Dari Tribute to Maestro Nyoman Tusthi Eddy: Siswa dan Mahasiswa Bisa Belajar Pengetahuan dan Sastra dari Karya-karya Sastrawan Nyoman Tusthi Eddy

 Dari Tribute to Maestro Nyoman Tusthi Eddy: Siswa dan Mahasiswa Bisa Belajar Pengetahuan dan Sastra dari Karya-karya Sastrawan Nyoman Tusthi Eddy

Diskusi bertajuk Tribute to Maestro Nyoman Tusthi Eddy serangkaian Beranda Pustaka Festival Seni Bali Jani VI/Foto: ist

“Karya-karya sastrawan local, seperti karya Tusthi Eddy sangat layak diajarkan di sekolah, bahkan di kampus-kampus. Terlebih lagi buku-buku teori atau kritik sastranya,” kata penyair Tan Lioe Ie dalam diskusi bertajuk Tribute to Maestro Nyoman Tusthi Eddy, Senin 19 Agustus 2-24.

Diskusi serangkaian Beranda Pustaka Festival Bali Jani VI di Kalangan Ayodya Taman Budaya Provinsi Bali, Denpasar itu, Yoki demikian panggilan akrabnya menegaskan, termasuk puisi-puisi Nyoman Tusthi Eddy juga layak diperkenalkan di sekolah-sekolah di Bali.

Diskusi yang juga menghadirkan akademisi sekaligus jurmalis I Made Sujaya itu melibatkan para siswa dan mahasiswa se-Kota Denpasar, serta para pecinta sastra menjadi peserta. Hadir pula istri almarhum Nyoman Tusthi Eddy, Ni Nengah Wijani dan putra-putri serta cucunya.

Nyoman Tusthi Eddy merupakan sastrawan sebagai salah satu penerima penghargaan Bali Jani Nugraha tahun 2023 untuk kategori kritikus sastra.

Baca Juga:  Brotoseno Mencari “Air Suci Purwitosari” di Ajang PKB XLV

Dalam acara itu, Yoki mengatakan, buku kumpulan puisi terbaru karya Nyoman Tusthi Eddy yang terbit secara anumerta tahun 2023 lalu, yaitu Pertapaan Embrio. Kumpulan puisi itu, kaya pengetahuan atau referensi. Mulai dari anatomi tubuh, filsafat, sejarah, dan teori-teori eksak.

“Dengan membaca puisi-puisi karya Nyoman Tusthi Eddy, siswa belajar berbagai pengetahuan dengan cara yang sederhana dan menarik. “Guru-guru atau sekolah-sekolah di Bali, saya kira punya otonomi untuk menentukan karya-karya yang diajarkan di sekolah,” tegas penyair ini.

Walaupun ada rekomendasi buku sastra dari Kemendikbud, sekolah dan guru mempunyai otonomi atau kebebasan untuk mengajarkan karya-karya sastrawan local. “Termasuk karya-karya Tusthi Eddy maupun karya sastrawan Bali lainnya,” lanjutnya.

Kemaestroan Nyoman Tusthi Eddy tidak dapat dilihat pada karya-karyanya secara terpisah, namun justru pada keberagaman karyanya serta kesetiaan pada dunia sastra.

Baca Juga:  Ketut Suarnadwipa Perkenalkan Wayang Wong Tejakula Ketingkat Nasional dan Internasional

“Tidak mudah menemukan sosok, seperti Nyoman Tusthi Eddy seorang guru sastra, juga menulis karya sastra dan kritik sastra dengan tekun,” imbuhnya.

Sujaya merupakan dosen di Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) Bali itu mengatakan, dalam Kurikulum Merdeka, guru memiliki keleluasaan menentukan karya sastra yang diajarkan kepada siswanya.

“Kalau pun ada karya sastra yang direkomendasikan, keputusan tetap ada di tangan guru. Kuncinya ada pada guru. Tentu guru harus membaca dulu karya-karya sastra yang akan ditawarkan kepada siswanya,” sebut Sujaya meyakinkan.

Sujaya menambahkan, buku-buku karya Nyoman Tusthi Eddy layak digunakan sebagai bahan ajar sastra di sekolah. Buku teori, sejarah dan kritik sastra karya Tusthi Eddy disajikan dengan gaya bahasa sederhana serta cara penyajian yang cenderung didaktis.

Baca Juga:  Menebar, Menggali, dan Berkreasi dengan Bli Ciaaattt

Beberapa karya teori, sejarah dan kritik sastra karya Nyoman Tusthi Eddy yang layak dipakai bahan ajar di antaranya Pengantar Singkat Keragaman dan Periodisasi Pembaruan Puisi Indonesia (1984, Gumam Seputar Apresiasi Sastra (1985).

Ada Kamus Istilah Sastra Indonesia (1991) serta Mengenal Sastra Bali Modern (1991). “Pada setiap esai dan kritiknya, Tusthi Eddy senantiasa menyisipkan aspek-aspek teoretis atau konseptual tentang sastra sehingga kritik dan esainya kaya wawasan sastra,” imbuh Sujaya.

Kritik Nyoman Tusthi Eddy mengkombinasikan kritik impresionistik dan kritik akademik, bahkan terkadang juga historis. “Ini yang membuat kritik-kritiknya agak berbeda dengan kritik HB Jassin yang cenderung impresionistik,” ujarnya.

Menurut Sujaya, pandangan Nyoman Tusthi Eddy mengenai sastra juga relevan dan patut dijadikan refleksi. Misalnya, pandangannya tentang tidak ada jalan pintas dalam dunia sastra.

Baca Juga:  “Teater Tanpa Tepi: Refleksi Pengembaraan Diri” Desertasi I Gusti Made Darma Putra Dalam Ujian Doktor Seni

Ungkapan ini memang bukan orisinal, tapi penting dijadikan refleksi para pengarang muda bahwa tangga karier sastrawan tak bisa dicapai dengan rekayasa atau manipulasi. Pada akhirnya kualitas karya yang akan menentukan masa depan seorang sastrawan.

Nyoman Tusthi Eddy dikenal sastrawan Bali yang lahir pada 12 Desember 1945 dan meninggal pada 17 Januari 2020. Sejak tahun 1970-an, Tusthi Eddy menulis berbagai genre karya sastra, seperti puisi, cerpen, esai, maupun kritik sastra.

Dia juga menerjemahkan berbagai puisi dunia dan mengadaptasi karya sastra tradisional Bali. “Pak Tusthi merupakan sastrawan multidimensi. Dia penyair, cerpenis, esais, kritikus, penerjemah, bahkan linguis juga,” papar Sujaya.

Istri Nyoman Tusthi Eddy, Ni Nengah Wijani menyampaikan terima kasih atas apresiasi para sastrawan, para siswa dan mahasiswa terhadap sosok suaminya. “Para siswa dan mahasiswa, mari tekun belajar menimba pengetahuan dari karya sastra, bahkan mungkin bisa menjadi sastrawan juga,” ajaknya. [B/*]

Balih

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali

Related post