Umat Hindu Merayakan Hari Saraswati untuk Memuliakan Ilmu Pengetahuan

 Umat Hindu Merayakan Hari Saraswati untuk Memuliakan Ilmu Pengetahuan

Umat Hindu di Indonesia merayakan Hari Raya Saraswati pada Saniscara Umanis wuku Watugunung, Sabtu 26 Maret 2022. Saraswati merupakan hari raya sebagai bentuk pemuliaan ilmu pengetahuan yang jatuh setiap 6 bulan atau setiap 210 hari sekali pada kalender Bali. Pada hari Raya Saraswati, masyarakat Hindu melakukan persembahayangan di rumahnya masing-masing. Sementara siswa dan mahasiswa melakukan persembahyangan di sekolah di pagi hari.

Guru Besar Bahasa Sansekerta IHN I Gusti Bagus Sugriwa, Prof. Dr. I Made Surada, MA, mengatakan, Saraswati sesungguhnya hari raya yang sangat penting karena dikaitkan dengan ilmu pengetahuan. “Saraswati juga hari raya yang berbeda dengan rerahinan Hindu lainnya, karena Saraswati itu juga sebagai nama Ista Dewata, yaitu ada namanya Dewi Saraswati. Perayan Saraswati dikaitkan dengan ilmu pengetahuan sebagai mementum memuliakan ilmu pengetahuan, bukan turunnya pengetahuan.

Umat Hindu di Indonesia sangat meyakini ilmu pengetahuan itu adalah segala-galanya, sehingga pengetahuan sangat penting sekali bagi kehidupan manusia. “Dalam hidup, pengehuan adalah sesuatu kekayaan yang abadi yang dapat dimiliki oleh pemiliknya sampai ke liang kubur. Pengetahuan tidak akan habis-habisnya, semakin banyak diberikan kepada orang, maka semakin berkembang ilmu pengetahuan itu,” katanya.

Pengetahuan itu sebagai senjata untuk hidup. Manusia yang tidak memiliki ilmu pengetahuan, bisa dibayangkan berbagai kesulitannya dalam menjalani hidup. Inilah yang menyebabkan umat Hindu itu memuliakan pengetahuan dalam perayaan Hari Saraswati tersebut. Jadi pengetahuan dapat mempermulia manusia itu. Orang yang berpengetahuan mendapat kedudukan yang berbeda dengan yang tidak berpengtahuan. Semakin banyak dan semakin tinggi pengetahuannya, maka kedudukan orang tersebut semakin mulia.

Dalam Nitisastra banyak disebutkan, seperti “Norana mitra mangelumhane nara guna maruhur” yang artinya, tidak ada sahabat yang lebih utama dari bersahabat dengan ilmu pengetahuan yang luhur (waraguna), atau tidak ada sahabat yang paling dekat, paling setia kecuali ilmu pengetahuan. Inilah makna dari perayaan Saraswati itu. Saraswati kemudian dirayakan sebagai simbol memberikan sesuatu yang menarik, sesuatu yang mengalir merupakan kemuliaan dari Saraswati itu.

Momentum pemuliaan pengetahuan itu dirayakan setiap 210 hari atau 6 bulan sekali yang dikaitkan dengan wuku yang berjumlah 30 wuku. Perputaran wuku dalam 210 hari itu dimulai dari Sinta hingga Watugunung. Sementara wuku yang dekat dengan Saraswati itu adalah Watugunung dan merupakan wuku yang terakhir. Maka itu, perayaan Saraswati di Indonesia itu berbeda dengan di India, karena dikuatkan dengan teologi lokal nusantara, yaitu wuku dan wawaran. “Inilah yang menyebabkan perayaan Saraswati di Indonesia cukup unik karena sesuai dengan lokal genius yang ada di nusantara,” ucapnya.

Baca Juga:  BASCOMM Kupas Kekuatan Digital: Cara Mempertahankan Eksistensi Industri Pariwisata di Online

Hari Saraswati

Perayaan Saraswati juga disesuaikan dengan ajaran Agama Hindu di Indonesia yang dituangkan menjadi tiga kerangka, yaitu Tatwa, Susila dan Acara. Berdasatkan Tatwa, Saraswati itu bersumber dari Weda, Kitab Bramana, Upanisad, Itihasa dan lontar-lontar, seperti Lontar Aji Saraswati, Purwaning Wariga, Puja Saraswati, Tutur Saraswati, Kekawin Saraswati dan Geguritan Saraswati. “Mulai dari Weda sampai lontar tersebut mengungkap dan menguraikan tentang bagaimana melaksanakan, merayakan pengehuan Saraswati itu,” paparnya.

Dalam Tutur Saraswati disebutkan, pelaksanaan perayaan Saraswati sebaiknya dilaksanakan sebelum matahari condong ke barat. Hal ini mempunyai makna religious. Sebab, diyakini selama perayaan Saraswati itu tidak diperkenankan mencorat-coret hurup atau aksara, karena hurup itu sebagai simbol dari Saraswati. “Ketika Saraswati dirayakan diberikan persembahan, maka dalam Tutur Saraswati itu tidak diperkenankan menulis, dan membaca selama pelaksanaan perayaan itu. Semua itu adalah beratanya (pantangan). Maka itu, setelah perayaan Saraswati itu ada Bija Laban Saraswati, berupa nasi kuning berisi lauk-pauk,” jelasnya lagi.

Dalam perayaan Saraswati menggunakan sarana khusus berupa banten saraswati. Banten ini didalamnya ada simbol “cecek” (cecak) yang dibuat dari jajan. Hal tersebut berdasarkan keyakinan nusantara, bahwa cecek itu sesungguhnya binatang yang mewakili kemahatahuan. Kalau para orang tua “ngorte” (ngobrol) dan terdengar ada suara “cecek” maka menyebut “turun Hyang Saraswati”. Adanya suara cecek itu, artinya pembicaraan mereka seakan-akan diiyakan, dibenarkan oleh Saraswati. Itu dalam kepercayaan local.

Tetapi, dalam aksara “cecek” disebut “surang” sebagai pengurip (penghidup). Jika ada konsonan “ta” berisi surang maka berbunyi “tang”, dan “da” diisi surang maka konsonan itu hidup menjadi “dang”. Jadi “surang” itu menjadi pengurip konsonan. Saraswati sebagai pengetahuan, tanpa ada ilmu pengetahuan rasanya tidak hidup, tidak tahu apa-apa. Sederhana saja, kalau tidak bisa membaca, maka bisa dibayangakan sulitnya menjalani hidup. Jadi pengetahuan itu sebagai penghidup sebagai senjata untuk hidup. “Untuk banten inti Saraswati itu dibuat dari dalam satu tamas. Lalu, ditambahkan dengan banten lain, seperti soda dan lainnya tergantung tingkatan upacara nista, madya dan utama,” bebernya.

Baca Juga:  I Putu Raksa Sulaksana, Sang Liku Buleleng Biasa Tampil di Luar Negeri

Saraswati dalam makna kekinian itu, mengajarkan umat Hindu selalu dekat dengan ilmu pengetahuan, wajib mengejar pengetahuan, wajib memiliki pengetahuan, dan momentum ini diperingati setiap 6 bulan dengan perhitungan wuku dan wewaran. Rangkaian Saraswati itu mulai dari Redite (Minggu) wuku Watugunung, yakni sebuah hari sebagai runtuhnya Watugunung. Hal ini dikaitkan dengan cerita Watugunung, yang kisahnya ada dalam Lontar Medang Kemulan.

Hari Saraswati

Adapun kisahnya, Watugunung sebagai orang yang congkak, sombong, dan merasa kuat. Saat kecil, ia sebagai anak yang durhaka yang sering mengundang kemarahan orang tuanya. Suatu ketika, kemarahan Sinta ibunya sendiri tak terbendung lalu memukul kepalanya dengan “siut” sebuah alat dapur hingga kepalanya berdarah. Watugunung kemudian menangis, lalu meninggalkan ibunya melakukan tapa. Ia kemudian mendapat anugrah dari Dewa Brahma, maka melalui kekuatannya itu, ia mengalahkan raja-raja mulai dari Sinta, hingga kembali ke Sinta. Watugunung kemudian jatuh cinta pada seorang wanita yang tiada lain adalah ibunya.

Suatu saat Watugunung menyuruh Sinta mencari kutu. Lalu, Sinta secara tak sengaja melihat bekas luka dikepalanya. Sinta kemudian mencari akal untuk meminta Dewa Wisnu. Watugunung marah lalu menyerang Swargaloka. Dewa Wisnu kemudian menjelma menjadi “Nunmanglang” untuk mengetahui kekuatan Watugunung, sehingga diketahui Watugunung bisa dibunuh pada hari Redite (Minggu). Maka, pada Redite Kliwon, Minggu 20 Maret 2022 disebut hari Watugunug Runtuh sebagai bentuk kekalahan Watugunung. Kemudian Soma Manis, Senin 21 Maret 2022 bernama rahina “Candung Watang” karena mayat Watugunung sudah meninggal dan mayatnya tersangkut pada pohon candung (talas).

Pada Anggara Paing, Selasa, 22 Maret 2022 disebut rahina Paid-paidan, dimana mayat Watugunung ditarik oleh musuh-musuhnya. Sementara pada Buda Pon, Rabu, 23 Maret 2022 disebut rahina Pengurip, yang artinya Watugunung dihidupkan kembali oleh Dewa Wisnu atas perintah Dewa Siwa. Watugunung dihidupkan kembali oleh Dewa Wisnu untuk mengembalikan ke alam dunia dibawah pengawasannya. Pada Wraspati Wage, Kamis, 24 Maret 2022 disebut “Rahina Penegtegan”, karena setelah Watugunung dihidupkan kembali kemudian dikembalikan kekuatannya, dan besoknya Sukra Kliwon, Jumat, 25 Maret 20022 disebut “Rahina Pengeredanan”. Artinya, setelah Watugunung dikembalikan kekuatannya lalu dimohonkan kepada Dewa Siwa untuk menyempurkan mengharmoniskan lagi kekuatan yang dimiliki. Lalu, pada Saniscara Umanis, Sabtu 26 Maret 2022 wuku Watugunung memuliakan ilmu pengetahuan Saraswati yang sudah diturunkan.

Baca Juga:  dr.Arya Warsaba Sthiraprana Duarsa; Puisi Refleksi dari Perasaan untuk Melatih Kepekaan

Prof Surada menambahkan, semua itu nanti berkaitan dengan kehidupan manusia selanjutnya. Sebab, setelah Saraswati atau setelah ilmu pengetahuan dimuliakan maka seluruh tubuh kemudian disucikan pada Redite Paing Wuku Sinta, Minggu 27 Maret 2022 disebut rahina “Banyupinaruh” sebagai hari baik menyucikan diri. Kemudian pada Soma Pon disebut “Soma Ribek”, Senin 28 Maret 2022, dipercaya memiliki pengetahuan sudah penuh, lalu mendoakan segala makanan atau beras, makanya ada dibuatkan banten pula. Pada, Anggara Wage, Selasa 29 Maret 2022disebut rahina “Sabuh Mas” yang artinya dengan pengetahuan yang dimiliki itu, maka sudah bisa mencari kekayaan arta untuk bisa hidup, sehingga saat itu mendoakan arta berupa mas dan uang.

Setelah memiliki makanan dan harta yang diangap sudah lengkap, maka pada Buda Kliwon wuku Sinta, Rabu, 30 Maret 2022 disebut rahina “Pagerwesi”. Pada pagerwesi itu manusia diharapkan sadar menguatkan apa yang dimiliki, mengatur apa yang dilimiki, sehingga menjadi kehidupan yang berlanjut. Setelah itu, pada Saniscara Pon wuku Sinta, Sabtu 2 April 2022 sebagai rahina Penajeman yang disebut dengan “Tumpek Landep”. Pada saat Tumpek Landep menghaturkan banten sebagai ungkapan rasa terima kasih terhadap Sang Hyang Widi Wasa yang turun ke dunia dan memberikan ketajaman pemikiran kepada manusia. “Nah, semua itu merupakan rangkain dari Sarawati itu,” tutup Prof. Surada. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post