Menuju WBTB, Permainan Tradisional Megandu Diverifikasi Kemendikbudristek

 Menuju WBTB, Permainan Tradisional Megandu Diverifikasi Kemendikbudristek

Direktur Pelindungan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek melakukan verifikasi terhadap permainan Megandu.

Tinggal selangkah lagi, permainan tradisional Megandu bakal menjadi Warisan Budaya Takbenda (WBTB) Indonesia. Hal itu diyakini setelah Direktur Pelindungan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melakukan verifikasi terhadap permainan rakyat yang ada di Desa Adat Ole, Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kabupaten Tabanan, Provinsi Bali, Selasa 23 Mei 2023 lalu.

Verifikasi dilakukan oleh Tim Ahli WBTB Indonesia, Totok Sucipto bersama Direktorat Perlindungan Nebudayaan Kemendikbudristek, Saki Adimaputra dan Alwanhadi. Saat melakukan kunjungan ke Desa Adat Ole, Tim Kemendikbudristek didampingi petugas dari Dinas Kebudayaan Provinsi Bali dan Kabupaten Tabanan. Saat itu, Tim verifikasi melakukan dialog langsung dengan tokoh dan masyarakat khususnya yang mengetahui sejarah, nilai, makna dan fungsi dari permainan Megandu itu.

Totok Sucipto mengatakan, kalau melihat hasil dari verifikasi setelah berdialog dan tanya jawab secara langsung kepada maestro, tokoh masyarakat serta pelaku, maka dalam permainan Megandu itu ada pelestarian berantai atau ada efek domino. Artinya, permainan megandu sangat erat kaitannya dengan kelestarian sawah.

Jika sawah tidak ada, maka Megandu tidak akan bisa dilakukan atau Megandu tidak akan ada. Karena seluruh alat-alatnya ada di sekeliling sawah, utamanya jerami. Kalau tidak ada sawah, maka jerami tidak akan ada, maka Megandu juga hilang. Kalau megandu bolanya diganti dengan bola plastik, itu akan lain lagi. “Mungkin beda rohnya, makanya perlu kita catat aslinya seperti apa, dan inilah yang dilestarikan,” katanya.

Baca Juga:  Tradisi “Nyatwa” Kini di Ajang PKB XLV

Permainan Megandu yang asli itu dilestarikan. Kalau selanjutnya ada yang direkayasa dalam pergelarannya, pertunjukan dan sebagainya itu boleh saja. Tetapi, Megandu yang asli itu harus tetap menjadi kaitanya dengan sawah. Kalau tak ada sawah, berarti Megandu tidak ada atau sebaliknya sawah tidak ada, berarti Megandu hilang.

Pada dasarnya permainan tradisional nilainya banyak sekali dan syarat makna. “Ada tadi disebutkan Megandu memiliki nilai kebersamaan, kecepatan, ketepatan, daya tahan tubuh kalau dilihat dari olahraga. Kemudan kejujuran, pembangunan karakter juga bagus. Nah, ini keunggulannya,” sebutnya.

Totok Sucipto lantas menjelaskan, penetapan warisan budaya nasional itu melalui beberapa tahapan sidang penilaian yang sangat ketat. Sidang pertama, menghimbau kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) untuk mengumpulkan dokumen usulan, berupa formulir penetapan, melampiri foto, video dan hasil kajian. “Saat pertama kali melakukan verifikasi administrasi, ada sekitar 750-an ususalan dari seluruh Provinsi se Indonesia. Setelah diverifikasi administrasi, kemudian lolos sekitar 550-an untuk disidangkan pertama sebagai dipenilaian,” jelasnya.

Untuk di tahun 2023 ini, ada yang ditangguhkan karena tidak memenuhi syarat-syarat. Namun, bukan berarti usulan itu ditolak, namun  ada yang harus diperbaiki, sehingga dokumennya dikembalikan ke pengusul untuk diperbaiki. Ada pula yang harus diverifikasi, karena ada data yang belum jelas benar, sehingga melakukan kunjungan untuk melihat maestro apakah masih ada, komunitas pendukung juga ada, kronologis, sejarah dan konsistensi nama. Kemudian ada yang dilanjutkan, artinya sudah memenuhi syarat untuk disidangkan.

Setelah Tim melakukan verifikasi dan memperbaiki semuanya, lalu kembali disidangkan ke tahap dua. Dalam sidang ini, ada yang bisa dilanjutkan dan ada pula yang ditangguhkan karena tidak memenuhi syarat. Walau sudah melakukan perbaikan, kalau ternyata kurang pas, maka ditetapkan pada sidang sekitar Oktober 2023. “Penetapan dimulai sejak 2013, dan yang tercatat sekitar 11706 karya budaya, dan penetapan sampai 2022 kemarin hanya 1728 karya budaya ditetapkan. Sementara di Bali dari 411 yang tercactat, baru 92 yang ditetapkan,” paparnya.

Baca Juga:  Sanctoo Suites & Villas Tunjukkan Eksistensi Bahasa Bali

Targetnya, apakah setelah ditetapkan selesai? Tentu tidak. Ini kembali kepada masyarakat setempat dan pemerintah daerah maupun pusat bersama-sama untuk melestarikan yang budaya ditetapkan itu. “Kadang-kadang repotnya, tergetnya hanya sampai penetapan saja, setelah itu hilang lagi. Padahal bukan seperti itu. Penetapan untuk konsekuensi bagi kita, harus melestaraikan dengan berbagai sebagala cara,” bebernya.

Satu hal yang perlu diingat, sertifikat yang dikeluarkan Kemendikristek menjadi syarat juga untuk dinominasikan ke Unesco. Jadi kalau belum ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia, tidak akan bisa diusulkan ke Unesco untuk menjadi warisan budaya dunia. Saat ini, di Indonesia baru 11 yang ditetapkan Unesco dan 3 diantaranya dari Bali berupa Tari Bali. “Permainan belum ada yang masuk ke Unesco. Mudah-mudahan, kalau memang menarik untuk dijadikan muatan lokal dan bisa dimainkan oleh banyak orang, bahkan di seluruh dunia, mungkin Megandu bisa kita usulkan untuk penetapan menjadi Warisana Budaya Dunia,” harapnya.

Sejarah dan asal usul

Pemainan Megandu mengisahkan tradisi masyarakat agraris setelah masa panen di Desa Adat Ole, Banjar Ole, Desa Marga Dauh Puri, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan. Kabupaten ini termasuk di Desa Adat Ole, merupakan lumbung beras bagi masyarakat. Dulu, setelah panen, anak-anak para petani di Banjar Ole datang ke sawah Megandu di tengah petakan sawah. Masyarakat setempat tidak mengetahui pencipta dari permainan ini, namun mereka hanya diwarisi oleh para leluhurnya dari generasi ke generasi.

Direktur Pelindungan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek melakukan verifikasi terhadap permainan Megandu/foto: ist

Pada saat diverifikasi itu, Wayan Dana (71 tahun) yang juga selaku Kelian Adat Ole mengatakan, pada tahun 1958 ketika dirinya berumur 9 tahun sudah menemukan permianan Megandu. Hanya saja, belum pernah terlibat sebagai peserta permainan yang memanfaatkan sawah sebagai pusat bermain. Ia harus meninggalkan desa untuk mengais naskah di lain banjar.

Sementara I Wayan Weda (65 tahun) penggali dari perminan ini mengaku, sudah menyaksikan permainan megandu sejak tahun 1968. Namun, ia tidak boleh diijinkan terlibat sebagai pemain karena masih kecil. Seiring dengan perjalanan waktu, Weda yang harus menuntut ilmu ke kota, sehingga tak tahu menahu dengan perkembangan permainan itu. Konon permainan itu jarang dilakukan oleh anak-anak.

Setelah ia diangkat menjadi guru pada 1980 di SMP N 3 Tabanan, ia mengajar seni budaya termauk permainan tradisional. Ia mulai menggali permaiann tradisional yang ada di Tabanan. Pada tahun 1983, ia menggali permainan Megandu pada pemuka Desa, Alm Wayan Gerda. Setalah mendapat data yang cukup, ia kemudian mempratekan kepada anak-anak yang langsung disaksikan oleh Alm Wayan Gerda.

Meski telah dirasa cukup, Megandu tidak dimainkan karena belum memiliki komunitas anak-anak yang suka dengan permainan tradsional. Weda yang selalu memiliki kesempatan mementaskan permainan tradisional dalam ajang Pesta Kesenian Bali (PKB). Setelah bertugas sebagai guru di desanya, ia kemudian mendirikan Sanggar Wintang Rare pada 1995 yang khusus untuk memperkenalkan permainan tardisional pada anak-anak.

Pada 1998, Permainan Megandu dipenaskan dalam ajang PKB. Dalam pentas ini melibatkan pemain wanita dengan iringan musik serta penataan busana pentas. Megandu yang dilakukan setelkah rekontruksi itu sedikit beda dari aslinya. Jika dulu Megandu hanya dilakukan oleh anak-anak pria tanpa baju, namun dalam pentas diisi dengan penataan busana dan iringan, sehingga menjadi sajian yang menarik. Demikian seterusnya, kalau Megandu dipentaskan, baik di atas panggung ataupun di sawah.

Salah satu petani di desa itu, I Wayan Sumajaya (54 tahun) memaparkan fungsi serta hubungan Megandu dengan petani dan sawah. I Nyoman Budarsana (52 tahun) memaparkan komunitas seni yang mempertahankan serta cara-cara melestarikan permainan Megandu. Sementara I Made Aris Sumiartha (35 tahun) dan Ni Luh Atik Rasmini (18 tahun) memaparkan pengalaman dan apa yang dirasakan saat melakukan permainan Megandu, serta menjelaskan alat-alat juga cara memainkannya. Lalu I Wayan Erik Indrawan (28 tahun) dan Ni Wayan Haris Handayani (26 tahun) yang sempat melakukan penelitian Permainan Megandu sebagai syarat mengikuti ujian Sarjana (S1) memaparkan nilai dan makna Megandu.

Permainan Megandu mengandung nilai, makna dan fungsi

Permainan tradisional salah satu unsur budaya bangsa yang banyak tersebar di berbagai penjuru nusantara terutama pada masyarakat pedesaan. Permainan Megandu merupakan permainan lempar-lemparan dengan menggunakan media jerami yang dibuat bulat dengan cara menganyam (seperti bola). Arena permainan Megandu menggunakan petakan sawah, sehabis panen. Permainan magandu merupakan permainan rakyat dengan menggunakan sarana jerami dianyam sebagai bola, tali ‘kupas’ (pelepah pisang kering yang disambung-sambung) atau memakai tali guntung (pelepah daun kelapa yang diambil bagian tengahnya) serta tongkat (tiang) dari kayu apa saja yang ada di sawah sebagai tiang tempat mengikat tali.

permainan megandu
Permainan tradisional Megandu di Desa Adat Ole.

Makna permainan Megandu diantaranya;

  • makna kebersamaan (mengajarkan anak agar bisa beradaptasi dengan lingkungan, menciptakan kesepakatan bersama yang dibuat untuk memberi makna bagi tindakan bersama),
  • makna etika dan moral yakni Asih Punia Bhakti, Sabriuk Sapanggul (bekerja bersama), Paras Paros (serasi dan selaras), Jengah, Pakedek pakenyung (bahagia bersama) dan tenggang rasa.
  • makna pendidikan (berorientasi pada pendidikan nonformal karena system pendidikannya diajarkan di luar bangku sekolah
  • makna rekreasi (hiburan)

Makna dalam olahraga

  • kelincahan, ada pada peserta pencuri bola gandu
  • kecepatan, saat penjaga yang menjaga bola gandu
  • daya tahan tubuh, karena bermain dengan berulang-ulang

Nilai yang terkandung dalam Megandu;

  • pendidikan karakter bersifat religius,
  • nilai karakter bersifat Jujur,
  • nilai karakter bersifat disiplin,
  • nilai karakter bersahabat/komunikatif,
  • nilai karakter bersifat kreatif,
  • nilai peduli lingkungan,
  • nilai karakter bekerja keras,
  • nilai karakter bersifat demokratis
  • nilai karakter peduli sosial

 Direvitalisasi

Pada tahun 1983, ia menggali permainan Megandu pada pemuka Desa, Alm Wayan Gerda. Setalah mendapat data yang cukup, ia kemudian mempratekan kepada anak-anak yang langsung disaksikan oleh Alm. Wayan Gerda.

Komunitas melestarikan Megandu

Dua komunitas (sanggar seni) di Desa Adat Ole yang selalu menjaga dan melestarikan permainan yang mungkin satu-satunya ada di Desa Adat Ole. Kedua Sanggar itu adalah Wintang Rare (didirikan 1995) dan Buratwangi (berdiri 2004) yang focus pada seni tari, tabuh, musik dan sastra. Setelah Megandu dipentaskan dalam ajang PKB, permainan Megandu kembali buming. Permainan ini sering diundang untuk mengisi acara penting, khususnya terkait dengan dunia anak. Bahkan, sempat diperkenalkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Tabanan dalam rangka memasukan muatan local dalam dunia pendidikan khususnya siswa SD. Tak hanya itu, kedua sanggar ini kemudian menggelar Festival Ke Uma (ke Sawah) sejak 2017. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post