Jangan Hilangkan Taksu Kesenian Sakral
Belakangan ini, banyak kesenian sakral di Bali yang dipentaskan untuk tujuan di luar ritual keagamaan. Artinya, kesenian sakral itu dipentaskan bukan sebagai bagian dari upacara, melainkan untuk hiburan, profan, bahkan dipentaskan untuk sebuah award, mencari penghargaan, menyambut tamu yang bukan kepentingan sakralisasi. “Pementasan kesenian sakral yang tidak pada konteksnya akan dapat menghilangkan taksunya,” kata Budayawan Bali Prof Dr I Made Bandem, MA saat menjadi narasumber pada Pasamuhan Agung Kebudayaan Bali 2022 di Gedung Ksirarnawa Taman Budaya Provinsi Bali, Minggu 27 November lalu.
Padahal, tarian sakral (Tari Wali) itu selalu dilaksanakan dalam kaitannya dengan upacara agama. Menarikan tarian sakral itulah sebagai media persembahan dan pemujaan terhadap Tuhan. Untuk menghindari pengertian yang baur tentang seni tari, maka dibuatlah rumusan klasifikasi tarian ke dalam tiga golongan, yakni Tari Bali atau Wali sebuah tari yang pementasannya dilakukan sejalan dengan pelaksanaan upacara, Tari Bebali yang pementasannya menunjang jalannya upacara atau sarana pengiring upacara dan Tari Balih-Balihan yang hanya berfungsi hiburan dan tontonan.
Prof Bandem lalu menjelaskan, isu desakralisasi menjadi tema sentral dalam Pasamuhan Agung Kebudayaan Bali Tahun 2022 sebagai usaha untuk mengklasifikasikan kesenian Bali yang sudah dilakukan sebelumnya. Kesenian sakral berada pada ranah seni wali dan bebali. Karena itu, kesenian wali dan bebali sebagai seni sakral harus dipertahankan eksistensinya. “Perlu dicermati juga, kedua jenis seni sakral tersebut, juga sebagai inspirasi dalam penciptaan seni balih-balihan di Bali,” ungkap budayawan yang pernah menjabat sebagai Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (ISI Denpasart sekarang) ini.
Padahal, tiga seni sakral Bali seperti Tari Rejang, Tari Sanghyang, dan Tari Baris Gede telah dikukuhkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia, sehingga kelestariannya patut dijaga. Sangat disayangkan, dari ketiga kesenian itu Tari Rejang yang kerap terdengar dipentaskan menjadi tarian profan untuk kepentingan di luar ritual. Banyak, orang yang menciptakan Rejang baru, dan banyak sekali dipentaskan di luar konteks keagamaan. “Penciptaan baru juga mungkin tidak melewati proses sakralisasi. Padahal, proses itu penting kalau mau dipentaskan di pura nanti,” ungkap mantan Rektor ISI Yogyakarta ini.
Menurut Prof Bandem ada sekitar 52 Tari Rejang di Bali yang sejatinya memiliki fungsi sebagai tarian penyambutan Bhatara-Bhatari pada ritual keagamaan Hindu di Bali. Karena itu, Tari Rejang umumnya ditarikan oleh perempuan. Belakangan kemudian muncul tari rejang dilakukan oleh penari laki-laki. Hal itu, tak menjadi soal, yang penting konteksnya tetap pada saat ritual keagamaan. Bukan sebagai lelucon, seperti yang belakangan beredar secara viral di media sosial. “Terus terang, saya kurang setuju menari rejang sebagi lelucon, dan itu harus dihapus,” tegas budayawan asal Gianyar ini serius.
Menurut Prof Bandem, penghapusan ribuan video-video terkait pelecehan kesenian Bali sudah pernah dilakukan bekerjasama dengan ITB Stikom Bali. Karena itu, penting Dinas Kebudayaan (Disbud) Provinsi Bali kembali melakukan peretasan terhadap video-video serupa yang satu persatu kembali bermunculan. “Saya rasa peretasan terhadap video-video pelecehan terhadap kesenian Bali kembali dilakukan, sehingga tidak berkembang liar,” ungkapnya.
Sehari sebelumnya, ketika Gubernur Bali Wayan Koster yang memberi sambutan saat membuka Pasamuhan Agung Kebudayaan Bali Tahun 2022 itu sempat meminta masyarakat agar tidak mementaskan Tari Rejang sebagai tari penyambutan tamu dalam berbagai acara. Itu karena, Tari Rejang bersifat sakral dan tidak elok dipentaskan di luar konteks upacara keagamaan. “Sakral ya sakral, jangan diobral. Tari Rejang termasuk tari yang sakral, jadi jaga tari itu,” ungapnya. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali