Arma Library Talk; Perbincangkan Perjalanan Rudolf Bonet dan Wujudkan Laboratorium Kreatif Anak Muda

 Arma Library Talk; Perbincangkan Perjalanan Rudolf Bonet dan Wujudkan Laboratorium Kreatif Anak Muda

Bincang seni pustaka Arma/Foto: ist

Sore itu, suasana Museum Arma Ubud sedikit beda. Jika pada hari-hari biasanya ramai dikunjungi wisatawan utamanya mancanegara, namun pada sabtu 20 April 2024 itu justru dihadiri para tokoh seni, seniman, seni rupa ataupun mahasiswa seni.

Kehadiran mereka bukannya menyaksikan pameran ataupun mengikuti kegiatan melukis, melainkan mengenal sosok pelukis asing melalui kegiatan bincang seni yang bertajuk “Library Talk”. Acara kali pertama ini berlangsung hangat dan sangat hidup.

Sebuah panggung atau ruang bincang seni digagas oleh Anak Agung Gede Yudi. Sore yang adem itu menghadirkan narasumber budayawan sekaligus kritikus seni asal Prancis Dr. Jean Counteau dan Agung Rai pendiri Arma.

Pesereta dari berbagai kalangan utamanya mahasiswa seni, budayawan, dan perupa mengikuti acara berbagi wawasan dan pengalaman seni itu. “Program Library Talk ini untuk mewujudkan laboratorium kreatif bagi anak-anak muda Bali,” kata Agung Yudi sapaan akrabnya.

Baca Juga:  I Wayan Seregeg dan I Wayan Mudita Adnyana Menerima Penghargaan Bali Kerthi Nugraha Mahottama

Warung Kopi Museum Arma sebagai tempat untuk berbagi pengetahuan, khususnya terkait dengan seni lukis dan perkembangannya. “Kita bisa mulai dari diskusi seni berdasarkan buku yang dipilih dari perpustakaan Arma,” jelas Agung Yudi dalam bincan itu.

Pembahasan buku ini dikaitkan dengan karya-karya maestro Bali yang dipasang di dalam Museum. Hal itu dimaksudkan sebagai inspirasi dan bahan pembelajaran bagi generasi muda. Karena itu, acara Library Talk dihadiri para generasi muda.

Agung Rai pendiri Arma menyerahkan Buku Museum kepada Jean Counteau /Foto: ist

Dengan begitu, bincang seni ini mampu menjadi stimulan bagi anak-anak muda agar mulai kembali mengunjungi ruang publik seni seperti gallery dan Museum. “Kami berharap anak-anak muda nantinya memiliki rasa kecintaan terhadap seni dan warisan budaya Indonesia yang adiluhung,” ucapnya.

Dalam bincang seni itu, Agung Yudi sengaja memilih buku berjudul “Pioneers if Balinese Painting – The Rudolf Bonnet Collection” dari Helena Spanjard. Buku ini menjadi koleksi Museum Arma, dan kini diperbincangkan, sehingga menjadi sumber pengetahuan.

Buku ini merupakan koleksi Arma Museum, dimana isinya merangkum kisah perjalanan seniman Belanda Rudolf Bonnet ( 1895-1978) selama di Bali dan memuat koleksi karya seni yang dikumpulkan antara tahun 1929- 1978.

Baca Juga:  Gusti Nyoman Lempad dan Karya-karya Monumentalnya

Ketika itu Bonnet bekerja dan tinggal di Ubud. Sejumlah pelukis yang karya-karyanya dikoleksi oleh Bonnet, yaitu Ida Bagus Kembeng, Ida Bagus Muku, Ida Bagus Gerebuak, I Gusti Nyoman Lempad, A.A Gedw Sobrat, Ida Bagus Made, I Gusti Ketut Kobot, A.A Meregeg, I Dewa Nyoman Mura, I Ketut Ngendon, I Tomblos dan lain-lain.

Dalam pandanganya Agung Rai menceritakan lahirnya karya-karya Pengosekan, Padangtegal, sesungguhnya karya-karya yang berbeda. Masing-masing memiliki keunggulan. “Setelah Walter Spies, baru muncul Bonnet yang mendorong perpaduan gaya lukisan secara teknik, sehingga berkembang hingga kini,” paparnya.

Kehadirana orang-orang Barat tidak serta merta merubah lokalitas perupa Bali. kelokalan itu tetap dipertahankan, sehingga karya yang dihasilkan memiliki karkater. Hal itu, juga menciptakan gaya yang berbeda-beda, sehingga dengan banyak copy right.

Budayawan asal Prancis dan menetap di Bali, Jean Conteau memaparkan, keberadaan perupa barat di tahun 1920 an, telah memberi pengaruh kepada anak-anak pribumi. Sebut saja dengan hadirnya lembaga pendidikan atau sekolah.

“Saat itu mulai ada perubahan pola pikir orang Bali. Orang asing mengubah mentalitas orang pribumi, mulai diperkenalkan kertas, beragam warna cat, hingga kendaraan-kendaraan. Begitu pun produk-produk orang Bali mulai dibeli orang asing,” ungkapnya.

Namun, Jean Conteau memberi catatan kedatangan perupa barat terutama Bonnet ke Bali khususnya Ubud, mereka pernah mendidik pola Barat. Dimana saat itu perupa klasik Bali sedikit kaget melihat pola lukisan barat.

Yakni lebih mengenal gaya realis, klasik gaya Eropa. Sedangkan di Bali gaya pewayangan masih kental. “Ketika orang Bali pertamakali menyaksikan seniman asing yang melukis, mereka menarasikan rialis, namun banyak seniman lokal tidak tertarik,” ucapnya.

Saat itu, orang Bali lebih menarik melukis Wayang. Namun, kelebihan garis-garis itu dipahami oleh seniman Bali, sehingga ada satu keunggulan tersendiri dalam memajukan gaya seni lukis Ubud dan sekitarnya. “Itu kemudian mewarisi karya-karya hebat seniman Ubud hingga sekarang,” sebutnya. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post