Matah Gede, Janda Jantan Ni Calonarang

 Matah Gede, Janda Jantan Ni Calonarang

Teater calonarang merupakan seni pertunjukan Bali yang hingga kini dipandang angker masyarakatnya. Salah satu karakter atau tokoh terpenting dalam drama tari yang tak sembarang waktu dipentaskan ini adalah Matah Gede. Tokoh ini adalah sebutan untuk si janda sihir dari Dirah, Ni Calonarang, sebagai manusia biasa sebelum berubah menjadi ratu leak dalam wujud yang dahsyat menyeramkan, Rangda. Uniknya, pada teater tradisional Bali, penokohan Matah Gede hanya terlihat dalam seni pentas calonarang. Tokoh ini memiliki karakter yang khas dan sekaligus menjadi identitas seni pertunjukan calonarang, salah satu seni pentas Bali yang diduga sudah dikenal tahun 1825, era kejayaan kerajaan Klungkung.

Dalam drama tari Calonarang, Matah Gede hadir dengan jati diri perwatakan, tata busana, dan tata rias wajahnya. Pemberang adalah watak menonjol dari tokoh yang tak pernah lepas dari tongkatnya ini. Jika sedang naik pitam, sorot matanya yang menusuk tajam, dilukiskan pantang dilawan jika tak ingin hangus terbakar. Memakai kain rembang dan kerudung putih serta tata polesan muka beraksen gurat-gurat keriput, penampilan tokoh ini menjadi lain dari yang lain, membangun struktur dramatik dan menghadirkan kekentalan tema utama teater ini yaitu sebagai drama of magic. Keangkeran Matah Gede juga dibangun oleh dominasi tata ucapannya dalam bahasa Kawi (Jawa Kuno).

Teater calonarang dengan tokoh Matah Gede-nya sebagai ratu tenung banyak menarik minat para peneliti dan penulis. The drama of magic adalah sebutan yang diberikan oleh Beryl de Zoete & Walter Spies dalam bukunya Dance and Drama in Bali (1973). Hooykaas dan Meulenhoff dalam bukunya Tjalon Arang Volksverhalen en Legenden uit Bali (1979) menekankan telaahnya pada sastra calonarang sebagai sumber lakon seni pertunjukan calonarang. I Made Bandem dan Frederik Eugene deBoer dalam Kaja and Kelod Balinese Dance in Transition (1981) mengkaji juga drama tari calonarang sebagai magic dance of the street and graveyard. Begitu juga Miguel Cavarrubias dalam Island of Bali (1979) juga tak lupa membahas seni pentas Calonarang.

Baca Juga:  Problematika Penulisan Budaya dan Nasib Wartawan Budaya

Seni pentas calonarang yang hingga kini tak pernah kehilangan gereget itu berangkat dari sumber sastra yang diperkirakan muncul pada zaman pemerintahan raja Airlangga di Jawa Timur. Kiranya De Calonarang (1926), adalah teks sastra calonarang terpenting yang ditranskripsikan dalam bahasa Jawa Tengahan oleh Poerbacaraka dan telah diterjemahkan oleh Dr. Soewito Santoso dengan judul Calon Arang Si Janda dari Girah (1975). Selain dari sumber sastra yang berbentuk prosa itu, Gaguritan Calonarang dalam tarikan puisi pun menjadi acuan signifikan yang mengilhami dan menggiring para seniman seni pertunjukan calonarang.

Hampir dalam semua sumber, baik yang tertulis maupun lisan, Ni Calonarang digambarkan sebagai seorang wanita penganut teluh yang jahat. Dikisahkan ia tersinggung berat hanya karana anak gadis satusatunya, Ratna Mangali, yang sudah dewasa belum ada yang melamar. Karena itu, para laki-laki perjaka dilabrak-labrak dan dimusuhinya. Dalam lakon yang berjudul Katundung Ratnamangali, Ni Calonarang meradang karana pelecehan dan penghinaan menantunya, Raja Airlangga. Ia marah bukan kepalang ketika putrinya diusir secara paksa oleh penguasa Kediri itu dengan tuduhan menebar petaka santet. Padahal Ni Calonarang sendiri sama sekali tak mengajarkan ilmu sesat pada anak semata wayangnya tersebut. Karena merasa harga dirinya diinjak-injak, dengan jantan ia menantang penguasa Airlangga.

Lazimnya, tokoh Matah Gede atau Calonarang dimainkan oleh penari pria yang sudah berumur. Soal umur mungkin untuk memudahkan memasuki karakter tokoh janda Dirah itu yang diinterpretasikan sebagai seorang nenek-nenek yang telah memiliki anak gadis perawan tua. Sedangkan mengenai kebiasaan pemeranan tokoh sihir ini dibawakan oleh aktor pria sudah demikian adanya sejak dulu. Ada dugaan, tranvesti– memerankan karakter berlawanan jenis kelamin–karena Ni Calonarang adalah tokoh wanita yang berkarakter keras yang mungkin lebih pas dibawakan penari pria. Di beberapa kantong seni pertunjukan calonarang di Bali, selain harus pria juga ada syarat tambahan yaitu pemainnya seorang balian atau setidaknya orang yang paham dunia supranatural.

Baca Juga:  Proses Produksi Film “Nyi Rimbit” Ada Banyak Cerita Mistis di Lokasi Syuting

Para penari terdahulu yang dikenang oleh masyarakat Bali sangat piawai memerankan tokoh Mata Gede diantaranya adalah I Rinda (Blahbatuh) dan I Kengguh (Singapadu), keduanya dari Kabupten Gianyar, serta I Monog dari Kedaton, Denpasar. Rinda yang banyak menekuni bidang sastra Bali memukau dengan kedalaman dan kepasihan bahasa Kawi-nya. Kengguh mempesona penonton dengan keindahan tata tarinya, dan Monog menggugah lewat gemuruh suaranya yang menggetarkan. Bahasa Kawi, keterampilan estetik tari, dan warna vokal kiranya harus mutlak dimiliki oleh para seniman yang akan membawakan Si Calonarang ini.

Interpretasi penokohan Ni Calonarang dalam teater calonarang sangat senjang dalam penapsirannya pada film Indonesia yang mengangkat lakon bersumber dari calonarang. Dalam sinemategrafi buatan tahun 1985 itu, Si janda tenung Calonarang dimainkan oleh pemeran wanita. Penapsiran usia si Calonarang pun tidak renta seperti yang gambarkan pada umumnya oleh para pemeran Mata Gede dalam seni pertunjukan calonarang. Di film yang bertajuk “Ratu Sakti Calon Arang”, Si Janda dari Dirah digambarkan sebagai wanita sintal menggairahkan. Artis Suzanna (almarhum) yang memainkan Ni Calonarang memberi penafsiran yang gamang, dihadirkan sebagai wanita sakti yang berprilaku ketus namun kegenit-genitan. [B]

Tulisan ini dibuat untuk menyertai workshop penokohan dramatari calonarang, sekitar 3 bulan lalu.

Kadek Suartaya

Penulis pemerhati seni budaya, dosen ISI Denpasar.

Related post