Peluncuran Buku ‘Agung Rai Museum of Art The Sidelined Prince and His Collection’. Perayaan Kecintaan Terhadap Seni Budaya
Acara ini adalah peluncuran buku berjudul “Agung Rai Museum of Art: The Sidelined Prince and His Collection” untuk memaknai 28 tahun keberadaan Museum Agung Rai Museum of Art (ARMA). Namun, peserta yang hadir kebanyakan para sahabat, sehingga mirip sebuah reuni.
Suasananya juga penuh keabraban, seakan menjadi sebuah acara temu kangen. Peluncuran buku tersebut, seakan mempertemukan persahabatan yang terjalan tempo dulu. Mulai dari tokoh budaya, seniman, dan masyarakat pecinta seni baik dari dalam maupun luar negeri.
Ya, suasana malam di ARMA Open Stage, Jalan Raya Pengosekan, Ubud tempat peluncuran buku Agung Rai Museum of Art: The Sidelined Prince and His Collection, Senin, 10 Juni 2024 itu memang beda dari biasanya. Angin malam dan aura tumbuhan local, terasa damai.
Kehadiran buku ini merupakan sebuah persembahan sekaligus perayaan yang mencerminkan dedikasi dan kecintaan Anak Agung Gde Rai terhadap seni budaya. Itu juga, menggambarkan persahabatannya yang lintas bangsa, berikut kehadiran ARMA yang lintas masa.
Buku Agung Rai Museum of Art: The Sidelined Prince and His Collection ditulis oleh Jean Couteau dan Warih Wisatsana, dan diterbitkan atas kerja sama Penerbit Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan Museum ARMA.
Buku ini setebal 326 halaman ini merupakan karya-karya adiluhung seniman klasik dan tradisional ataupun modern Bali, maestro seniman modern Indonesia, termasuk seniman-seniman luar negeri mumpuni. Keragaman koleksinya, melalui tahapan seleksi dan kurasi yang teliti.
Di samping itu, dikenal memiliki standar tinggi dan bereputasi internasional. Agung Rai Museum of Art atau ARMA telah dirintis oleh Anak Agung Gde Rai (Gung Rai) bersama sang istri Anak Agung Rai Suartini (Gung Biyang) sedini tahun 1985.
Museum ini diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, Prof. Dr. Ing Wardiman Djojonegoro pada Minggu, 9 Juni 1996. “Gung Rai merupakan sosok yang bersahaja, tenang, dan santun,” kata Putu Suasta, project coordinator penerbitan buku ini.
Namun, sosok itu akan segera menyala-nyala begitu diajak bicara perihal kebudayaan dalam, arti seluas-luasnya. Sebab, Gung Rai selalu berpikiran visioner dan memiliki cara pandang yang unik terhadap isu-isu kebudayaan dan dinamika sosial kebudayaan,” ujar Putu Suasta yang juga aktivis dan pengamat budaya.
Putu Suasta menegaskan, ARMA bisa menjadi museum hub atau model jejaring perputaran kebudayaan yang mewakili Indonesia dan mempertemukan publik internasional. Pada pengantar buku itu, Presiden Joko Widodo secara khusus menyampaikan apresiasinya.
Pada pengantar itu, Presiden Jokowi juga menilai penting kehadiran dan peran strategis ARMA, sebagaimana keberadaan museum-museum terkemuka di tanah air, yakni sarana mempertemukan pusaka budaya masa lalu dan masa kini.
Keberadaan ARMA selama 28 tahun senantiasa menjunjung visi-misi pendiriannya, yakni turut melestarikan dan mengembangkan seni-seni adlihulung klasik dan tradisi, serta karya-karya modern dan kontemporer sebagai bagian dari dinamika kekinian.
Selain mengembangkan dan memperluas koleksi-koleksi karya seni pilihan, ARMA terpanggil menyelenggarakan berbagai kegiatan kebudayaan secara berkesinambungan, untuk nasional dan internasional. Sejumlah peristiwa seni budaya penting bagi Indonesia dan dunia digelar di ARMA.
Diantaranya: Kongres Bambu Internasional dengan tema “Bambu, Manusia dan Lingkungan Hidup” pada 19 Juni 1995. Ditandai pagelaran musik rakyat yang diikuti seniman-seniman berbagai negara. Kegiatan berskala internasional ini dihadiri tokoh-tokoh dunia seperti penulis buku kontroversial Megatrend 2000 John Naisbitt, Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore, Perdana Menteri Costa Rica, dan ilmuwan Paul Hankiss.
Tidak ketinggalan dari Indonesia hadir Menteri Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmadja, Menteri Pariwisata Joop Ave, budayawan yang juga mantan Menteri KLH Emil Salim.
Peristiwa “Quest For Global Healing I”, pada 3-4 Desember 2004, yang dihadiri sekitar 450 tokoh dunia, termasuk di antaranya Pemenang Nobel Perdamaian, Arkbishop Emeritus Desmond Tutu.
Juga Pameran “Asian Watercolor Confederation 2005” se-Asia Pasifik (China, Hongkong, Korea, Myanmar, Jepang, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Indonesia, Australia dan Amerika).
Tercatat pula, ARMA pernah menyelenggarakan Pameran Sergio Lopez Orozco dari Meksiko dengan tajuk “Homage to Miguel Covarrubias” dan Peringatan seabad Walter Spies (1895-1955), kerja sama pemerintah Jerman (Goethe Institut), pemerintah Indonesia dan ARMA.
ARMA juga berkolaborasi menyelenggarakan festival internasional Puja Saraswati, pada 27 November 2015 di Washington DC. Diikuti Kedutaan Besar dan Konsulat Indonesia di seluruh dunia sekaligus peluncuran buku “Saraswati in Bali: A Temple, A Museum and Mask” ditulis oleh Prof. Ron Jenkins dari Universitas Harvard, Amerika Serikat, bersama budayawan Prof. Dr Made Bandem asal Bali.
Apresiasi lintas bangsa Pesona ARMA tidak hanya menarik perhatian para pengunjung lokal, tetapi juga mengundang perhatian dari berbagai belahan dunia, yang berharap untuk melihat presentasi terbaru tentang seni budaya Bali.
Bahkan, kedatangan Presiden Obama dan Michelle Obama ke museum ini, terjalin erat dengan lingkungan alami, menjadi bukti konkret dari reputasi yang memikat ini. Kehadiran tokoh-tokoh internasional lainnya, seperti Penerima Nobel Perdamaian asal Afrika Selatan, Arkbishop Emeritus Desmond Tutu, juga menghiasi acara-acara seni budaya di ARMA.
ARMA selama ini juga turut mengumandangkan keindahan dan capaian seni budaya Bali yang adiluhung, melalui berbagai muhibah seni ke berbagai kota di seluruh dunia, seperti Tokyo, Kyoto, Darwin, Sydney, Bassel-Swiss, Paris, Den Haag, Amsterdam, Venisia, Beijing, Singapura, Bosnia, Kroasia, Barcelona, dan Istanbul.
Mohamad Oemar, Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBBP) Republik Indonesia untuk Prancis, Andorra, Monako, serta Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO, mengapresiasi dan mengungkapkan rasa bangganya atas prestasi dan dedikasi ARMA selama ini.
“Satu hal yang membuat saya bangga adalah budaya dapat kita lestarikan bersama (sehingga bisa) menjadi satu rujukan bagi generasi muda dan generasi selanjutnya. Melalui museum kita bisa menyebarkan nilai-nilai budaya Indonesia ke seluruh dunia, “ ungkapnya.
Apresiasi senada juga diungkapkan oleh I Gusti Agung Wesaka Puja, Mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk PBB di Jenewa, juga Mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Austia dan Slovenia, dan Kerajaan Belanda.
“ARMA merupakan tempat permukatan artistik berbagai aliran seni lukisan, baik klasik maupun kontemporer, dan tentunya menggugah apresiasi, “ ujar Wesaka Puja, seraya mengapresiasi peran Gung Rai yang sudah mendedikasikan dirinya sebagai sumber energi dan sumber inspirasi bagi kebudayaan.
Selaras dengan visi dan misi ARMA mewujudkan museum sebagai melting pot atau ruang kebersamaan lintas generasi, Anak Agung Gde Rai menyampaikan, bahwa institutsi yang didirikannya terpanggil untuk turut mengembangkan fungsi sosial edukatif di bidang kesenian dan kebudayaan.
Museum ARMA mengaplikasikan alih pengetahuan ala Bali di lingkungan banjar melalui pelatihan seni budaya dalam bentuk sanggar, terutama untuk anak-anak dan generasi muda. Sejalan itu, terselenggara juga di ARMA berbagai even seni budaya, menghadirkan seniman-seniman, narasumber-narasumber bereputasi nasional dan internasional.
“Tujuannya adalah mendorong anak-anak mempelajari dan menghayati memori kultural Bali. Sumbangsih ini diharapkan turut menyemai lahirnya para maestro-maestro seni aneka bidang sebagai local genius yang kelak turut mengharumkan nama Bali, “ ujar Agung Rai.
Perayaan Ulang Tahun ARMA ke-28 serta peluncuran table book berbahasa Inggris ini berlangsung hangat penuh persahabatan. Diwarnai pemutaran video kilas balik keberadaan ARMA dan testimoni para sahabat, menguraikan jejak Historis, Capaian Prestasi, dan Visi Misi ARMA. [B/*]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali