Gong Angklung Kebyar Mabarung di PKB ke-47, Diserbu Pengunjung

 Gong Angklung Kebyar Mabarung di PKB ke-47, Diserbu Pengunjung

Tari Rejang Rwa Bhineda/Foto: tim kreatif PKB

SELALU ada yang menarik dari ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) ke-47. Jika penampilan utsawa (parade) gong kebyar atau mabarung itu selalu menjadi sajian favorit, maka Angklung Mabarung juga tak kalah menarik. Sajian ini, mampu menyedot penonton dengan inovasinya.

Ketika Sekaa Angklung Brahmara Sini, Banjar Bun, Kelurahan Dangin Puri, Kecamatan Denpasar Timur dan Sekaa Angklung Jaya Suara, Banjar Peken, Kelurahan Renon, Kecamatan Denpasar Selatan, Duta Kota Denpasar itu tampil bersama di ajang PKB, sungguh memikat.

Kedua sekaa Angklung Kebyar itu Mabarung di Kalangan Ratna Kanda, Taman Budaya Provinsi Bali, Selasa 8 Juli 2025. Mereka menampilkan tiga garapan seni silih berganti. Permainan nada serta teknik dalam menyajikan gending membuat penonton terkesima. Penonton pun membludak.

“Kami melakukan persiapan sejak empat bulan lalu. Gamelan ini tergolong kuno, dan kami menampilkan penabuh dari lintas generasi hingga melibatkan penabuh setingkat SD dan SMP, juga dewasa,” kata Koordinator Sekaa Angklung Brahmara Sini, I Gede Eka Adnyana.

Baca Juga:  Sekaa Gong Kebyar Taruna Jaya Banjar Lambing, Legendaris dari Badung Mengulang Masa Jaya di PKB ke-47

Sekaa Angklung Brahmara Sini mengawali pementasannya dengan penampilan Tabuh Keklentangan Klasik berjudul Bebatelan. “Tabuh Bebatelan ini merupakan gen gending angklung asli penglingsir Banjar Bun yang lesetari hingga kini,” ungkapnya senang.

Selanjutnya menampilkan Tari Tedung Sari yang tabuhnya digarap oleh I Nyoman Sudarna, dan kini di translate ke Gamelan Angklung. Lalu, menyajikan Tabuh Kreasi Bun yang mengisahkan tanaman yang merambat, melilit mencirikan satu ikatan. Berbeda, tetapi masih bisa saling merangkul.

Gede Eka Adnyana menambahkan, untuk tampil kali ini sekaa ini melakukan persiapan selama 4 bulan lalu. Gamelan angklung ini sudah ada sejak lama, sehingga sering dikatakan gamelan kuno, tang kini dimainkan beberapa generasi muda dan didukung oleh penabuh dewasa.

Angklung Kebyar Mabarung di PKB ke-47/Foto: tim kreatif PKB

Dirinya lalu berharap kepada pemerintah untuk selalu menjaga keberlangsungan Gamelan Angklung tradisi Bali dengan memberikan ruang kepada generasi muda untuk mencintai gamelan yang menggunakan tangga nada selendro dan tergolong barungan madya (ukuran sedang) ini.

Baca Juga:  DJ Nico: Bintang Muda Baru Berkontribusi untuk Bali Melalui Musik

“Semoga saja, kedepan gamelan angklung ini bisa dikembangkan lagi untuk anak-anak muda, sehingga rasa cinta mereka tumbuh. Sebab, angklung itu bukan hanya untuk kepentingan upacara Pitra Yadanya, tetapi juga dalam bentuk kreasi aktivitas anak-anak sekarang,” harapnya.

Sementara, Sekaa Angklung Jaya Suara Banjar Peken menhawali penampilannya dengan Tabuh Klasik Keklentangan “Sekar Taji”. Seperti namanya sekar mengandung arti Bunga, mengacu pada kecantikan dan daya tarik yang mempesona, seperti keindahan bunga.

Sedangkan “taji” mengandung arti Jalu, yang menunjukkan kekuatan, ketajaman dan kemampuan untuk melindungi diri atau memiliki pengaruh yang kuat. Maka Sekar Taji dalam Bahasa Bali mengandung arti “Bunga Bertaji” atau bunga yang memiliki taji.

Sekar Taji dapat merujuk pada wanita yang cantik, anggun dan memiliki kekuatan atau daya Tarik yang memukau seperti taji yang tajam dan kuat sehingga siapapun yang melihatnya akan terpesona. Sekar Taji menggambarkan sesosok wanita yang cantic dan memiliki kekuatan dan pengaruh yang besar.

Baca Juga:  I Dewa Kompiang Pasek, Mahaguru Suling Gambuh Batuan Gianyar

Tabuh Sekar Taji Angklung klasik ini masih tetap berpedoman pada uger-uger yang ada seperti Kawitan, Pengawak, Pengisep dan Pekaad. Tabuh yang dibina I Made Sumajaya, S.Sn ini sering kali ditampilkan dalam acara Pitra Yadnya (Pengabenan).

Penampilan kedua, yakni Tari Rejang “Rwa Bhineda” sebagai ikon Desa Adat Renon yang terinspirasi dari keagungan Sesuunan Ida Ratu Tuan Baris Cina yang identik dengan warna hitam dan putih. Tari ini dibawakan oleh 9 penari wanita.

“Rwa Bhineda adalah makna yang kekal dengan konsep perbedaan yang diciptakan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam mewujudkan keharmonisan dan keseimbangan alam semesta yaitu Bhur-Bwah dan Swah,” terang Koordinator Sekaa Angklung Jaya Suara, I Made Sumajaya.

Menurutnya, makna keseimbangan inilah yang menjadi dasar tercetusnya Tari Rejang Rwa Bhineda. Tari ini digarap oleh Ni Ketut Suwitri dan Ni Luh Putu Putri Utami, I Gede Suweca sebagai penata tabuh dan Ni Nyoman Nik Suasti dipercaya sebagai Penata Gerong.

Baca Juga:  Komunitas Jala Kinnara Pentaskan Tari Puspa Mekar Garapan Guruh Soekarno Putra

Penampilan ketiga, adalah Tabuh Kreasi Angklung Kebyar “Arunika” yang memiliki arti Cahaya Matahari Terbit. Kata Arunika berarti cahaya pagi yang indah. Arunika dapat didefinisikan sebagai gambaran suasana pagi disaat awal mula kebangkitan cahaya matahari dari ufuk timur.

Arunika merupakan akar dari kerangka pikiran ide dan konsep yang ditransformasikan ke dalam media gamelan Bali yaitu Angklung Kebyar dengan terstruktur kawitan, gegenderan, pengawak, bapang, dan pengecet.

“Memang, jika mendengarkan tabuh ini, tampak pada kekuatan pembina mengeksplorasi media gamelan Angklung yang sangat terkenal memiliki nuansa sedih untuk menciptakan pembaharuan yang sesuai dengan gagasan,” terang Sumajaya.

Penonjolan ide dan konsep ini tampak dalam pengolahan unsur musik yang terstruktur menjadikan suatu bentuk karya yang utuh dari garapan tabuh seorang komposer bernama Edo Dewantara ini.

Baca Juga:  Makna Enam Jenis “Tumpek” Bagi Masyarakat Hindu di Bali

“Kami melakukan persiapan mulai Januari 2025, hingga pentas hari ini. Kami senang dalam ajang PKB ini, diikutkan Gamelan Angling Mabarung. Kami berharap gending-gending Angklung lebih dikembangkan lagi, sehingga mampu menarik minat generasi muda melakoninya,” harap Made Sumajaya. [B/darma]

Related post