Hari Raya Galungan, Kemenangan Dharma Melawan Kalatiga
Umat Hindu di Bali merayakan Hari Raya Galungan pada Buda Kliwon Wuku Dungulan, Rabu 8 Juni 2022 dan Hari Raya Kuningan pada Caniscara Kliwon Wuku Kuningan, Sabtu 18 Juni 2022. Hari Raya Galungan dan Kuningan dirayakan setiap enam bulan atau 210 hari. “Dalam Lontar Sundarigama menyebutkan perayaan Galungan dan Kuningan itu merupakan kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (kejahatan), kemenangan Jayatiga melawan Kalatiga,” kata Prof. Dr.Drs. I Ketut Sumadi, M.Par, Selasa 7 Juni 2022.
Dosen Universitas Hindu Negeri (UHN) I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar ini mengatakan, rangkaian perayaan Hari Raya Galungan itu sudah dimulai dari seminggu sebelumnya, diawali dengan upacara Sugihan Jawa pada Kamis, 2 Juni 2022. Hari raya Sugihan Jawa berasal dari kata sugi, yang artinya membersihkan, dan jawa artinya luar. Jadi Sugihan Jawa dapat diartikan sebagai upacara yang berfungsi untuk membersihkan Bhuana Agung atau alam semesta, baik sekala maupun niskala.
Lalu, Sugihan Bali pada Jumat 3 Juni 2022 bertujuan untuk menyucikan buana alit atau mikrokosmos, manusia secara sekala dan niskala untuk bersih dari perbuatan yang ternoda atau pembersihan lahir dan bathin. Hari “Penyekeban” (cara mempercepat buah matang secara tradisional) jatuh pada Minggu 5 Juni 2022) yang memiliki arti, mempersiapkan bahan-bahan upacara. Artinya, bahan berupa buah yang mentah disekeb, sehingga cepat masak dan bisa dipergunakan untuk upacara Galungan.
Pada hari “penyekeban” itu, jelas Prof. Sumadi mulai turunnya Sang Kala Tiga yang menggoda kehidupan manusia. Sang Kala Tiga adalah tiga kekuatan negatif yang turun mengganggu umat manusia mulai pada Redite (Minggu) menjelang perayaan Galungan. Pada hari tersebut, umat manusia dianjurkan untuk “Anyekung jñana” yang artinya mendiamkan pikiran agar jangan dimasuki oleh Butha Galungan ini, dan orang-orang yang pikirannya selalu suci (nirmalaka) tidak akan dimasuki oleh Butha Galungan ini.
Sejak hari Minggu sebelum Hari Raya Galungan, sebagai hari datangnya Sang Kala Tiga sebagai simbol keburukan. Sang Kala Tiga ialah Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan, dan Sang Bhuta Amangkurat, sebagai simbul angkara (tidak suci). Dalam rangkaian Hari Raya Galungan itu, umat Hindu berperang bukan melawan musuh berbentuk fisik, melainkan adharma, tiga kekuatan buruk yang datang saat rangkaian Galungan yang mengganggu secara bergantian, yaitu Sang Bhuta Galungan, dan Sang Bhuta Amangkurat.
Mulai hari Minggu sebelum Galungan itulah sesungguhnya kemenangan melawan godaan hidup yang dalam kearipan local di Bali disebut Sad Ripu, enam musuh dalam diri manusia yang bisa mempengaruhi manusia menjadi lupa diri. Sad Ripu itu terdiri dari “kama” (nafsu, keinginan), “lobha” (tamak, rakus), “krodha” (kemarahan), “moha” (kebingungan) “mada” (mabuk) dan “matsarya” (dengki dan iri hati). “Turunnya godaan hidup itu merupakan kekuataan, sehingga manusia perlu waspada melihat diri sendiri yang hidup dengan lingkungannya. Hal tersebut sesuai dengan konsep “Bhuana Alit (tubuh manusia) dan Bhuana Agung (alam semesta) yang mesti dijaga keseimbangan,” ujarnya.
Sedangkan, besoknya merupakan hari “Penyajahan Galungan”, pada Senin, 6 Juni 2022, sebagai hari untuk mempersiapkan segala sesuatu yang lebih detail mengenai perlengkapan upacara. Karena ini, mulai hari ini sebagai bagian dari merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Pada “Penyajahan Galungan” tingkat godaan manusia akan semakin tinggi, sehingga diharapkan tidak ada godaan dalam menyiapkan perlengkapan upacara pada saat itu.
Pada esoknya, merupakan hari “Penampahan Galungan”, Selasa, 7 Juni 2022 sebagai cara untuk memulai menyucikan diri, sehingga disimbolkan dengan menyemlih hewan, baik itu berupa babi atau ayam. “Dalam konteks filosopinya, pada saat itu merupakan kontemplasi diri, yaitu membuat kesadaran diri menjadi lebih tinggi, dengan menelanjangi diri sendiri, apa yang pernah perbuat, terkait enam hal tersebut (Sad Ripu) yang membuat kita lupa,” jelasnya.
Pada hari “Penampahan Galungan” itu, memiliki makna bahwa manusia membuang nafsu godaan kebinatangan untuk menjadi sifat ke”Dewa-an atau membuat tidak baik menjadi baik. Karena itu, pada saat Penampahan Galungan, selain “ngelawar” dan membuat makanan khas Bali lainnya, juga sebagai periapan perlengkapan upacara pada sore harinya. Salah satunya membuat banten prayascita, sebagai simbul penyucian diri. Upacara ini diikuti seluruh anggota keluarga, sehingga semuanya sudah bisa merasakan bebas dari godaan tersebut.
Pada Penampahan Galungan sorenya, juga menamcapkan penjor yang artinya manusia sudah bisa sadar dari godaan saat tersebut. Dengan demikian, maka bisa dimulai melakukan detik-detik kemerdekaan, kemenangan. Sebab, memasang (membuat) penjor sebagai lambang kemerdekaan, kemenangan diri manusia dari godaan duniawi, untuk selanjutnya bisa meraih kemakmuran dan kesejahteraan hidup. Penjor sebagai lambang persembahan rasa syukur atas kemakmuran yang dipersembahkan oleh Tuhan. Banten yang disiapkan berupa “soda putih kuning” yang melambangkan kesucian.
Prof. Sumadi mengatakan, banten prayascita itu, sebagai simbol rasa bersyukur, angayubagia (senang, bahagia) atas anugrah Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesadaran diri, sehingga bisa melakukan pekerjaan dengan baik. Disamping itu, juga menghasilkan kebahagiaan yang tidak hanya untuk diri sendiri, tetapi juga orang lain. “Penjor itu sebagai simbul Gunung Agung, sebab di sana para Dewa beristana, juga leluhur yang telah disucikan. Nah, pada saat itulah Tuhan menganugrahkan kemakmuran pada umatnya,” tambahnya.
Gunung Agung memiliki filosofi, sebagai 3 naga (Naga Basuki, Naga Ananta Boga dan Naga Taksaka) yang memberikan kemakmuran dan kesejahteraan kepada umatnya. Naga Basuki memberikan kesuburan, Naga Ananta Boga memberikan makanan yang tak pernah habisnya dan Naga Taksaka yang menjaga sirkulasi udara. Dengan begitu, manusia bisa tetap hidup yang disimbulkan dengan api, air dan angin, yaitu 3 unsur yang membuat manusia bisa hidup. Maka itu, pada penampahan mansuia Hindu bisa hidup dengan tenang.
Di Hari Raya Galungan, manusia melaksanakan ritual yang mempersembahan sesaji sesuai dengan kemampuan masing-masing. Pada saat Galungan, manusia tak hanya melakukan persembahyangan di rumah, tetapi juga di tempat-tempat suci, seperti di Pura Panti, Pura Kahyangan Tiga, dan Pura Kahyangan Jagat. Warga Hindu juga melakukan persembahyangan di tempat lain, seperti di beji, sumber-sumber air yang disucikan, di tanah sawah, dan kuburan dengan menghaturkan “punjung” (nyekar) berupa nasi lauk-pauk, air, kopi dan rokok.
Persembahan itu, jelas Prof. Sumadi ditujukan kepada orang tua yang masih dikubur, sehingga anak yang ditinggalkan bisa merasa plong, tanpa beban. Sementara pada malam harinya, umat biasanya melaksanakan yoga juga bersembahyang memuja Tuhan Yang Masa Esa dalam segala manifestasinya. Baik sebagai pencipta, pemelihara dan pemrelina (pemusnah). Pemrelina ini menjadi penting agar sesuatu yang tak berguna lagi mengembalikan keasalnya, sehingga bisa diaur ulang untuk menjadi berguna.
Sehari setelah Galungan, disebut Umanis Galungan, Kamis 9 Juni 2022 masih menjadi rangkaian dari Hari Raya Galungan. Pada saat itu, umat Hindu menghaturkan “banten penganyar” sebuah banten tergolong kecil untuk memohon tuntunan Tuhan, bahwa upacara Galungan sudah dilaksanakan dengan baik. “Pada Umanis Galungan manusia diberikan pencahayaan yang lebih terang, sehingga makin manis yang diisi dengan kegiatan silahturahmi. Istilahnya berwisata local, saling mengunjungi keluarga, teman untuk menguatkan ikatan tali persaudaraan, menyama braya,” paparnya.
Empat hari setelah Galungan disebut Hari Suci Ulihan, Minggu 12 Juni 2022, yang memiliki arti manusia jangan sampai lengah lagi setelah mendapatkan pencahayaan Tuhan. Demikian pula pada Hari Suci Pemacekan Agung, Senin 13 Juni 2022 artinya manusia betul-betul menjadi orang yang kuat, selanjutnya melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas dan kewajiban dengan baik. Selanjutnya, Hari Penampahan Kuningan, Jumat 17 Juni 2022 yang prosesnya sama, bertujuan untuk meniingkatkan lagi kesadaran. Jangan sampai Kalatiga kembali menggoda. Kuatkan jiwa untuk mengatasi godaan hidup. Lalu, Hari Raya Kuningan pada Caniscara Kliwon Wuku Kuningan, Sabtu 18 Juni 2022. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali