Pentaskan “Subak” di Festival Seni Bali Jani IV. Teater Selem Putih Ajak Renungkan Permasalahan dan Keberadaan Subak

Sekelompok petani bergotong-royong membersihkan aliran sungai. Sambil membersihkan sungai, mereka membicarakan masalah subak, mulai dari soal sulitnya air, sampai berkurangnya sawah karena alih fungsi lahan. Itulah adegan yang mengawali pergelaran Teater Selem Putih dalam ajang Festival Seni Bali Jani (FSBJ) IV yang berlangsung di areal terbuka Gedung Kriya, Taman Budaya Provinsi Bali, Jumat 21 Oktober 2022. Para pemain berperan sebagai petani itu, seakan membuka ruang perdebatan dalam menghadapi fenomena yang terjadi belakangan ini.
Utsawa (Parade) Teater itu, yang menyajikan garapan teater dari Bali Utara itu tampil kreatif dan seakan tanpa batas. Mereka memanfaatkan aliran sungai yang ada Taman Budaya itu sebagai tempat pentas, sehingga penonton yang menyaksikan menyesuaikan tempatnya. Selain kreatif, pergelaran itu juga komunikatif, karena penonton seakan berperan sebagai masyarakat subak. Kegiatan membersihkan sungai yang dilakukan oleh para petani itu, diawali adegan ritual pemujaan air, sehingga menciptakan suasana religius di areal pentas tersebut.
Pada babak selanjutnya, adegan kemudian pindah ke halaman depan Gedung Kriya yang telah disetting sesuai dengan kebutuhan pentas. Areal itu dengan settingan dinding seng, sebagai gambaran ada pembangunan di areal sawah tersebut. Sawah-sawah yang terus tergerus dan berubah menjadi bangunan-bangunan besar dan kokoh. Dalam adegan itu, terjadi peristiwa yang sangat menyedihkan. Seorang petani yang stress membajak sawah di tengah jalan, sehingga terjadi kekacauan lalu lintas. Petani tua itu stres karena lahan sawahnya dijual sang cucu, sehingga lahan sawahnya kini menjadi jalan perumahan.
Teater Selem Putih tampilkan “Subak” dalam ajang Festival Seni Bali Jani IV.
Sementara itu pada adegan yang lain, Raja pada jaman dulu datang ke kehidupan sekarang ini untuk melihat waduk yang dibangunnya. Raja kemudian terkejut karena keturunannya yang kesekian atau disebut klewaran menimbun waduk yang dibangunnya untuk dijual kepada investor. Maka, dalam adegan itu terjadi perdebatan sengit antara Raja sebagai simbul pendukung budaya agraris melawan si klewaran atau keturunan raja yang kesekian dan yang mendukung budaya pramatis. Adegan penutup, menghadirkan para petani bertanya apakah subak masih ada. Mereka cemas karena berdasarkan data di Bali, setiap tahun sebanyak 700 hektar sawah dialih fungsikan.
Penulis naskah yang juga sutradara, Putu Satria Kusuma memang lihai mengkemas fenomena yang ada untuk diangkat dan diperbincangkan di atas pentas. Kritik sosial, juga kritik terhadap lingkungan menjadikan pementasan Teater Selem Putih menjadi lebih aktual. Dengan dukungan pemain yang berpengalaman, perdebatan itupun seperti yang ada dalam kenyataan. Menarik lagi, fenomena itu dikupas serius, tetapi tetap memasukan adegan-adegan lucu, baik melalui gerak atau melalui rangkaian kata-kata. Dialek Buleleng yang khas, sering kali mengundang tawa penonton.
Putu Satria Kusuma mengatakan, Teater Selem Putih memang ingin mengangkat masalah Subak, karena permasalahan dan keberadaan subak perlu direnungkan. Eksistensi Subak bisa dikatakan terancam hilang, karena adanya alih fungsi lahan subak yang masip. “Jika nantinya sawah habis, apakah organisasi subak masih ada? Masalah subak sudah dibahas secara akademis, tapi secara pertunjukan belum. Nah, maka itu saya memainkannya. Siapa tahu pertunjukan saya bisa menggedor kesadaran kita pada keberadaan subak warisan leluhur itu,” harapnya. [B/*]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali