Villa Kayu Raja Seminyak Gelar Lomba Gebogan dengan Konsep Tri Hita Karana
Sebagai industri patiwisata, Villa Kayu Raja Seminyak tak hanya sibuk dalam urusan tamu dan akomodasi, tetapi juga budaya. Penting diingat, kepariwisataan Bali berlandaskan kebudayaan Bali, sehingga maju dan berkembangnya pariwisata, maka budaya Bali semakin lestari.
Karena itu, Villa Kayu Raja Seminyak dan Daimyo tak pernah henti memadukan konsep budaya dalam mengelola bisnis pariwisatanya. Lihat saja pada upacara pemelaspas dan piodalan di Pura Padmasana bertepatan dengan Purnamaning Sasih Kapat, Kamis 17 Oktober 2024.
Dalam moment tersebut, seluruh staf dan karyawan Villa Kayu Raja Seminyak tak hanya melakukan persembahyangan, tetapi juga mengisi dengan aktiviyas tradisi dan budaya Bali. Mulai dari penyajian seni wali, ngejot, lomba gebogan dan lainnya yang diikuti secara antusias.
“Kami menggelar lomba gebogan dalam rangka piodalan di Villa Kayu Raja Seminyak dan Daimyo. Kami memadukan kearifan lokal Bali dengan prinsip Tri Hita Karana, green hotel, pariwisata berkelanjutan, dan pariwisata regenerative,” kata General Manager, Gede Nik Sukarta.
Menurutnya, memilih lomba Gebogan karena memiliki makna filosofi bersyukur Kepada Alam dan Tuhan. Gebogan sebagai lambang persembahan adalah wujud rasa syukur terhadap hasil bumi dan karunia Tuhan, yang mengingatkan pentingnya menjaga harmoni dengan alam.
Gebohan untuk menjaga keseimbangan dengan alam, sehingga penggunaan bahan alami, bebas plastik, dan berkelanjutan mencerminkan kepedulian terhadap lingkungan, yang sejalan dengan filosofi Tri Hita Karana.
“Gebogan memperkuat Keterlibatan Komunitas, sehingga dengan menggunakan produk lokal, Villa Kayu Raja dan Daimyo ikut berkontribusi pada kesejahteraan masyarakat sekitar, memperkuat hubungan antara industri pariwisata dengan komunitas local,” paparnya.
Lomba gebogan ini sebagai bentuk penerapan praktis. Karena, setiap departemen dan outlet diharuskan membuat gebogan dari bahan-bahan lokal yang mereka dapatkan dari pasar tradisional setempat atau petani lokal.
Gebogan yang dibuat itu, tidak hanya dinilai dari segi estetikanya saja. Tetapi, juga dari seberapa besar kontribusinya terhadap lingkungan dan masyarakat local. Misalnya, bahan yang dipilih, dan proses pembuatan.
Menurut Gede Nik Sukarta, gebogan adalah simbol persembahan yang mengandung makna keseimbangan antara Tuhan (Parahyangan), manusia (Pawongan), dan alam (Palemahan). Dalam lomba Gebogan ini, konsep Tri Hita Karana yang tercermin dari bahan-bahan yang digunakan.
Gebogan sesuai konsep Tri Hita Karana
Semuanya mengandung filosofi yang mendasari setiap elemen Gebogan dan sesuai dengan konsep Tri Hita Karana untuk menuju kehidupan harmonis, damai dan bahagia. “Dalam lomba gebohan ini, semua peserta harus memenuhi syarat yang ada,” ungkap Gede Nik Sukarta.
Pada bagian Parahyangan, gebogan sebagai persembahan kepada Tuhan harus mencerminkan rasa syukur atas berkah-Nya. Maka itu, pemilihan bahan-bahan local, seperti buah-buahan dan bunga-bungaan menjadi simbol doa dan rasa syukur.
Bagian Pawongan, kolaborasi dan gotong royong antar staf dalam membuat gebogan harus mencerminkan harmoni dan kesejahteraan sosial. Setiap pembuatan gebogan dilakukan secara bersama-sama, memperkuat semangat kebersamaan di antara semua outlet dan departemen.
Bagian Palemahan, penggunaan bahan yang ramah lingkungan dan tidak menggunakan plastik melambangkan kesadaran lingkungan. Ini mencerminkan tanggung jawab menjaga alam sekitar, yang sejalan dengan konsep green hotel dan pariwisata berkelanjutan.
Karena membuat gebogan untuk lomba, maka panitia menentukan kriteria yang mesti dijadikan pedomana oleh setiap peserta lomba gebogan itu. Pertama, tinggi gebogan antara 1–1.5 meter sesuai dengan tradisi adat Bali.
Kedua, menggunakan buah-buahan local, seperti pisang, kelapa, jeruk, apel Bali, dan bunga lokal seperti bunga kamboja dan bunga cempaka. Tidak ada penggunaan bahan plastik atau unsur non-organik. Semua elemen gebogan harus bisa terurai secara alami atau digunakan kembali.
Namun, yang paling penting adalah menonjolkan lokal genius, seperti penggunaan daun kelapa atau janur untuk hiasan, tali dari serat alami, dan dekorasi yang mencerminkan budaya lokal.
Ketiga, mewujudkan konsep Green Hotel dan Pariwisata Berkelanjutan. Mulai dari bahan-bahan gebogan berasal dari produk pertanian lokal, mendukung petani dan produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) lokal.
Bahannya, tidak ada bahan kimia atau pewarna sintetis, melainkan menggunakan warna alami dari bahan organic. Setelah upacara selesai, semua bahan yang digunakan dapat didaur ulang atau terurai secara alami.
Keempat, Filosofi Pariwisata Regeneratif, yakni memastikan proses pembuatan gebogan juga regeneratif, yaitu tidak hanya menjaga lingkungan, tetapi juga memperbaiki atau memberikan dampak positif pada alam sekitar.
Contoh, setelah penggunaan, buah-buahan bisa disumbangkan ke masyarakat atau digunakan dalam kegiatan sosial, tidak hanya menjadi limbah.
Kelima, yakni Kearifan Lokal dan Nilai Gotong Royong, setiap peserta harus bekerja dalam tim dengan gotong royong, membangun kebersamaan dan kekompakan antar staf dan departemen. Gebogan mengandung unsur tradisional, keunikan di masing-masing outlet dan departemen.
Setelah dewan juri melakukan penilaian, dari 12 Gebokan yang dinilai, dewan juri kemudian menetapkan, Juara I diraih HK Dept, Juara II diraih Kitchen Dept dan Juara III diraih HRD dan Paporive dari Estetika Gebokan diberikan kepada Sales and Marketing Dept. [B*/puspa]
Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali