Ni Ketut Arini, Semua Produk Budaya dan Kesenian Mesti Didaftarkan HAKI Agar Lebih Dikenal Generasi Penerus.

 Ni Ketut Arini, Semua Produk Budaya dan Kesenian Mesti Didaftarkan HAKI Agar Lebih Dikenal Generasi Penerus.

Ketika mendengar produk kesenian, budaya, tradisi, dan tekstil yang lebih banyak mengantongi sertifikat Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dari Kementeri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) RI, maestro tari Ni Ketut Arini merasa senang. Ia percaya, dengan mendapatkan HAKI itu, maka produk budaya atau kesenian itu akan bisa lebih dikenal, sehingga timbul keinginan untuk melestarikannya. “Semua produk kesenian itu memang perlu dicarikan hak-haknya. Sebab, secara kebudayaan local, itu masih dipakai sampai sekarang dan nantinya bisa menceritakan semua itu kepada generasi mendatang,” ucapnya.

Arini yang tinggal Banjar Lebah, Desa Sumerta Kaja, Kecamatan Denpasar Timur, Provinsi Bali ini, lalu mengapresiasi Dinas Kebudayaan Provinsi Bali yang sangat getol memperjuangkan hak cipta terhadap produk budaya Bali. Masyarakat Bali banyak memiliki kesenian dan tradisi yang sudah biasa dilakukan, namun tidak mengetahui siapa yang menciptakan. Ia sendiri sempat menyiapkan data-data tentang karya-karya Maestro, Kaler dan Wayan Rindi. “Kalau boleh usul, semua produk budaya dan kesenian mesti didaftarkan, sehingga kekayaan Bali menjadi lebih dikenal terutama oleh generasi sebagai penerus. Original itu perlu, karena nantinya perlu juga diberikan sebuah penghargaan,” ucapnya.

Kalau sudah diberikan hak cipta, itu berarti Bali yang mempunyai secara lebih otentik. Kesenian yang mengantongi sertifikat HAKI tidak bisa diakui oleh orang lain, daerah lain ataupun negara lain. Bali masih banyak memiliki produk kesenian, sehingga perlu lagi mendata kesenian lain yang belum masuk. “Saya mengusulkan 6 tari karya Bapak Kaler, tetapi yang keluar hanya 3 tari saja. Saya yakin, dengan adanya hak cipta ini, akan mampu menjaga original tari tersebut. Sebab, sering kali tarian itu berubah pada pembelajaran berikutnya,” papar penari Bali yang kerap membawa misi budaya ke berbagai belahan dunia itu.

Pekerjaan mengumpulkan data itu tidak gampang, karena selain menuliskan sejarah, juga mencari bentuk-bentuk tari yang betul-betul asli. Termasuk pula lika-liku perkembangan sejak diciptakannya tari itu, apakah masih utuh sampai saat ini. Seluruh produk budaya, seni, dan tradisi yang telah mendapatka HAKI itu, harusnya dibuka dan diinformasikan kembali kepada masyarakat umum, sehingga masyarakat mengetahuinya. Karenanya, perlu ada sebuah publikasi dan informasi yang bisa dibaca ataupun dipelajari olah masyarakat jika ingin mencari yang benar-benar original, sehingga masyarakat Bali tak hanya bisa melakukan saja, tetapi juga mengetahui makna dan sejarah yang ada didalam tradisi atau kesenian itu.

Setelah ada hak paten ini, pencipta Tari Legong Kreasi Suprabha Duta (1990) itu berharap akan ada semacam panduan yang benar dalam mengajarkan kesenian kepada generasi mendatang. Maka itu, perlu dicatat dan dipublikasikan, sehingga orang-orang mengtahuinya. Kalau sudah ada panduan yang jelas, maka harus berani mengajarkan yang benar, sehingga keaslian tari itu tetap terjaga. “Jangan sampai, tradisi itu ada, tetapi tidak ada yang tahu, bahkan tidak ada yang melakukannya,” ujar pemilik Sanggar Warini ini,

Baca Juga:  Catatan Kecil Perjalan | Bakti Wiyasa dari situs ke situs kuno di Bali

Ni Ketut Arini Belajar Menari Sejak Umur 7 Tahun.

Dalam dunia seni tari, sosok Ni Ketut Arini sudah tidak asing lagi. Perempuan kelahiran Banjar Lebah, 15 Maret 1943 ini dikenal sebagai salah seorang maestro tari Bali, khususnya Tari Condong. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga seniman. Ayahnya, I Wayan Saplug, seorang guru tabuh. Sementara ibunya, Ketut Samprig memiliki kegemaran makekidung. Wayan Rindi, pamannya adalah penari sekaligus guru tari terkenal jaman itu. Wayan Rindi pula yang mengenalkan dan mengajarkan dasar-dasar tari kepadanya.

Saudara-saudaranya, terkenal sebagai penabuh dan penari. Namun, berbeda dengan Ni Ketut Arini. Walau dibesarkan di keluarga seniman, namun ia baru diizinkan belajar menari oleh Wayan Rindi setelah ia berusia 7 tahun. Sebelumnya, ia hanya menonton pamannya melatih tari. Ia lalu berlatih Tari Condong ketika duduk di bangku kelas 3 SD serangkaian acara perpisahan di SD Sumerta, Denpasar. Pengalaman itu menjadi momentum berharga yang tak terlupakan baginya karena saat itu sangat jarang ada anak seusianya yang belajar dan membawakan Tari Condong.

Anak ke empat dari enam bersaudara ini juga sering membantu Rindi yang memiliki kursus tari yang mengajar tari bagi para siswa yang berasal dari berbagai kabupaten di Bali. Bahkan, saat duduk di bangku SMP, Arini telah diminta untuk mengajar tari bagi putra-putri keluarga Puri Kelodan Karangasem. Kegiatan mengajar menari itu dilakoni ketika musim libur sekolah. Sejak SMP, Arini sangat antusias belajar menari dari sejumlah guru tari di luar desa yang diantar oleh ayahnya. Arini belajar Tari Demang Miring dari Jero Puspawati, legenda tari dari Puri Satria, Denpasar dan belajar Tari Wiranata dari Nyoman Ridet, penari dan penabuh legendaris dari Kaliungu, Denpasar.

Setelah kepiawaiannya menari semakin terasah, ia lalu menempuh pendidikan ke Konservatori Karawitan (Kokar) Bali pada tahun 1960 – 1963. Di sekolah seni ini, Arini banyak belajar teori dan teknik tari, serta mendapatkan dorongan yang kuat agar terus menekuni seni dari I Nyoman Kaler, guru tari yang sangat dihormatinya. Semasa bersekolah di Kokar Bali, ia merasa terpanggil untuk belajar Tari Legong Keraton Saba, langsung dari penari di Desa Saba, Kabupaten Gianyar. Begitu tamat dari Kokar Bali, Arini juga langsung dipercaya menjadi guru di sekolah tersebut dan berstatus sebagai guru PNS. Pada tahun 1967, ia melanjutkan pendidikan ke Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar.

Baca Juga:  Anak-anak “Ngelawang” Barong Bangkung Cara Menciptakan Generasi Seni

Ibu dari empat putra-putri ini kemudian merasa terpanggil bisa melanjutkan kiprah pamannya, Wayan Rindi, untuk bisa mengajar tari Bali pada generasi muda. Setelah Rindi meninggal pada 1976, ia kemudian mengasuh Sanggar Tari Bali Warini miliknya. Nama ini secara tidak terencana tercetus ketika dirinya ditanya nama sanggar saat menjadi pengisi acara program Bina Tari di Stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) sekitar 1979. Selama 10 tahun, dari 1979-1989, Arini menjadi pengisi tetap program “Bina Tari”.

Siswa yang belajar menari di Sanggar Tari Bali Warini awalnya sekitar 30 orang, dan mereka belajar di bawah pohon. Seiring waktu, setiap tahun, ratusan siswa telah berhasil menjadi penari berkat sentuhan telaten Ni Ketut Arini. Sanggar yang dibinanya bersama anak dan mantan muridnya itu pun tetap eksis hingga kini saat usia Arini menginjak 78 tahun. Ia mengajarkan tari Bali kepada generasi muda bukan sekadar menekankan penguasaan teknik semata, namun juga bagaimana menanamkan nilai-nilai kecintaan generasi muda terhadap seni budaya yang adiluhung.

Maestro seni Tari Condong yang sudah menguasai Tari Condong gaya Wayan Rindi, gaya Legong Saba serta untuk arja dan gambuh itu, tak saja mengajar di wilayah Bali, tetapi juga mengajar murid dari berbagai wilayah di Indonesia, bahkan dari mancanegara, seperti dari Inggris, Perancis, Amerika Serikat dan yang terbanyak dari Jepang. Mereka datang langsung ke sanggar tari yang berlokasi di Jalan Kecubung, Gang Soka No 1 Denpasar, Bali, itu. Menariknya, murid yang dilatihnya merupakan guru seni atau pun pemilik sekolah seni di negaranya. Terkadang, Arini diundang langsung ke luar negeri untuk mengajar tari di sekolah mereka.

Di sela-sela kesibukan menunaikan tugas sebagai guru tari, Arini malang melintang melakukan diplomasi budaya dengan menari dan sekaligus mengajarkan tari ke berbagai belahan dunia, seperti ke Jepang, Korea Selatan, Belanda, Belgia, Perancis, Inggris, Swiss, Jerman, Amerika
Serikat dan sejumlah negara lainnya. Lawatan perdananya ke luar negeri terjadi pada tahun 1965 membawakan Tari Pendet untuk memeriahkan HUT Kemerdekaan Republik Indonesia di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Filipina.

Pada saat kunjungan tersebut, Arini juga berkesempatan tampil membawakan Tari Trunajaya di hadapan para menteri. Setelah puluhan tahun menjadi guru tari, pada tahun 1996, Arini mendapat tugas baru sebagai pengawas SMA/SMK. Tugas itu dilakoninya hingga pensiun tahun 2003. Di sela-sela sebagai pengawas, istri dari I Gusti Made Alit (alm.) ini mendapat kepercayaan mengajar tari di Grup Gamelan Sekar Jaya di California, Amerika Serikat dari tahun 1999-2005. Setiap tahun dia mengajar selama enam bulan.

Baca Juga:  Kesenian Berkonsep “Kerta Masa” Sajian Penggak Men Mersi di Festival Pertanian 2022

Kegiatan ini kembali berlanjut pada tahun 2010 hingga 2013 bersama sejumlah maestro tari dari Bali, seperti Prof. Dr. I Wayan Dibia. Dari 2007-2018, Arini pun rutin diminta terbang ke Negeri Sakura untuk mengajar di sejumlah sekolah tari milik salah seorang muridnya yang bernama Ami Hasegawa. Pada 2004, Arini bersama salah seorang muridnya dari Amerika Serikat, Rucina Balinger mengangkat kembali sejumlah tari karya gurunya, I Nyoman Kaler, seperti Tari Panji Semirang, Margapati, Wiranata, Demang Miring, Candrametu, Puspawarna, Bayan Nginte, Kupu-kupu Tarum, dan Legong Kebyar.

Untuk menikmati kembali karya-karya I Nyoman Kaler itu, dilakukan simposium dan pementasan yang ditarikan oleh tiga generasi penari (lanjut usia, dewasa, dan remaja) bertempat di Taman Budaya Denpasar dan Institut Seni Indonesia Denpasar. Arini berharap pemerintah daerah dapat terus membuka ruang bagi seniman untuk berkarya dan berkreativitas melalui berbagai kegiatan perlombaan ataupun pergelaran. Ia berharap para seniman tari saat ini agar lebih meningkatkan kemampuan dalam seni tari agar benar-benar mataksu dan indah, bukan sekadar menari.

Dalam Pesta Kesenian Bali (PKB), Arini dengan para siswa sanggarnya sudah seringkali tampil. Bahkan pada tahun-tahun awal pelaksanaan PKB, dalam pementasan sendratari, ia sempat memerankan tokoh Dewi Kausalya yang merupakan ibu Sri Rama dalam epos cerita
Ramayana. Selain itu, ia ikut menjadi pembina tari dan juri berbagai perlombaan serangkaian pesta kesenian terbesar di Pulau Dewata itu.

Nenek dari 10 cucu ini tercatat telah menerima sejumlah penghargaan seperti penghargaan Parama Budaya dari Pemerintah Kota Denpasar dan penghargaan seni Dharma Kusuma Madya dari Pemerintah Provinsi Bali. Arini menjadi salah satu tokoh seni yang dihadirkan dalam Program Belajar Bersama Maestro yang dihelat oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Sanggar Tari Bali Warini juga telah mendapatkan penghargaan Kerthi Bhuwana Sandhi Nugraha dan juga pemegang Sertifikat Pataka Patram Budaya dari Pemerintah Provinsi Bali. Ia juga menerima Adi Sewaka Nugraha tahun 2021 dari Pemerintah Provinsi Bali. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post