Lomba Drama Bali Modern di Bulan Bahasa Bali VII: Angkat Ceritera Kekinian Gunakan Bahasa Bali

Teater Taksu Smadara menampikan daram berjudul Rwa Bhineda/Foto: doc.balihbalihan
Drama Bali Modern dalam ajang lomba di Bulan Bahasa Bali (BBB) VII menyajikan tema yang sangat beragam. Penyajiannya lebih kreatif, kisahnya menarik. Selain penampilan dan busana, tata panggung digarap oleh masing-masing kelompok teater itu.
Kisah yang diangkat lebih banyak tentang cerita Bali, namun dikemas dengan kekinian, dan sarat pesan. Edukasi, dan kritik sosial yang disampaikan akan menjadi pertimbangan para penonton. Sayangnya, pementasan drama ini minim penonton.
Panggung tertutup Ksirarnawa seakan disulap menjadi tempat yang sesuai dengan tema yang diangkat. Berbagai property digarapnya dengan apik, sehingga mendukung suasana dalam setiap adegan. Berbagai hiasan itu juga bentuk kreatif para peserta menampilkan total teater menarik.
Kepala Dinas Kebudayaan (Kadisbud) Provinsi Bali Prof I Gede Arya Sugiartha yang hadir menyaksikan pementasan itu mengatakan, anak-anak yang tampil ini tergolong cerdas dalam mengkemas sebuah pertunjukan drama.
“Walau mereka masih sebagai siswa setingkat SMA, namun mereka sangat jeli dalam memilih topik, sehingga kena dengan situasi di jaman sekarang dan sifatnya kekinian,” kata Kadisbud Arya Sugiartha disela-sela lomba, Kamis 6 Pebruari 2025.
Menurutnya, ini cocok sebagai penampilan drama modern, karena cerita kekinian yang dikemas dalam bahasa Bali. Dekorasi yang dapat menciptakan suasana, ditata dengan kreatif yang sesuai dengan suasana adegan.
Penggarapan dekor tampak serius, yang dipersiapkan langsung dari rumah. Maka tak heran, masing-masing tim menyiapkan kru yang tidak sedikit untuk membersihkan stage, setelah pementasan.

Kelompok Teater Solagracia menampilkan drama modern berjudul “Kuang Lebih Muah Ane Lenan” berupa komedi absurd yang menggambarkan kolase jaitan-jaitan yang saling keterikatan. Jaman yang dikatakan demokrasi, namun belum terwujud sampai sekarang.
Drama ini mengisahkan pencalonkan diri, berkedok untuk mengubah nasib masyarakat. Sampah berserakan mengepung masyarakat, karena janji-janji yang tak pernah terealisasi. Kritik, juga dihadirkan kepada orang bali yang tidak bisa berbahasa Bali.
Padahal, banyak anak yang gampang dan mudah menguasai bahasa asing dan bahasa model-model, tetapi susah belajar bahasa Bali. Untuk mendukung suasana, kelompok ini menampilka kursi, tembok dari papan lengkap dengan peralatan dapur dan lainnya.
Penampilan Kelompok Teater kedua disajikan Teater Taksu Smadara menampikan judul “Rwa Bhineda”. Drama ini tak hanya memperhatikan seni acting, mengandalkan sastra, dan bahasa (vokal), tetapi juga seni lain, seperti seni rupa.

Kelompok teater ini menghadirkan patung-patung berupa pohon dari kertas yang dipadu dengan ranting pohon asli, sehingga mirip pohon sungguhan. Artinya, dalam garapan ini juga mengedepankan penatan seni rupa.
Drama ini mengangkat kearipan lokal yaitu tumpek bubuh yang dipadu dengan fenomena jaman sekarang. Seorang kakek satu-satunya masih bertahun untuk tidak menjual tanahnya kepada investor. Seluruh warga memusuhi kakek itu karena tidak sepakat dengan warga lain.
Untuk menjaga tanah itu dengan memasangi pohon saput poleng agar tenget, sehingga tak menjual tanah tempat pohon itu tumbuh. Namun, karena sekongkol anaknya, serta aparat desa, tanah itu pun dibuatkan sertifikan melalui program prona, yang akhirnya terjual juga.
Lalu dilanjutkan dengan drama modern berjudul “Tuuh” (Kehendak Sanga Waktu) oleh Kelompok Teater Samanta Badung yang mengingatkan semua orang bijak dalam bermedia sosial. Salah menggunakan media sosial akan membawa bencana.

Sedangkan Teater Garaka dengan drama modern pamungkas berjudul Jagal Babarakan, yang mengangkat tragedy tahun 1965 yang menjadi sebuah pendidikan sejarah. Semua kelompok teater ini mengangkat tema kekinian, dan sarat pesan.
Pada lomba drama modern pertama ini, sesungguhnya ada 5 peserta yang diijadwalkan tampil, namun teater modern SMA Negeri 1 Tembuku Bangli berhalangan hadir, sehingga hanya 4 peserta yang menyajikan garapan seninya.
Lomba Drama Bali Modern ini mengangkat ceritera di Bali. Salah satu tema yang diangkat adalah pelestarian lingkungan. Adanya perkembangan pembangunan perumahan, investor mulai masuk dan merayu masyarakat agar mau menjual tanahnya.
Lalu, seorang kakek bersikukuh tidak mau menjual tanahnya, karena berkomitmen melestarikan warisan leluhurnya. Meskipun kepala desa yang ikut mengompor-ngompori agar mau menjualnya.
Menurut Kadisbud Arya Sugiartha, kisah ini semacam sindirian, karena kondisi seperti itulah yang memang banyak terrjadi di Bali saat ini. “Kalau saja penonton bisa membaca cerita, dan itu bisa menghayati, maka artinya jangan sembarang menjual tanah,” ungkapnya.
Penampilan drama itu tidak kaku. Selain memperhatikan teknik pementasan drama modern, para pemain juga menggunkan bahasa Indonesia, disamping dinominasi bahasa Bali. Bahasa Bali-nya pun tidak terlalu halus, tetapi lumrah seperti dilakukan keseharaian mereka.
Masalah mereka menggunakan bahasa gaul atau bahasa andap itu tidak menjadi masalah. “Itu memang tidak apa-apa. Justru, sekarang ini anak-anak muda baru kita ajak agar mau berbahasa Bali dulu, sehingga mereka menjadi lebih pasih,” imbuhnya.
Menurut Kadisbud Arya Sugiartha melihat perkembangan Bahasa Bali memang begitu. Bahasa asing digunakan dulu, kalau digunakan secara terus menerus maka nantinya diserap. “Memang biasa begitu, apapaun yang tidak ada dalam bahasa Bali kita serap,” paparnya.
Dalam pementasan drama modern itu bisa dikatakan total teater. Ada musik, pendramaan, seni rupa karena memakai property. Seperti pementasan tadi, ada yang menggunakan patung pohon, ada juga bawa kursi yang menceritakan alam dan tentang kekinian yang digarap sangat menarik. [BB/darma]

Balihbalihan merupakan website yang membahas seputar informasi pariwisata dan seni budaya di Bali