Berpulangnya I Made Subandi, Ada Banyak Kenangan Dihati Pecinta Seni
Bagai sebuah festival seni yang unik. Sehari menjelang upacara pengabenan, Minggu 22 Oktober 2023, rumah I Made Subandi menjadi ajang seni bagi para seniman yang merupakan teman dekatnya. Silih berganti pelaku seni dari berbagai daerah itu tampil sebagai bentuk penghormatan terakhir.
Sebut saja penampilan para seniman karawitan dan tari angkatan I Made Subandi saat menimba ilmu di Kokar, SMKI atau SMKN 3 Sukawati (sekarang) memainkan geguntangan. Mereka tampil secara dadakan, sesuai anggota dan alat musik yang ada. Bahkan, guru mereka Desak Made Suarti Laksmi ikut matembang.
Sebelum itu, tampil Gamelan Cudamani, penari yang juga dalang I Ketut Kodi menari topeng yang diiringi oleh siswa DMKN 3 Sukawati, dan ada pula penari arja dan pemain drama gong Ni Wayan Suratni CS dan banyak lagi lainnya.
Sementara warga Banjar Buda Ireng, Desa Batubulan Kangin, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar sibuk mempersiapkan wadah dan lembu yang memiliki fungsi sebagai perlengkapan untuk melaksanakan ritual ngaben besoknya, Senin 23 Oktober 2023.
I Nyoman Sunarta, adik kandung I Made Subandi mengatakan, kakaknya meninggal secara mendadak pada, Senin, 16 Oktober 2023 malam. Kepulangan seniman karawitan ini membawa kisah dari masing-masing orang yang pernah dekat dengannya. Masing-masing dari mereka berkisah dalam dunia maya.
Bagaimana tidak, Alm. I Made Subandi memiliki gaya yang unik dan kreativitas tinggi dalam dunia seni, sehingga masing-masing memiliki kenangan tersendiri yang sulit dilupakan. Entah itu teman dekatnya, anak didiknya, seniman dan masyarakat pecinta seni.
“Kakak meninggal setelah bermain tenis meja. Usai bermain, ia kemudian duduk langsung jatuh. Kemudian dilarikan ke rumah sakit. Namun, dalam perjalanan sudah meninggal,” kata I Nyoman Sunarta.
Semasih hidup, I Made Sunadi menjadi sebuah panutan, terutama di kalangan pecinti seni tradisi, khususnya karawitan. Karya-karyanya memiliki karakter tersendiri, dan selalu menjadi motivasi karena ia seorang seniman multi talent.
Generasi muda utamanya, sangat mengagumi I Made Subandi karena katya-karyanya. Setiap karya yang digarapnya, memiliki kekhasan tersendiri, gayanya beda dan disegani khususnya bagi pecinta seni. Baik mereka yang ada di Bali ataupun di luar negeri.
“Kakak memiliki banyak anak asuh dibidang seni. Tak hanya di areal Bali saja, tetapi juga di luar daerah bahkan luar negeri, seperti California. Pengkarakterannya identik dengan udeng nyaplir, kenyat ngajar, tetapi memiliki humoris tinggi,” ungkap Sunarta.
Anak asuhnya menjadikan ia tauladan. Musik apapun yang ia miliki, garap selalu ada nuansa gender wayang yang sudah menjadi kekhasannya. I Made Subandi bisa memainkan berbagai alat musik, dan garapannya identic perpaduan dengan vokalis yang sangat khas.
Gong kebyar kembali dilombakan agar tak monoton
Salengko, demikian sebutnya saat menjadi mahasiswa seni di STSI (ISI sekarang) juga memiliki kisah menarik dengan I Made Subandi. Ketika menyaksikan Lomba Gender Wayang Anak-anak pada perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB) tahun 2023, ia sempat ngobrol seni dengannya.
Penonton fanatik lomba Gender Wayang saat itu banyak memberi apresiasi. Teknik permainan para peserta tergolong tinggi dan penuh kreativitas. “Kalau acara PKB sudah dilombakan pasti menjadi lebih menarik,” ucap Salengko menirukan kata I Made Subandi.
Mereka menjadi lebih semangat untuk mempetahankan identitas daerahnya masing-masing karena sudah menjadi gengsi. Kalau sudah membawa nama lomba, pasti menyajikan lebih hati-hati dan lebih dipikirkan. Berbeda dengan parade mungkin bisa gasar-geser dan kreteria mungkin biasa dilanggar.
Kalau semasih lomba, penontonnya pasti ramai. Hal itu bisa dilihat dari kreativitas, materi dan kualitas alat musik sebagai upaya mempertahankan harga diri dari masing-masing duta kabupaten dan kota. “Saya harapkan bukan gender wayang saja yang dilombakan, materi yang lain pun perlu dilombakan,” ucap Salengko lagi-lagi menirukan katanya.
Setiap lomba itu memang ada resiko. Tetapi, apapun pekerjaan ada resikonya. Kalau lomba yang benar-benar ada payung hukum pasti akan bagus. Materi yang dilombakan pasti pasti ada tantanganya untuk lebih merubah, menginovasi dari tahun ketahun karena semua tidak mau kalah.
Banyak yang mengatakan lomba gong kebyar itu menjadikan sebuah keseragaman atau mengacu pada satu stil. I Made Subandi tak percaya karena tak ada buktinya. Menurutnya, itu bukan alasan untuk tidak menggelar lomba, karena ada standarisasi juga ada orang yang membina,
Sebut saja dalam lomba bleganjur penontonnya selalu membludak. Materi bleganjur hanya satu saja. Berbeda dengan gong kebyar, materinya ada dalam bentuk tari, tabuh kerasi, sehingga ada banyak penilaiannya. Kalau setahun tak memungkinkan, bisa saja digelar 5 tahun sekali.
“Bisa pula melombakan gong kebyar khusus anak-anak atau sebaliknya, sehingga ada suasana energy baru. Karena tidak dilombakan itu yang membuat parade gong kebyar menjadi monoton. Penampilan masing-masing peserta “sekita arep” (seenaknya) karena tidak ada kreteria,” usulnya. [B/darma]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali