangkat judul “Tresna Kepandung”
Mereka tampil sungguh meminikat. Masing-masing pemaian tampak piawai memasukan unsur-unsur baru yang tengah berkembang di masyarakat, baik dari segi pembabakan, lawakan, dan iringannya. Namun, pakem drama gong masih kental, sehingga penampilan mereka mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Saat itu, Alumni Kokar ini didukung oleh Komunitas Semeton Sengguan Bitera dan Semeton Pregina Banjar Adat Antap Tabanan, sehingga penampilannya menjadi lebih manis. “Kami hanya melakukan beberapa kali latihan saja, dan syukur bisa pentas,” kata Koordinator I Ketut Lanus, S.Sn.,M.Pd.
Ide cerita dan sutradara diperyacakan kepada I Nyoman Sunarta S.Sn dan I Made Widnyana S.Sn sebagai pembina tabuh. Sebagai pernanggung jawab keseluruhan pementasan oleh Bendesa Adat Antap, I Made Budi Astawa. Meski sebagai pendatang baru serta dengan persiapan yang tergolong minim, namun penggelut seni karawitan ini mampu menyajikan seni yang mengutamakan acting dan vokal itu dengan baik. Mereka tampil layaknya seorang pemain drama gong yang sudah berpengalaman, atraktif dan komunikatif.
Mungkin karena sudah biasa tampil diatas panggung dalam pertunjukan seni yang lain, namun masing-masing pemain mampu berdialog, acting, gerak dan mengolah komposisi dengan sempurna diatas panggung. Lelucon, lebih hidup karena masing-masing pemain memiliki bakat. Mereka lihai dalam menggali lelucon, saling lempar bahan lalu dikupas bersama-sama. Suasana diolah begitu kuat, mendukung kuat penjiwaaan, sehingga penonton seakan hanyut dibuatnya.
Raja Buduh diperankan oleh I Nyoman Sunarta S.Sn yang memang biasa tampil sebagai punakawan dalam seni drama gong. Ia juga biasa tampil dalam pertunjukan Dramatari Arja yang memerankan wijil (punakawan), sehingga penampilannya mampu menghidupkan suasana pentas. Apalagi, ia tampil berpasangan dengan I Wayan Sudira dan I Nyoman Sentana Arnawa (Kubu) yang berperan sebagai parekan (punakawan) Raja Buduh, suasana dalam setiap adegannya menjadi lebih hidup. Maklum, mereka memang sering megegonjakan di dalam keseharian, walau itu melalui WA grup, sehingga hal itu menjadi kebiasaan.
Raja Muda diperankan oleh Anak Agung Bagus dengan dua parekan yaitu Kadek Suarsana S.Sos dan I Nyoman Gede Tri Suparja. Ketiga tokoh ini memang kalem, kata-katanya halus, seperti kebiasaan mereka sehari-hari. Tokoh Putri diperankan Sang Ayu Tirta Wati merupakan pemain bintang. Tokoh putri halus ini memang sengaja diperankan oleh bintang, untuk memberikan kesan wayah dalam pertunjukan. Dalam penampilannya peran Putri bersama seorang dayang yang diperankan Ni Ketut Cita. Tokoh Liku diperankan oleh Anak Agung Mangku Segara Wana, Patih Anom oleh Ir. I Putu Rai Suta, Patih Agung oleh Jro Kadek Megantara dan Raja Tua diperankan oleh I Nyoman Wisnawa yang tak kalah aksinya.
Ketut Lanus mengatakan, dulu, drama gong menjadi primadona. Perkembangannya begitu dahsyat sejak kelahirannya karena disambut baik oleh masyarakat umum. Kalau secara pesan, melalui pertunjukan drama gong ini sangat mudah dipahami karena menggunakan bahasa yang hampir pendekatan keseharian. Walau demikian, sor singgih tetap berlaku pada situasi adegan yang berlangsung. “Pesan-pesan sosial yang berlangsung mengakomodir situasi berlangsung bisa masuk tanpa melebar jauh dari tema dan tatanan drama itu sendiri,” ucap pemilik youtobe chanel seni ini.
Drama gong sejak dulu hingga bentuk terkini, memang mengalami perubahan sesuai perkengangan jaman dan kebutuhan. Penyesuaian disetiap penampilannya memang selalu ada. Tetapi, sekaa drama gong Alumni Kokar 87/91 ini tetap berkaca pada tatanan Drama Gong sebelumnya. “Maklum semua pemerannya baru mengawali. Disamping untuk mengisi waktu kosong, aktivitas ini juga sebagai bentuk reuni yang kegiatannya tetap ada faedah bahwa kita sebagai orang berlatar belakang seni. Maka, tercetuslah dari sahabat Nyoman Wisnawa untuk membuat drama gong,” beber Pemilik Cahya Art ini.
Kebetulan, dalam waktu dekat ada ritual piodalan di Banjar Antap Tabanan, sehingga bagai pepatah “bak gayung bersambut”. Bendesa adat dan masyarakat menyambut ide ini, lalu disambut penata tabuh I Made Widnyana dari Bitera dan menyediakan tempat latihan di rumahnya. “Kami a kekurangan personal penabuh saat itu, sehingga dibantu oleh teman-teman Desa Bitera. Sementara pemantapan latihan kita lakukan di Sanggar Alit Sundari Batuyang milik Nyoman Sunarta,” lanjutnya.
Alumni Kokar 87/91 memang sangat sepakat untuk megisi kegiatan reuni dengan hal-hal yang bermanfaat yang bisa diteruskan kepada pelesetarian seni itu sendiri. Walau demikian, tetap harus menyesuaikan agar tidak terlalu banyak mengganggu waktu teman teman yang rata-rata harus bertanggung jawab kepada keluarganya. “Kami berharap drama ini terus bisa hidup di masyarakat,.bisa dikembangkan tanpa harus tercerabut dari tradisi yang sudah mengakar. Sebab identitas drama gong harus terus terjaga untuk membedakan identitas dari banyaknya ragam kesenian Bali,” harap Lanus. [B*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali