Prof. Dibia Garap Buku “I Ketut Maria Pahlawan Seni Kebyar Bali” Diluncurkan pada HUT Kota Tabanan

 Prof. Dibia Garap Buku “I Ketut Maria Pahlawan Seni Kebyar Bali” Diluncurkan pada HUT Kota Tabanan

FGD dalam rangka pelucuran buku “I Ketut Maria Pahlawan Seni Kebyar Bali”/Foto: dok.balihbalihan

Masyarakat dunia, khususnya pecinta seni hanya mengenal I Ketut Mario sebagai pencipta Tari Oleg Tamulilingan, Kebyar Duduk dan Kebyar Terompong. Padahal masih banyak tari Bali yang ia ciptakan berdasarkan pengalaman serta ide-ide kreatif dan cerdas.

Kisahnya pun sangat menarik, penuh eksentrik dan romantis. Kecerdasan serta akal yang dimiliki membuat perjalanan hidupnya semakin hidup. Ketika bertemu dengannya, orang selalu senang karena pandai memikat hati. Kelihaiannya menari membuat namanya kesohor hingga ke mancanegara.

“Ide kreatif Mario perlu dilestarikan dan diturunkan kepada para generasi muda,” kata Kepala Dinas Kebudayaan (Disbud) Tabanan I Made Yudiana dalam Focus Discussion Group (FGD) dalam rangka pelucuran buku “I Ketut Maria Pahlawan Seni Kebyar Bali” oleh Prof. I Wayan Dibia, SST, MA di Kantor Majelis Desa Adat (MDA) Tabanan, Kamis 5 Oktober 2023.

Hal itu penting untuk menumbuhkan rasa memiliki dan bangga dengan tanah kelahiran. Kegiatan FGD ini juga penting mengingat karya-karya Mario sangat terkenal dari dulu hingga digandrungi anak-anak di jaman ini. Sebut saja, Tari Terompong dan Oleg Tamulilingan yang banyak ditarikan anak-anak muda kini.

“FGD ini selaras dengan visi pembangunan Kabupaten Tabanan 2021-2026, yakni Nangun Sat Kertih Loka Bali melalui pola pembangunan semesta berencana Kabupaten Tabanan menuju Tabanan Era Baru yang Aman, Unggul, Madani (AUM),” sebut Kadis Yudiana.

Kegiatan FGD ini untuk menggali masukan serta tambahan data, sehingga kisah perjalanan berkesenian I Ketut Maria (Mario) menjadi semakin lengkap. Data profil Maestro asal Tabanan yang ada ini telah dikumpulkan oleh Prof. Dibia melalui membaca buku-buku yang menulis Mario sebelumnya.

Untuk mendapatkan tambahan data, perlu juga menggali secara langsung dari orang-orang yang pernah dekat dengan Mario. “Saya masih membutuhkan data tambahan untuk melengkapi isi buku “I Ketut Maria Pahlawan Seni Kebyar Bali” ini,” kata Prof. Dibia.

Baca Juga:  Lima Seniman Menerima ‘Adi Sewaka Nugraha’ dan Tiga Menerima ‘Parama Bhakti Budaya’

FGD yang digelar Disbud Kabupaten Tabanan itu menghadirkan para tokoh di Tabanan, keluarga dan warga yang desanya sempat menjadi tempat berkesenian Mario. FGD yang dimoderatori oleh Kadek Wahyudita ini memang untuk menggali masukan ataupun koreksi terhadap draf buku itu.

“Karena itu, ketika buku ini diluncurkan isinya akan semakin lengkap. Saya sangat berbahagia sekali bisa ada dalam kegiatan FGD ini untuk mengkaji perjuangan Mario dalam bidang seni kebyar,” ucap Guru Besar Purnabakti Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini.

FGD dalam rangka pelucuran buku “I Ketut Maria Pahlawan Seni Kebyar Bali”/Foto: dok.balihbalihan

Mario merupakan seorang maestro dan sangat tepat disebut pahlawan, karena perjuangannya dalam seni kebyar. Tanpa Mario, gong kebyar tidak akan sepopuler seperti sekarang ini. “Seni kebyar adalah sebuah produk budaya modern,” imbuh pelaku dan pemerhati seni Bali ini.

Pada tahun 1915, awal gong kebyar tak seperti sekarang. Hanya saja sudah berbentuk konsep, namun gamelan itu sudah biasa dipakai untuk memainkan gending atau mengiringi tari. “Mario memiliki pengalaman hidup selama 71 tahun yang kisahnya agak berliku, sehingga menarik untuk ditulis kembali,” paparnya.

Pria yang kini aktif menulis puisi itu memulai dari kisah orang tua Mario yang berasal dari Banjarangkan, Klungkung. Ketika musim paceklik, keluarga ini kemudian pindah ke daerah Denpasar. Di kota Provinsi Bali ini Mario kemudian mengenal Tari Gandrung.

Namun, karena merasa beban hidup semakin besar serta situasi politik (penjajahan), Mario bersama keluarganya kemudian menuju Tabanan. Keluarga ini sampai di Desa Tunjuk, lalu bekerja pada pedagang Cina di desa itu.

Karena sering diajak berdagang ke Kota Tabanan, Mario kemudian dikenal keluarga puri. Mario bersama keluarganya kemudian memarekan (menjadi abdi) di Puri Tabanan. Di puri, Mario kemudian mengenal seni kebyar hingga mencipta tari-tari kekebyaran.

Baca Juga:  Arma Library Talk; Perbincangkan Perjalanan Rudolf Bonet dan Wujudkan Laboratorium Kreatif Anak Muda

Mario hidup yang seorang buta hurup, namun memiliki kecerdasan dan banyak akal. Ia tak pernah ragu dan selalu percaya diri, sehingga pekerjaan sebagai seorang pengantar surat dapat dijalani dengan baik. Karya-karyanya lebih banyak lahir dari lingkungan tempat tinggalnya yang daerah agraris.

Mario juga sering didupuk menjadi duta seni ke berbagai negara di dunia. “Sekali lagi, saya membutuhkan masukan dari peserta FGD untuk melengkapi isi buku ini. Buku ini rencananya akan diluncurkan pada peringatan Ulang Tahun Kota Tabanan, November 2023 ini,” tegas Prof. Dibia.

Nengah Medera memberi masukan, dalam buku ini nantinya penting disampaikan kecerdasan dan banyak akal Mario. Bermodal dari kecerdasan dan banyak akal itu membuat dirinya selalu percaya diri. Meski sesungguhnya Mario tak bisa membaca dan menulis, namun kecerdasan dan akal yang dimiliki membuatnya selalu lolos dari masalah.

Perwakilan dari Ida Cokorda Anglurah Tabanan mengusulkan perlu diceritakan lebih jelas “lelintihan” keluarga Mario dari orang tua hingga anak-anaknya. Penting juga melengkapi dengan dengan kisahnya saat tinggal di puri, melatih di masyarakat, serta kegiatannya sehari-hari di masyarakat.

I Gusti Putu Bawa Samar Gantang menegaskan, Mario itu seorang yang eksentrik, romantis, dan imitasi. Saat ia bersama anak-anak lainnya berada di sawah, ia pernah didatangi orang yang bertopi keboi, baju jas, memakai dasi, tetapi memakai celana pendek. Ternyata orang itu adalah Mario. Gaya atau penampilan berbeda dari orang tua pada umumnya.

Mario sebagai seorang romantis, ia sempat berburu memakai senapan berisi keker, namun bukan membidik burung, namun keker itu membidik orang mandi yang berada di kejauhan. Paling unik, ketika Mario berbicara kepada orang, itu dilakukan dengan gerak, seperti menari.

Baca Juga:  Made “Dolar” Astawa: Tak Hanya Seni Lukis, Tapi Hal Hal Disekitarnya.

“Kebiasaan Mario yang saya masih ingat, ia biasa menari dihadapan kami lalu memberikan kami uang. Biasanya penari yang dibayar, tetapi justru Mario yang menari lalu membayar penonton. Itulah sifat eksentrik Mario,” terang sastrawan ini.

Sementara Prof, Dr. I Nyoman Suarka, M.Hum. mempertanyakan karya-karya Mario, apakah itu sebagian besar karyanya lahir dari permintaan orang lain. Adakah, ide lahir dari dirinya sendiri. Hal ini, penting diungkap, sehingga masyarakat mengetahui bagaiman sesungguhnya Mario itu menciptakan seni tari yang disenangi sepanjang jaman.

Sedangkan Perbekel Delod peken memberikan masukan kepada penulis untuk lebih menjelaskan keterkaitan Mario terhadap Sekaa Gong Banjar Pangkung. Bahkan tokoh desa ini pun mengajak penabuh yang sempat diajak Mario menjalani misi kesenian di luar negeri. [B/*/puspa]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post