The (Famous) Squatting Dance, Terater Kalangan Kisahkan Lahirnya Tarian Jongkok
Menari dengan posisi jongkok, mungkin itu hal biasa bagi sebagian orang. Tetapi, beda halnya dengan Teater Kalangan. Tarian jongkok itu memiliki makna penting dan mendalam, sehingga menarik untuk digali dan dipelajari. Karena itulah, Teater Kalangan mengangkat garapan terater-tari berjudul “The (Famous) Squatting Dance” pada Utsawa (parade) teater dalam ajang Festival Seni Bali Jani (FSBJ) IV bertempat di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Senin, 17 Oktober 2022. Pada penampilan itu, Teater Kalangan berkolaborasi bersama Arsip Bali 1928, ITB Stikom Bali, Mulawali Institute dan Napak Tuju.
Meski lahir dari sebuah proyek study pertunjukan, namun Penulis Naskah dan Sutradara Wayan Sumahardika begitu lihai merangkai, lalu mengkemasnya ke dalam seni pertunjukan teater yang memang beda. Dalam garapan tersebut, lebih banyak memaparkan tentang jongkok pada “igel” (tari) jongkok itu. Memang, selama ini jongkok bagi orang-orang tertentu dianggap tidak sopan. Padahal jongkok itu menjadi sebuah kelebihan ras tertentu. Sebab, tidak semua ras yang bisa berjongkok. “Igel” jongkok”, yaitu Tari Kebyar Duduk justru lahir di masa kolonial. Nah, apakah itu terinspisai dari kebiasaan Colonial memaksa masyarakat Bali berjalan dengan posisi jongkok.
Penari yang terdiri dari Agus Wiratama, Jacko Wahyu Rizky, Jong Santiasa Putra, Krisna Satya, Putu Ardiyasa dan Tri Ray Dewantara mengupas semua itu dengan gerak, gestur tubuh juga kata-kata yang lugas. Apalagi, menghadirkan Prof. Dr. I Made Bandem, M.A sebagai pelaku tamu dalam pergelaran teater-tari itu, sehingga sajian seni itu semakin manis. Disamping itu, “The (Famous) Squatting Dance” juga disajikan dengan memadukan video moving (audio visual) yang mengisahkan bagaimana munculnya tarian jongkok itu lahir.
Sutradara Suma mengatakan, The (Famous) Squatting Dance merupakan proyek studi pertunjukan yang berupaya membaca laku jongkok sebagai repertoar arsip. Dirinya sangat yakin, kehadiran jongkok tak hanya menjadi keniscayaan manusia semata. Namun, jongkok juga menyimpan ragam pengetahuan, jejaring gagasan, serta berbagai narasi politis-estetis yang hadir dan tumbuh terus menerus dibaliknya. “Karya ini berangkat melalui Arsip Bali 1928, dengan menggunakan material Igel Jongkok karya penari maestro Bali, I Ketut Marya,” ungkap Suma enteng.
Sebagai tari monumental di zamannya, Igel Jongkok menjadi sumber gagasan untuk menguraikan percakapan jongkok dalam bingkai gestur kolonial, situasi transisional yang bergerak secara sirkular, serta bentang kemungkinannya untuk dilihat sebagai keberlanjutan dari kultur local. “Kami ingin menyajikan konstruksi sosial kolonial atas gesture jongkok diintervensi dengan tari yang berdasar pada laku jongkok. Bagaimana inovasi individual tari Igel Jongkok tumbuh sebagai konvensi tradisi komunal? Bagaimana hubungan jongkok dalam kehidupan sehari-hari dan jongkok dalam tari? Dan bagaimana jongkok hari ini? Gambaran dari garapan Teater Kalangan inilah yang menjawab semua pertanyaan itu,” sebutnya.
Dalam pementasan Teater Kalangan saat itu, juga melibatkan Dedek Surya Mahadipa sebagai Pimpinan Produksi, Marlowe Bandem yang mendukung di bagian penyelia dan arsiparis, Wendra Wijaya dipercaya sebagai Manajer Artistik serta Barga Sastrawadi sebagai penata musik serta disukung penabuh UKM Tabuh Bramara Gita ITB STIKOM Bali. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali