Ni Ketut Yudhani, “Pramisuari Raja” Biasa Hipnotis Penonton
Teduh, sabar dan setia. Sifat dan karakter itulah yang biasa dilakukan oleh Ni Ketut Yudhani dalam pentas drama gong. Sebagai pemeran pramisuari atau pendamping raja, ia memang lihai dalam memerankan tokoh wanita tua itu. Ia memiliki pengabdian tinggi dalam seni drama gong, serta gigih melestarikan, sehingga diberikan tanda Penghargaan Adi Sewaka Nugraha oleh Pemerintah Provinsi Bali serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-44 tahun 2022.
Wanita kelahiran Bangli, 26 Juni 1953 ini sangat mencintai drama gong merupakan seni pertunjukan drama klasik-kontemporer yang memadukan drama modern dengan kostum tradisional, dekorasi panggung serta musik gamelan Bali itu. Melalui seni peran itu, ia tak hanya malang melintang di Pulau Dewata menyajikan seni peran tradisional itu, tetapi juga di luar daerah, seperti Lombok. Dalam pentas itu, ia selalu memeran pramisuari raja yang sudah menjadi spesialisasinya.
Seperti yang dikutif dari Profil Penerima Adi Sewaka Nugraha Pemerintah Provinsi Bali Dinas Kebudayaan 2022 itu, darah seni Ni Ketut Yudhani memang mengalir dari ayahnya yang seorang penari Legong Terompong. Oleh sang ayah, ia diajarkan menari legong dengan menggunakan gamelan pengiring dari kursi yang dipukul-pukul, sekitar tahun 1961. Ketika itu, ia belajar tari lepas, yakni Tari Margapati yang menceritakan gerak-gerak raja hutan.
Wanita kalem ini, selanjutnya berlatih di puri setelah diketahui oleh Dewa Agung Regent yang tinggal di Denpasar. Ni Ketut Yudhani lalu ikut berlatih di puri setiap hari. Pada tahun 1963, ia diajak ikut festival menari legong di Denpasar. Ketika pentas di GOR Lila Bhuana ia baru merasakan pentas di atas panggung untuk pertama kalinya.
Ketika duduk di kelas VIII SMP tahun 1967, ia baru mengenal drama sandiwara yang menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia. Berawal dari modal seni itu, ia kemudian bergabung dengan Drama Gong Blumbang Kabupaten Bangli. Di sana ia didapuk menjadi pemeran putri dan pentas pertama di Pura Dalem.
Seiring berjalannya waktu, suami seniman drama gong Wayan Kajeng ini selanjutnya bergabung di beberapa grup drama gong seperti Drama Gong Bon Bali, Bintang Bali Timur selama setahun, Bali Dwipa, hingga yang paling lama yakni di Bara Budaya. Selama menjadi pemain drama gong, ia kerap memerankan seorang permaisuri yang tersiksa. Namun, dengan kekuatan peran serta penjiwaan, ia berhasil menghipnotis penonton sehingga ikut masuk dalam peran yang dibawakan.
Pengalaman yang tak bisa Ni Ketut Yudhani lupakan, ketika pentas keliling Bali hingga ke Nusa Penida dengan naik truk. Bahkan, ia juga pernah pentas hingga ke Jawa dan Lombok. Setelah memiliki segudang pengalaman, Yudhani kemudian didapuk menjadi pembina drama gong banjar. Selain itu, juga menjadi pembina dalam Festival Drama Gong Kabupaten Bangli. Juga menjadi pembina taman penasar Kabupaten Bangli, dan pembina drama gong remaja Kabupaten Bangli.
Terakhir Yudhani pentas drama gong pada tahun 2009 lalu. Sehingga 40 tahun lebih hidupnya ia abdikan untuk kesenian drama gong. Selain itu, dirinya juga sempat menjadi pemain sinetron dan terakhir ikut berperan tahun 2010. Selain menjadi seorang seniman drama gong, Yudhani juga dulu bekerja sebagai pegawai administrasi di salah satu SMA di Bangli, sehingga dirinya harus pintar mengatur waktu untuk pentas, pekerjaan di sekolah dan untuk keluarga. Kesenimanannya kemudian dilanjutkan oleh anaknya dengan melanjutkan aktifvitas seni drama gong dan juga tari topeng. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali