Parade Ogoh-Ogoh: Ajang Kreativitas Seni Anak Muda di Malam Pengrupukan

Jauh sebelum Hari Pengurupukan, anak-anak muda di Bali tampak bersemangat untuk menciptakan sebuah patung raksasa menggunakan bahan ramah lingkungan. Sebagian yang membuat patung, sebagian lagi tampak bersemangat berlatih tabuh (musik) bleganjur.

Sebagian lagi, sedang berlatih tari. Sebab, mereka memadukan seluruh unsur seni dalam sebuah seni tari atau pragmentari yang mengusung tema, dan cerita atau kisah terkait dengan bentuk ogoh-ogoh yang dibuat. Karya seni ini, digarap apik, menghibur dan sampaikan pesan moral.

Pada puncaknya, saat Pengrupukan, Jumat 28 Maret 2025, anak-anak muda yang terlibat mengenakan busana adat Bali “madia” (sederhana), mengarak ogoh-ogoh keliling desanya. Para pemuda itu menyanyi kompak dan penuh semangat.

Sambil mengangkat beban di pundak, mereka menari-nari kegirangan mengikuti irama baleganjur yang mengiringinya. Terkadang pula bergaya ketika disoraki oleh para penonton. Suasana ngarap Ogoh-ogoh pada Hari Raya Pengurupukan tahun Caka 1947 di Bali.

Baca Juga:  Singaraja Literary Festival 2024 Dibuka ‘Tari Padi’ Dihibur ‘Teater Dharma Pemaculan’

Memang, sebagian besar generasi muda Hindu Bali menjadikan malam pengrupukan sebagai ajang kreatifitas seni guna mempertontonkan hasil karya seninya yang berupa Ogoh-ogoh (patung besar berwujud raksasa yang terbuat dari kertas).

Mereka mampu membuat ogoh-ogoh berbagai bentuk, gaya, kreasi serta berbagai ukuran. Tak hanya menarik bagi masyarakat Bali, tetapi Ogoh-ogoh juga menjadi daya tarik tesendiri bagi wisatawan. Mengarak Ogoh-ogoh, hampir dilakukan oleh masyarakat di seluruh daerah di Bali.

Sebut saja salah satunya di Desa Marga Dauh Puti, Kacamatan Marga, Kabupaten Tabanan, anak-anak muda sejak pagi hingga malam tampak sibuk. Selain masyarakat Bali, tampak pula para wisatawan mancanegara, serta puluhan photographer yang asyik menyaksikan parade itu.

Ogoh-ogoh sebagai hasil karya yang inovatif, oleh anak-anak muda dijadikan sebagai ikon budaya unggulan yang berbasis budaya lokal. Sebab, keseluruhan rangkaian kegiatan ini sebagai upaya untuk mewujudkan desanya yang kreatif berbasis budaya unggulan.

Baca Juga:  Pulang Kampung, Chef Wayan Budiana Rintis “Paon Yan Ole”

Malam itu tampil bersama, Sekaa Teruna (ST) Citta Dharma Banjar Ole dan ST Sri Awandira Banjar Kelaci yang menggarap ogoh-ogoh berpadu fragmentary. ST Citta Dharma menampilkan garapan Cupak Gerantang yang penuh dengan makna.

Masyarakat yang menonton tumpah ruah memberikan apresiasi terhadap karya anak-anak muda ini.  Garapan ini diawali dengan gadis-gadis menarikan obor. Lalu, tarian kayon oleh tiga gadis dengan mengisahkan cerita yang akan diangkat oleh seorang dalang.

Cupak bersama adiknya Gerantang tengah berjalan tanpa arah. Suatu ketika ia mendengar Raja mengedakan sayembara untuk menyelamatkan putrinya yang sedang diculik raksasa. Cupak dan Gerantang membantu raja untuk menyelamatka gadir itu.

Gerantang berhasil mengalahkan raksasa, namun Cupak yang rakus dan ambisi justru mendorong Gerantang kembali ke goa sehingga Gerantang dikira sudah mati. Cupak kemudian menjadi raja, karena dianggap mampu membunuh raksasa dan menyelamatkan putri raja. [B/nik]

Related post