“Sisyphus Game” Karya Putrayasa Merespons Fenomena Terinspirasi Mitologi Yunani Kuno

 “Sisyphus Game” Karya Putrayasa Merespons Fenomena Terinspirasi Mitologi Yunani Kuno

Karya-karya perupa Ketut Putrayasa selalu mempesona. Sebut saja salah satunya “Sisyphus Game”, merupakan karya instalasi berbahan baja virkan, stainless, dan kuningan yang tak hanya inmdah namun syarat dengan makna. Sebut saja ketika karya seni rupa berukuran 215 x 230 x 40 cm dengan berat lebih sekitar satu ton itu dipamerkan di Galeri Nasional Indonesia. Selama sebulan, 26 Juli hingga 26 Agustus 2022, karya Putrayasa memikat pengunjung dalam hajatan bertajuk Pameran Seni Rupa Kotemporer Indonesia: Manifesto VIII itu.

Karya Putratasa “Sisyphus Game”, salah satu dari 108 karya perupa Indonesia yang dipamerkan saat itu. Seratus delapan karya yang dipamerkan di galeri bergengsi itu tak lain sebagai ajang gelar kreasi seniman Indonesia, diseleksi dari 613 calon peserta melalui jalur undangan.
Manifesto VIII bertajuk Transposisi, yang dalam pengantar katalog pameran, para perupa diharapkan memiliki kepekaan visioner dan mampu berkontribusi positif bagi kehidupan masyarakat, serta mendorong kemajuan zaman.

Dalam karya yang kreatif konstruktif itu, perupa Ketut Putrayasa menyuarakan kegelisahan batinnya merespons carut marut fenomena social yang terjadi. Pemilik Rich Stone ini kemudian menghadirkan kegelisahan itu lewat karya rupa. Karya satire berjudul “Sisyphus Game” itu mengkritisi fenomena rutinitas kekinian yang menjemukan. Lewat karya itu, Putrayasa dianggap memiliki pandangan intuituf dan cerdas membaca fenomena yang terjadi saat ini.

Sisyphus Game karya Putrayasa terinspirasi dari mitologi Yunani Kuno, di mana kelak, Albert Camus, seorang filsuf Prancis, menukilkannya menjadi esai filsafat perihal pergulatan manusia dengan absurditas. Penalaran absurd, manusia absurd, kreasi absurd, harapan absurd. Judul bukunya Mite Sisifus. Dalam mitologi Yunani, Sisyphus menipu dewa kematian, lalu dikutuk mendorong batu besar ke atas bukit. Begitu ia sampai di puncak, batu menggelinding kembali ke bawah, dan Sisyphus harus mendorongnya kembali. Begitu terus-menerus. Sungguh perjuangan sia-sia dan absurd.

Baca Juga:  Feral Stripes Rilis Single ‘Simon Fraud’: Seorang Pria yang Ambisius

Sisyphus Game

Hal itu dibenarkan pengamat budaya dan penulis kenamaan Bali, Wayan Westa, karena absurditas ini, Camus menolak segala bentuk agama, futurisme atau ideologi-ideologi yang menjanjikan kebaikan di masa depan. Bagi Camus yang berbicara adalah pengalaman indrawi, kongkrit masa kini. Karena itu sulit bagi Camus untuk berbicara mengenai cita-cita atau perencanaan di masa depan.

Dunia ini irasional karena tidak bisa menerangkan adanya kemalangan, bencana ataupun tujuan hidup manusia. Sebab di situ, Camus yang amat mengagumi Nietzsche, menilik absurditas berarti ketidakmungkinan mencari jawab pada yang transenden. “Begitu kira-kira bila boleh meminjam penegasan M. Sastraprateja dari buku bertajuk Manusia Multi Dimensional Sebuah Renungan Filsafat (1983),” ujar Westa.

Namun, lanjut Westa, Sisyphus Game satire baja virkan Ketut Putrayasa tidak tengah membawa pesan filosofi dan tantangan moralitas. Ia lebih menyitir pada satu satire kebudayaan, pada keaadan-keadaan kini yang melanda bangsa dan pulau — di mana bencana, kemalangan, serta krisis multi dimensi selalu dihadapi dengan kerutinan absurd. Nyaris seperti Sisyphus yang dikutuk mendorong batu ke puncak bukit, terjatuh lalu mendorongnya lagi dari bawah.

Sejarah dan pengalaman tak pernah kuasa menyadarkan manusia menemukan terobosan-terobosan baru. Agama, ilmu, sain, tak cukup dibuat berkutik di hadapan bencana yang dihadapi manusia.

Putrayasa lewat karyanya itu, ingin menyuarakan bahwa fenomena tersebut sebuah bentuk penjara kurutinan. Ia sadar, kerutinan adalah musuh paling berbahaya seorang kreator. Kerutinan juga musuh besar bagi pemegang kebijakan publik yang tak menemukan jalan keluar saat krisis menimpa rakyat. [B/*]

Related post