Ni Luh Wanda Putri Pradanti Bersama Krisno Mendongeng Kisah I Gusti Ketut Pudja Belajar Sejarah di Museum Soenda Ketjil Beleleng
- Ulasan
- I Gede Made Surya Darma
- 06/06/2022
- 9 minutes read
Lovina 1 Juni 2022
Memasuki Pelabuhan Tua Buleleng dengan Museum Soenda Ketjil, mata saya tertuju pada dua anak kecil setingkat Sekolah Dasar (SD) yang sedang mengukur ukuran lebar kusen pintu museum dengan jengkal tangannya menggunakan ukuran lebar tiga jengkal anak tersebut. Suasana pantai yang ombaknya tenang dengan semilir angin, membawa hayalan saya ke masa lalu dengan ilustrasi photo yang ada di museum. Hingar bingar para Toke, saudagar dari beberapa daerah seperti Bugis, China, Arab, Eropa dan Bali serta ribuan ton kopi, beras, cengkeh, pala, kapas, tembakau juga hasil bumi lainya. Semuanya diangkat ke atas kapal yang dikemas dalam karung siap di kirim ke luar negeri.
Para buruh dengan telanjang kaki dan baju yang lusuh, bertubuh kekar dengan kulit coklat kemerahan, keringat menetes, dengan celana bekas karung goni, ada pula dengan celana bekas karung tepung beras yang berbahan kain putih belacu yang sudah berwarna abu kecoklatan, di ungsel seperti menggunakan sarung di pinggang diikat dengan tali goni, di bawah terik matahari panasnya pantai, bersemangat mengangkat tumpukan hasil bumi yang sudah dikemas itu. Sebagian lagi diangkut dengan menggunakan gerobak pedati kayu, juga menggunakan alat transportasi cikar yang ditarik dengan kerbau atau sapi dari gudang yang besar.
Di sebelah barat museum yang tiangnya dari kayu berukuran lebar dua jengkal orang dewasa, dengan kunci gembok berukuran buah kelapa. Disisi lain, para pekerja masih sibuk mendorong pantat sapi ke dalam kapal siap diekspor ke luar negeri, seperti ke Hongkong. Bahkan para pekerja di sana sudah biasa menarik ekor sapi sambil dikencingi dan dilumuri kotoran sapi dengan jalanan menuju pelabuhan yang becek akibat kencing ternak sapi, juga tetesan air ikan yang diturunkan dari kapal. Sebagiannya masih berdebu, beterbangan ditiup angin, dan menempel di sekujur tubuh masyarakat yang mengais rejeki di sana.
Para pedagang makanan dengan meja seadanya berteduh di bawah pohon waru, dengan menu khas dari bahan sorghum dan ketupat blayag khas buleleng. Pembayaranyapun sebagian dengan uang kepeng, sebagian lagi dengan sejumput ikatan shorgum, padi, ikan sisa tangkapan, ada pula membayarnya dari sehelai selendang maupun kain dari pedagang Arab.
Pedagang minuman tuak manis dan loloh dari daun blimbing bertopi anyaman daun kelapa yang dikemas dengan labu botol. Sebagian lagi dengan bambu yang diangkat dengan sebatang kayu dari pohon aren, bergelantungan berjalan kaki mengelilingi para buruh yang kehausan, disuguhkan minuman dengan gelas bambu dan gayung kecil dari bambu. Sebagai takaran penjualan, sesekali pedagang tuak tersebut pandanganya tertuju kepada kerabatnya, yang menjadi jalma odol- odolan atau budak sudah naik ke kapal dengan rombongan budak lainya, yang siap dikirim ke Batavia, bahkan para budak itu sampai dikirim ke Suriname Mandagaskar di Afrika selatan.
Pedagang tuak hatinya pilu melihat saudaranya yang menjadi budak di atas kapal entah kapan bisa bertemu kembali dengannya, ingin rasanya hanya memberikan seteguk tuak manis kepadanya, dengan aturan yang ada, di urungkan untuk memberikan seteguk minuman tersebut. Kala itu budak cukup laku di perdagangkan, yang merupakan dari kaum masyarakat yang melakukan tindakan keriminal, ugal ugalan, dan mabuk mabukan.
Para Toke dan pengawa kerajaan dari kejauhan sesekali, terlihat berbincang dengan utusan VOC, yang turun dari kapal Van Der Wick dengan hidung mancung dan rambut pirang, dengan pakaian seragam warna putih bersepatu boat sampai di bawah lutut dengan menggendong senjata bedil, enatah apa yang di bicarakan, suasananya begitu genting di buatnya, masyarakat gelisah, melihat mereka bergegas menuju salah satu kantor yang ada di Pelabuhan, mengenang photo, dan membaca beberapa artikel masa lalu dan kisah perjalanan jalur rempah dan penjualan budak di Bali.
Sambil menyeruput kopi hayalan saya itu hilang, pertanda acara mendongeng dimulai yang dibawakan oleh Ni Luh Wanda Putri Pradanti. Wanita yang piawai mendongeng itu, kelahiran Praya Lombok, 8 Nopember 1992, namun sesungguhnya berasal dari Temukus, Singaraja Bali. Ia seorang pendongeng Ventriloquist, penulis buku cerita anak yang berkesempatan mendongeng dalam acara Ekspresi Budaya di situs cagar Budaya. Acara itu digelar Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Bali (BPCB) bersinergi dengan Dinas Kebudayaan (Disbud) Buleleng berlangsung di Museum Soenda Ketjil Singaraja, Senin 30 Mei 2022.
Tujuannya untuk memeperkenalkan pentingya Cagar Budaya kepada anak-anak selaku penerus Bangsa, untuk tetap dijaga, dikenal dan dilestarikan. Saat itu, BPCB Bali dan Disbud Buleleng mengandeng SD No. 3 Banjar Jawa yang didamping orang tuanya belajar sambil mengenalkan Dongeng. Wanda mendongeng mengenai museum Soenda Ketjil dan sejarahnya. Ia mendongeng ditemani boneka vent figure yang diberi nama Krisno. Boneka ini berkarakter Baru Wanda yang mana sebelumnya ia sering menampilkan boneka Jegeg Bulan dalam mendongeng.
Awal karir Ni Luh Wanda dimulai saat bekerja di Yayasan Gemah Ripah Pacung pada akhir 2018. Ia dikenalkan dengan proses mengajar kreatif yang salah satunya mendongeng dan membacakan cerita. Di sana Wanda menemukan kecintaanya terhadap dunia dongeng dan bercerita. Usai bekerja, Wanda terus aktif mendongeng bergabung bersama beberapa komunitas dongeng. Ia terkadang mendongeng melalui sosial media. Tanpa disengaja, ia kemudian tertarik dengan dunia sulap suara (suara perut), juga bergabung ke dalam komunitas Ventriloquist Indonesia (Ventindo).
Selain mendongeng, Wanda juga aktif menulis buku cerita anak. Tahun 2020, ia sudah menulis buku De Ga Ingin Kulit Jerungga, The Tales We Tell, dan Kebaikan Oleh Semua. Ia juga menjadi editor dalam penyusunan buku cerita Rimba Cerita, terlibat dalam proyek buku digital virtual reality dengan judul Kemana Harimau Pergi serta sempat sebagai pengisi suara pada tahun 2021.
Kali ini, Wanda mendongeng mengkemas kisah singkat Cendikiawan Buleleng I Gusti Ketut Pudja kelahiran 19 Mei 1908. Orang tuanya, adalah I Gusti Nyoman Raka dan Jero Ratna Kusuma di Singaraja Bali. Ayahnya, merupakan Sarjana Hukum pertama dari Bali yang sekaligus menjadi Gubernur pertama dan terakhir Provinsi Soenda Ketjil pasca kemerdekaan Republik Indonesia. Ayahnya mendapat master hukum (master in the rechten) saat berusia 26 tahun dari Rechtshoote Batvia.
Ketut Pudja terlibat di dalam perumusan teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda pada tanggal 16 Agustus 1945. Disaat tercetusnya Piagam Jakarta, pada 22 Juni 1945 yang kemudian menjadi cikal bakal Pancasila, yang mana sila pertama tertulis “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menyikan sila itu, Ketut Pudja bersama delegasi dari Indonesia timur tidak sepakat dengan kalimat itu. Dia lalu mengusulkan “Ketuhanan yang Maha Esa,” agar lebih mengakomodasi bangsa Indonesia secara umum.
Usul tersebut diterima dan diabadikan sebagai sila pertama Pancasila. Kemudian cerita sejarahnya dikemas secara sederhana dan interaktif untuk disampaikan kepada anak-anak. Menarik dalam sesi dongengnya, Wanda menyusun sendiri dongengnya dengan melakukan penelitian terhadap teks-teks yang terkait dengan sejarah Sunda Kecil yang ada kaitanya dengan tokoh pahlawan I Gusti Ketut Pudja.
Ceritanya di mulai dengan tour singkat di kawasan Museum Soenda Ketjil. Sambil menyaksikan beberapa dokumentasi photo masa kejayaan pelabuhan di Kawasan Singaraja, kejayaan jalur rempah nusantara, dan sebagai pusat lalu lalang para pedagang dunia. Anak anak diajak duduk rapi di dalam museum. Sementara para orang tua murid duduk di sebelah belakang di dampingi staf pegawai Dinas Kebudayaan. Suasana senyap, seolah berada di masa lalu dengan terngiang di saat Boneka Krisno keluar dari koper ajaib. Wanda pun mulai bercerita mengenai sejarah Sunda ketjil dan tokoh pahlawan Nasional I Gusti Ketut Pudja.
Suasana mendongeng menjadi lebih hidup, ketika sisi interaktif dimulai. Wanda dan Krisno mempersilahkan siswa bertanya apa saja yang disaksikan di dalam museum. Para siswa itu menanyakan mengenai koleksi sejarah I Gusti Ketut Pudja, photo pelabuhan masa lalu dan lainnya. Suasana yang lagi santai itu, tiba-tiba dikejutkan dengan jawaban salah satu anak yang nyeletuk, “AC alat pendingin ruangan”. Serontak para orang tua murid tertawa mengenai jawaban anak tersebut. Di akhir cerita Wanda juga memberikan workshop membuat origami berbentuk perahu, burung, dan bentuk origami lainya. Ia juga penyerahan hadiah kepada anak anak yang bisa menjawab pertanyaan dari cerita yang dibawakan.
Anak-anak sangat antosiasme menyaksikan pertunjukan Wanda dan Boneka Krisno dengan gaya ventriloquist atau seni suara perut tanpa menggerakan bibir. Boneka Krisno berwarna biru, dengan rambut pirang, mengenakan stelan pakaian anak pantai seperti yang biasa digunakan tourist berlibur ke Bali. Melalui boneka ini, Wanda biasanya sering menggunakan untuk promosi pariwisata yang ada di daerah sekitar di Bali. Karena itu penampilanya, seperti tourist yang berlibur ke destinasi wisata di Bali, juga pembawaan cerita pendek dan beberapa endorse produk di laman tik toknya ventriloquist Bali.
Anak-anak yang masih kelas tiga SD itu semakin bersemangat dan interactif menyaksikan pertunjukan Wanda & Krisno. Itu karena, Boneka tersebut hidup dan berkomunikasi dengan dua karakter yang berbeda. Sebagain anak masih belum percaya suara boneka itu dibantu oleh suara Wanda. Ada sebagian beranggapan boneka tersebut sudah di seting dengan rekaman suara di dalamnya.
Ibu Dian Partina salah satu orang tua murid sangat mengapresiasi acara tersebut. Lewat acara ini anak-anak yang suka berbicara bisa tersalurkan bakat dan minatnya belajar sejarah yang di kemas dengan cara mendongeng secara interaktif. Begitu pula salah satu anak yang bernama Gede Geovalendra Maystha Angelo, perasannya sangat senang diceritakan mengenai sejarah tersebut, juga menikmati dengan workshop origami yang diberikan, sehingga bisa belajar hal-hal baru.
Perasaan Wanda dalam acara mendongeng ini sangat senang, karena bisa berinteraksi terhadap anak anak. Ia merasa sangat puas dengan proses yang ia jalani. Mulai dari sebelum, hingga sesi mendongeng berakhir. Karena dalam proses persiapan, ia meneliti dan mendisain ceritanya sendiri. Antusiasme peserta bisa dibangung dengan baik, bahkan sampai selesai pun, banyak anak-anak yang masih penasaran dengan vent figure yang dia bawa. [B]
I Gede Made Surya Darma
Pelukis dan seniman performance asal Apuan, Tabanan, Bali.